22 November 2018

Rumah




Saya belum pernah bisa memaknai kebaikan dari kalimat:

“Sejauh-jauhnya engkau pergi, rumah adalah tempat ternyaman untuk kembali.”



Saya sudah pergi jauh, sejauh kaki, uang, dan hati saya mampu. Tapi sedetik pun tidak pernah bisa menemukan arti kenyamanan dari rumah. Ah, bahkan rumah saja saya masih ngga paham apa serunya kembali ke rumah?



***

“Sayang, kemarin aku baru beli rumah di daerah Surabaya Barat, Bimo masih ngurusin surat-suratnya. Nanti rumahnya atas namamu ya.”

Saya kaget, sebanyak apapun kejutan yang Chris beri, tidak pernah ada yang segila memberi rumah. Bukan karena saya meragukan kemampuannya, tapi untuk apa? Kenapa?


“wooow wooow wooow, bentar bentar. Kamu abis bikin dosa apa, Sayang?”


“maksudnya?”


“ngasih hadiah sampai sebesar rumah, kamu habis bikin salah apa?”


“ngga ada kok.”


“ya terus buat apa?”


“supaya kamu aman, nyaman, dan memudahkan kita.”


“rumahku sekarang aman dan nyaman kok, satpamnya juga selalu siaga, sampai 25 jam bahkan.”


“bukan itu maksudku. Adikmu kan kadang masih sering tidur di sana, sering dateng dadakan juga. Aku pengennya kita lebih mudah aja ketemuan tanpa ngerasa waswas, Sayang.”


“kita bisa ke hotel, ngga perlu sampai kamu beli rumah.”


“kamu kira aku lagi mesen pelacur apa? Pakai hotel segala.”


“aren't i?”

Dia marah, saya tahu dia marah. Saya mendengar hembusan nafas amarahnya. 


“why did you say that?”


“apa bedanya aku sama pelacur kalau kamu kasih aku segala materi bahkan sampai rumah? Apa bedanya aku sama gundik peliharaan om-om tua bangka di luaran? Aku, Sayang, ngga akan bisa lupa posisiku, posisimu, istrimu, anakmu. Selamanya aku ngga akan bisa lupa, dan karena itu aku selalu merasa aku ini pelacurmu kalau kamu terus-terusan kasih aku harta.”


“honey, i’m so sorry. Aku ngga pernah bermaksud begitu.”


Saya diam, memilih tidak menjawab karena satu kata yang keluar dari mulut, rasanya air mata tertahan ini sudah pasti akan tumpah. 


Kami saling menggenggam ponsel dan memilih saling terdiam tanpa ingin mengakhiri panggilan telepon. 


Saya menarik nafas


“give me some time, please. Aku butuh sendiri. Jangan hubungi aku dulu sampai aku yang ngehubungi kamu.”


“ok, but please just think about the house.”


“Chris, please. Don’t push me.”


“ok, honey. Take your time, you know i love you, always do.”


“i love you more. Bye.”


“Bye.”



***


Beberapa hari kemudian, menghadiri acara reuni SMA saya anggap sebagai pelipur lara. Saya akan berjumpa banyak sekali sahabat dan teman lama saya. Mengenang dengan sebaik-baiknya betapa mudahnya masa sekolah di kala itu, yang saya perlu pikirkan hanyalah tugas dari guru dan belajar untuk ujian. Sudah. Tidak perlu memikirkan urusan pekerjaan, tidak perlu lelah dengan luka hati, tidak pernah khawatir dengan banyak hal. Cukup belajar dan sesekali bermain.



Niaraa...



Saya mendengar ada yang memanggil nama saya. Saya menemukan siapa yang memanggil-manggil, di ujung lorong, ketiga teman lama saya sudah duduk manis di salah satu pengaturan meja yang disiapkan oleh panitia. 
 

“hai.”


“hai, hwaaa kangen kalian.”

Kami saling menyapa, bertukar kabar, dan saling berbagi cerita.

Ah, saya hanya menceritakan tentang pekerjaan tentunya. Mereka? Menceritakan segalanya, anak mereka, suami mereka, hobby mereka di dapur, dan sepaket topik lain yang jauh dari minat saya. 


“Ra, kamu gimana? Kapan berumah tangga?”


“kalau ga sabtu ya minggu.”


“iih nih anak.”

Saya berhasil menepis pertanyaan terkutuk itu. Mereka lanjut berbincang, saya hanya mendengarkan, menyimak ucapan mereka sembari menikmati suguhan band bergenre musik jazz yang sangat bagus dan menarik di panggung. 


“Ra, serius, kamu kan udah tua, udah 34 tahun. Kamu ngga mau punya anak? Ngga pengen punya suami? Ngga pengen berumah tangga? Jangan kerja mulu lah, masa mau jadi perawan tua?”


Kemudian mereka bertiga tertawa. 

Tertawa di atas luka saya yang sedang bernanah.

Mereka jahat sekali.


Saya meletakkan gelas yang sedari tadi saya pegang, sengaja meletakkan dengan agak keras agar mereka terdiam.


“gini ya, Din. Aku mau nanya. Kamu punya rumah sendiri nggak? Kamu dan suamimu deh.”

Dini terbungkam, teman SMA yang sedari tadi paling berisik dan dua kali menanyakan hal yang sama pada saya.

“Jawab dong, Din.”

Dini menggeleng.


“Aku, Din. Sudah punya rumah, rumah yang kubeli dari hasil kerjaku dan sudah kubeli sejak umur 27 tahun. Rumah, mobil, pekerjaan yang sukses tidak kemudian menjadikan aku berhak mempertanyakan apakah orang lain bahkan temanku sendiri sudah punya rumah, sudah punya mobil, atau sudah sesukses apa pekerjaannya? Tidak bisa dan tidak boleh begitu. Hal serupa juga sama dengan pernikahan. Hanya karena kamu beruntung dengan sudah lebih dulu menikah, Din, sudah lebih dulu berumah tangga, bukan artinya kamu berhak menghakimi siapapun di luar sana yang belum berumah tangga. Karena itu jahat, sangat jahat.”


Saya mengambil tas, lalu kemudian meninggalkan mereka dan saya memilih pulang. 


Pulang ke rumah.


Rumah saya.



***


“hai, apa kabar?”


“baik, Sayang. Kamu gimana?”


“mendingan.”


“i miss you.”


“i miss you more.”

Kami berbincang seperti biasa, topik ringan namun saling mendekatkan.


“Sayang, perihal rumah, rumah yang kamu beli kemarin berapa harganya?”


“kenapa harus nanya harga rumah sih?”


“just answer!”


“sekitar 5M. Kenapa sih?”


“aku mau rumah dari kamu, tapi bukan rumah yang itu. Aku maunya uang 5M itu bisa jadi 2 rumah.”


“ya tinggal beli lagi satu kan.”


“kebanyakan duit yang keluar ah.”


“kamu lagi ngga bisa didebat ya kayaknya?”


“yes, my dear. So just do it.”


“ok, tapi kenapa harus jadi dua rumah?”


“satu untuk kita, satu untuk kupakai jadi yayasan anak jalanan. Aku ngga minta izinmu, karena kamu harus memperbolehkan. Ok?” 


Dia tertawa.
Ya Tuhan, saya mencintai tawanya, saya mencintai lelaki ini, saya amat sangat menggilainya.


“Ok.”


“thanks, Chris. Really.”


“pleasure’s all mine, honey. Anyway, open your door.”


Saya berlari ke pintu dan melihat dia sudah berdiri di sana dengan seikat bunga ungu kesukaan saya.



***


Saya memilih beberapa yang layak disebut rumah dan tidak ada satu pun yang membuat saya nyaman dan selalu ingin pulang. Tidak satu pun. Rumah orangtua saya, saya selalu merasa datang ke neraka setiap kali ke sana. Mama dan Papa tak akan berhenti menyalahkan saya atas nasib saya yang belum menikah hingga usia kepala tiga, saya dibilang kurang ibadah, tak pernah memikirkan orangtua, tak peduli tatapan mata tetangga, dan sebagainya. Di rumah saya sendiri, saya merasa kosong, saya merasa rumah adalah tempat merebahkan punggung, ke kamar mandi, berganti pakaian, dan bercinta dengan Chris. Ok untuk bercinta memang saya menyukainya, tapi sisanya, ketika Chris tidak di rumah, saya merasa kembali berlubang. Chris, lelaki yang bertahun-tahun berhubungan dengan saya, jelas tak bisa disebut rumah karena tak bisa saya nikahi, kami berbeda keyakinan dan ia sudah berkeluarga. Saya merasa tak beruntung dalam hal tidak memiliki rumah yang layak disebut tempat kembali ternyaman. Tapi saya bisa membuat rumah ternyaman untuk mereka yang kurang beruntung di jalanan Surabaya. Mereka yang bahkan tempat untuk berlindung saja tidak punya. Sekalipun tidak sempurna, rumah yang ingin saya sediakan untuk mereka akan selalu saya perbaiki kelak baik dari luar maupun dalam, baik secara fisik maupun suasana dan aura rumahnya.





Dan untuk itu, saya butuh Chris, tempat saya selalu kembali, 
sekalipun masih tak bisa disebut RUMAH.


***







#NulisKamisan #S4 #S04E05


sumber foto





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana