“Kamu nggak mau ke sana? Kumpul sama yang lain di cafe?”
“Nggak. Kamu ke sana aja nggak apa, aku di sini aja.”
Devon memandangi Arnin sejenak, lalu memilih duduk di samping Arnin,
menumpukan kaki kirinya ke kaki kanan dan lanjut minum Ice Cappucino yang baru
saja dibelinya.
“Kenapa? Kamu nggak laper?”
“Laper sih, tapi males aja muterin dinding aneh itu kalau mau ke cafe.
Lagian Ice Chocolate dari kamu ini aja udah cukup kok buat ganjel perutku
sementara. Hehehe makasi ya!”
“Aneh? Dinding aneh mana?”
“Tuh!” Jawab Arnin sambil menunjuk ke arah sebuah dinding yang
menghalangi cafe. Dinding dengan banyak sekali pajangan.
“Eh aneh kenapa emang? Itu apaan sih yang dipajang? TV ya?”
“Iya. Aneh.”
“Hhmm buatku kok sepintas malah kayak seni ya? Artistik banget gitu.”
“Apanya yang seni? Mematikan ambience malah.”
“Oh ya? Kenapa emang?”
“Jadi suram aja kesannya tempat mewah ini. Ballroom yang semegah ini
tapi ada satu dinding yang dipenuhi dengan pajangan TV-TV tua dan mati.”
“Ok. Tapi itu bukannya kreatif ya? Memanfaatkan benda yang sudah
nampak tak berguna
sebagai hiasan dinding.” Devon mencoba mencerna apa yang
diucapkan Arnin sambil terus menyedot minumannya.
“Aku justru merasa merana liat TV-TV itu. Kesannya jadi kayak
penggambaran kaumku aja.”
“He? Gimana maksudnya? Kaummu? Kaum perempuan? Atau kamu apa?”
“Iya, kaum perempuan. Dulu, mereka, TV-TV itu saat masih baru dan
bagus, dipuja sebegitunya oleh pemiliknya, tapi begitu mereka sudah rusak atau
mati atau sebutlah tak berguna, mereka ditinggalkan begitu saja, dijadikan
pajangan malah. Perempuan juga begitu kan, Devon? Saat mereka masih segar,
cantik dan bisa memberikan segalanya, mereka dipuja sedemikian rupa oleh
pemiliknya, para lelaki. Begitu perempuan sudah tua, sudah tak berguna lagi,
atau bahkan ketika sudah ada perempuan lain yang lebih baru dengan bentuk tubuh
yang lebih slim, pemiliknya akan berpaling, dan perempuan lama itu terbuang. Sama
persis kayak TV itu tuh.”
“Wuah pemikiran kamu ngaco juga ya. Hahahahaa. Jujur aku sebagai pria
hampir mengiyakan pendapat kamu. Tapi kan nggak semua pria kayak gitu, Arnin.”
“Halah iya karena kamu belum pernah menuju titik itu mungkin, jadi
bisa bilang gitu. Tapi aku sering lihat kejadian begitu. Perempuan-perempuan
yang sudah tua dan tak terpakai itu palingan ujungnya hanya dijadikan pajangan
bagi pria atau pasangannya misalkan mereka berhasil bertahan sampai tua
bersama.”
“Iya aku memang belum pernah tua tapi Papa dan Mamaku bisa kujadikan
contoh yang akurat, dan aku pastikan Papaku tak akan pernah membuang Mamaku
sampai kapanpun, jadi nasib beliau tak akan sama dengan TV di dinding itu
seperti katamu.”
“Kamu yakin?”
“Yakin. Mamaku pernah sakit kanker yang sampai membuatnya terlihat
begitu kurus, kuyu, dan sangat jelek tak menarik. Tapi Papaku tetap di samping
Mama, sedikitpun tak pernah pergi, selama di rumah sakit, Papa selalu setia
menemani Mama di samping ranjang Mama. Lalu kemudian Mama berhasil bebas dari
kanker, mereka justru terlihat jauh lebih romantis dan manis sekali daripada
sebelumnya, seperti tak ingin kehilangan satu sama lain. Sudah beberapa kali rekan bisnis Papa yang perempuan menggoda Papa
agar Papa berpaling dari Mama, tapi tidak terjadi apapun, Papa bahkan rela
mengakhiri perjanjian bisnis bernilai milyaran hanya karena tak sudi berurusan
lagi dengan perempuan-perempuan penggoda macam itu. So yeah, Arnin, tak semua
lelaki akan membuang perempuannya.”
“WAW. Lucky you, Devon.” Devon menjawab dengan anggukan kecil dan senyum tipis.
lalu beberapa detik beberapa detik berikutnya, hanya ada hening di antara mereka.
“Arnin, kamu abis patah hati ya? Atau sering?”
Pertanyaan spontan dari
Devon berhasil membuat Arnin menoleh dan menatap lurus ke mata Devon. Tatapan mata
yang menyiratkan keterkejutan, kemarahan tapi juga adanya secercah harapan. Tatapan
mata ”how dare you to ask me that
questions!” dan bagusnya lagi, Devon menangkap maksud tatapan mata Arnin.
“Caramu menerjemahkan arti pajangan di dinding itu sepertinya penuh
kegetiran, terlalu sinis pada dunia. Runtuhkan sedikit dinding kokoh di
hatimu, Arnin. Cobalah lebih sering menatap orang lain tepat di matanya seperti
yang sedang kamu lakukan sekarang padaku, tapi kumohon bukan tatapan ingin membunuh
itu.”
Baru kali ini Arnin merasa lega, entah untuk alasan apa. Pada kelancangan
yang Devon -pria yang baru dikenalnya 5 hari lalu karena mereka berdua
bergabung dalam perjalanan wisata bersama mengelilingi Indonesia- Arnin
seharusnya merasa marah karena Devon berhasil menelanjangi pemikiran dan
hatinya. Tapi di lain sisi, Arnin merasa baru kali ini ada lelaki yang berani
bicara seblak-blakan itu dan dengan tepat menebak sisi tergelap Arnin. Begitu memahaminya.
“Iya, Tuan Devon. Akan kucoba.” Jawab Arnin dengan senyum simpulnya yang penuh
kelegaan. Seorang lelaki asing yang baik baru saja membantu Arnin mengatasi kemelut gelap di dirinya. Berhasil membuat Arnin begitu percaya dan aman.
“Balik ke bis yuk!” Ajak Devon sambil mengusap asal rambut pendek
Arnin lalu menggandeng tangan Arnin mengajaknya berdiri dan menuju bis wisata
mereka.
***
#NulisKamisan S3 #8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar