25 Oktober 2018

Jogja dan Rawon


"Sudah jam segini, aku balik ke hotel dulu ya."

Saya pada Mulia yang nampaknya masih ingin di sana, nampaknya.

Kami sudah di cafe Asmara sejak pukul hhmm delapan malam mungkin, menyaksikan penampilan musik rock dari band kecintaan kami. Band lokal sih, tapi oke banget. Mulia yang mengenalkan tempat dan band ini pada saya. Berakhir pada saya yang selalu menyusun waktu khusus setiap kali ke Jogja untuk mengunjungi tempat ini. Yang saya pesan juga sama aja terus, cappuccino dingin kalau nggak air mineral dingin. Sudah. 

"Yauda yuk balik aja."

"Eh kalau kamunya masih mau di sini, ngga apa loh."

"Kamu nginep di mana sih?"

"Tjokro."

"Sama temen-temen?"

"Sendirian."

"Ngapain?"

"Kalau pas sendirian maksudnya?"

"Bukan, maksudnya ngapain sendirian di hotel, di Jogja pula."

"Pengen aja."

"Masih pengen sendirian sekarang? Ngga takut di hotel sendirian?"

"Kalau kamunya pengen ikut nemenin di hotel, tinggal bilang aja, Mul. Ngga perlu nanya ketakutanku yang jelas-jelas sudah nggak ada sejak aku berangkat dari Surabaya."

Dia tertawa kecil.

"Boleh?"

"Banget. Yuk!"

---

Dengan lelaki lain, di kamar hotel, dini hari, biasanya kami sudah saling menanggalkan pakaian dan melakukan ini itu yang berakhir saling memuaskan. 

Namun dengan Mulia tidak. 

Saya tidak sanggup, dia juga mungkin tidak mau. 
Tapi kamu saling merebahkan tubuh, dia di samping saya di atas ranjang. 
Kami menatap langit-langit kamar hotel yang harum dan bersih ini dengan jutaan tanya di masing-masing kepala. 

"Mul."

"Hm."

"Kamu bilang nggak ke pacarmu kalau kamu lagi di sini sama aku?"

"Kenapa harus bilang?"

"Kenapa ngga bilang?"

"Karena ngga perlu bilang."

"Dia ngga nanyain kamu di mana?"

"Ngga. Palingan dia ngira aku di kosan."

"Kamu sering ngga laporan ke dia kalau mau ke mana-mana?"

"Lah kenapa? kayak satpam aja laporan segala."

"Mul."

"Hm."

"Kamu lagi mikirin apa?"

"Kamu."

"Aku? kenapa emang?"

"Kamu kenapa ngga ndang (segera) punya pacar?"

"Karena yang aku mau ngga pernah mau sama aku, Mul."

Mulia menolehkan kepalanya, menghadap saya. Saya juga melakukan hal yang sama. Kami saling berpandangan.

"Siapa emang?"

"Ada."

"Kenapa dia ngga mau sama kamu?"

"Karena aku jelek katanya, aku gemuk, tidak menarik."

"Lanang gendheng (lelaki gila)."

Saya tertawa kecil, geli mendengar nada medhok khas Jogja dari Mulia.

"Emang gitu kok, aku juga nyadar Mul."

"Ora ah, dia aja yang bajingan."

"Kamu deh kalau gitu. Kamu mau ngga sama aku hayoh?"

Dia terdiam beberapa detik. 
Saya menunggu jawabannya.

Dia menggerakkan tubuhnya mendekat pada saya, menyentuh tangan saya, membelai halus, sekalipun telapak tangannya tak halus dan sedikit basah. Karena berkeringat dingin sepertinya.

"Aku boleh jujur?"

Saya mengangguk.

"Sebenernya, sejak awal ketemu ya aku ini udah naksir ke kamu. Kadang kalau dirasa-rasa kok kayaknya cinta. Banget sampe sakit rasanya."

Saya kaget tapi tetap mencoba tenang.

"Kok ngga pernah bilang?"

"Buat apa? wong kamu kayaknya ngga minat sama aku?"

"Sok tahu kamu. Sedari awal, yang nyamperin ngajak kenalan dulu siapa? kan aku. Aku yang lebih dulu naksir kamu, Mul. Naksir yang rasanya juga sakit. Nggak tahu kenapa."

"Serius?"

"Serius."

Berikutnya kami saling merengkuh, saya meringkuk di pelukannya. Di tubuh kurusnya. Mengenang sebaik-baiknya tentang wangi sederhana tubuhnya. Sepertinya dia tidak pernah memakai parfum seperti lelaki kebanyakan yang saya sukai. 

Menyukai Mulia rasanya sederhana.
Saya menyukainya karena wajahnya yang lucu.
Karena kelakarnya yang selalu menghadirkan tawa.
Karena pakaiannya yang selalu begitu-begitu saja. 
Karena sandal jepit kegemaran yang selalu dipakainya ke mana saja.
Saya menyukai dia sejak pertama kami berjumpa, 
Rasa yang saya kira tak akan ada habisnya,
Rasa yang akan abadi.

Saya melepaskan kaosnya,
Ia melakukan hal yang sama pada saya,
Saya menanggalkan seluruh kain yang menempel di tubuhnya,
Ia melakukan hal yang sama pada saya.

Tidak, kami tidak bersetubuh,
Di balik selimut, kami saling berpelukan, 
Sesekali saya mengecup bibirnya.

Kami terus begitu hingga terlelap,
Masih saling menghangatkan hingga pagi.

---

"Aku  seneng banget kamu temenin."

Dia nyengir.

"Cari sarapan yok!"

"Mul, ini jam 11, sarapan?"

"Yawes pokoke makan."

"Gudeg?"

"Wegah."

"Ya udah ngikut deh."

"Rawon Cak Sukar mantep iki."

"Yuk!"


 



---

*7 bulan kemudian*

Saya menghubungi Mulia melalui telepon.

"Besok aku ke Jogja."
 
"Siap. Tak jemput aja ya di stasiun."

Berikutnya kami sudah di tempat makan kecintaan, rawon Cak Sukar.

"Kamu sering banget ke sini, Mul?'

"Sering nemen."

"Istrimu kan pinter masak. Suruh masak rawon di rumah aja napa?"

"Di antara semua masakan Indonesia, dia cuma ngga bisa masak rawon. Lagian tempat ini nggak cuma masalah rawonnya sekarang, tapi kita. Setiap aku kangen kamu, aku nostalgianya ke sini. Inget wajah ngantukmu dulu pas makan di sini. Aku seneng liat wajahmu kalau ngantuk."

---

Kembali lagi melakukan hal yang sama,
Saya dan Mulia tak mengenakan apapun, 
Kami telanjang, namun tak bersetubuh.
Kami memutuskan ingin tetap melakukan ini. 
Terus melakukan entah hingga kapan.

"Mul."

"Hm."

"Kamu ngga apa kita terus begini?"

"Ngga apa."

"Sampai kapan kita begini?"

"Ga tahu. Mungkin barangkali sampe rawon kehabisan kluwek di dunia, atau  sampai rawon tak lagi hitam."

---






#NulisKamisan #S4 #S04E03


Saya lega, di Jogja, ngga lagi tentang Malioboro dan menghabiskan akhir pekan, namun tentang Asmara Cafe, rawon, dan dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana