Saya belum pernah bisa memaknai kebaikan dari kalimat:
“Sejauh-jauhnya engkau pergi, rumah adalah tempat ternyaman untuk
kembali.”
Saya sudah pergi jauh, sejauh kaki, uang, dan hati saya mampu. Tapi
sedetik pun tidak pernah bisa menemukan arti kenyamanan dari rumah. Ah, bahkan
rumah saja saya masih ngga paham apa serunya kembali ke rumah?
***
“Sayang, kemarin aku baru beli rumah di daerah Surabaya Barat, Bimo
masih ngurusin surat-suratnya. Nanti rumahnya atas namamu ya.”
Saya kaget, sebanyak apapun kejutan yang Chris beri, tidak pernah ada
yang segila memberi rumah. Bukan karena saya meragukan kemampuannya, tapi untuk
apa? Kenapa?
“wooow wooow wooow, bentar bentar. Kamu abis bikin dosa apa, Sayang?”
“maksudnya?”
“ngasih hadiah sampai sebesar rumah, kamu habis bikin salah apa?”
“ngga ada kok.”
“ya terus buat apa?”
“supaya kamu aman, nyaman, dan memudahkan kita.”
“rumahku sekarang aman dan nyaman kok, satpamnya juga selalu siaga,
sampai 25 jam bahkan.”
“bukan itu maksudku. Adikmu kan kadang masih sering tidur di sana,
sering dateng dadakan juga. Aku pengennya kita lebih mudah aja ketemuan tanpa
ngerasa waswas, Sayang.”
“kita bisa ke hotel, ngga perlu sampai kamu beli rumah.”
“kamu kira aku lagi mesen pelacur apa? Pakai hotel segala.”
“aren't i?”
Dia marah, saya tahu dia marah. Saya mendengar hembusan nafas
amarahnya.
“why did you say that?”
“apa bedanya aku sama pelacur kalau kamu kasih aku segala materi
bahkan sampai rumah? Apa bedanya aku sama gundik peliharaan om-om tua bangka di
luaran? Aku, Sayang, ngga akan bisa lupa posisiku, posisimu, istrimu, anakmu.
Selamanya aku ngga akan bisa lupa, dan karena itu aku selalu merasa aku ini
pelacurmu kalau kamu terus-terusan kasih aku harta.”
“honey, i’m so sorry. Aku ngga pernah bermaksud begitu.”
Saya diam, memilih tidak menjawab karena satu kata yang keluar dari
mulut, rasanya air mata tertahan ini sudah pasti akan tumpah.
Kami saling menggenggam ponsel dan memilih saling terdiam tanpa ingin
mengakhiri panggilan telepon.
Saya menarik nafas
“give me some time, please. Aku butuh sendiri. Jangan hubungi aku dulu
sampai aku yang ngehubungi kamu.”
“ok, but please just think about the house.”
“Chris, please. Don’t push me.”
“ok, honey. Take your time, you know i love you, always do.”
“i love you more. Bye.”
“Bye.”
***
Beberapa hari kemudian, menghadiri acara reuni SMA saya anggap sebagai
pelipur lara. Saya akan berjumpa banyak sekali sahabat dan teman lama saya.
Mengenang dengan sebaik-baiknya betapa mudahnya masa sekolah di kala itu, yang
saya perlu pikirkan hanyalah tugas dari guru dan belajar untuk ujian. Sudah. Tidak
perlu memikirkan urusan pekerjaan, tidak perlu lelah dengan luka hati, tidak
pernah khawatir dengan banyak hal. Cukup belajar dan sesekali bermain.
Niaraa...
Saya mendengar ada yang memanggil nama saya. Saya menemukan siapa yang
memanggil-manggil, di ujung lorong, ketiga teman lama saya sudah duduk manis di
salah satu pengaturan meja yang disiapkan oleh panitia.
“hai.”
“hai, hwaaa kangen kalian.”
Kami saling menyapa, bertukar kabar, dan saling berbagi cerita.
Ah, saya hanya menceritakan tentang pekerjaan tentunya. Mereka? Menceritakan
segalanya, anak mereka, suami mereka, hobby mereka di dapur, dan sepaket topik
lain yang jauh dari minat saya.
“Ra, kamu gimana? Kapan berumah tangga?”
“kalau ga sabtu ya minggu.”
“iih nih anak.”
Saya berhasil menepis pertanyaan terkutuk itu. Mereka lanjut berbincang,
saya hanya mendengarkan, menyimak ucapan mereka sembari menikmati suguhan band
bergenre musik jazz yang sangat bagus dan menarik di panggung.
“Ra, serius, kamu kan udah tua, udah 34 tahun. Kamu ngga mau punya
anak? Ngga pengen punya suami? Ngga pengen berumah tangga? Jangan kerja mulu
lah, masa mau jadi perawan tua?”
Kemudian mereka bertiga tertawa.
Tertawa di atas luka saya yang sedang bernanah.
Mereka jahat sekali.
Saya meletakkan gelas yang sedari tadi saya pegang, sengaja meletakkan
dengan agak keras agar mereka terdiam.
“gini ya, Din. Aku mau nanya. Kamu punya rumah sendiri nggak? Kamu dan
suamimu deh.”
Dini terbungkam, teman SMA yang sedari tadi paling berisik dan dua kali
menanyakan hal yang sama pada saya.
“Jawab dong, Din.”
Dini menggeleng.
“Aku, Din. Sudah punya rumah, rumah yang kubeli dari hasil kerjaku dan
sudah kubeli sejak umur 27 tahun. Rumah, mobil, pekerjaan yang sukses tidak
kemudian menjadikan aku berhak mempertanyakan apakah orang lain bahkan temanku
sendiri sudah punya rumah, sudah punya mobil, atau sudah sesukses apa
pekerjaannya? Tidak bisa dan tidak boleh begitu. Hal serupa juga sama dengan
pernikahan. Hanya karena kamu beruntung dengan sudah lebih dulu menikah, Din,
sudah lebih dulu berumah tangga, bukan artinya kamu berhak menghakimi siapapun
di luar sana yang belum berumah tangga. Karena itu jahat, sangat jahat.”
Saya mengambil tas, lalu kemudian meninggalkan mereka dan saya memilih
pulang.
Pulang ke rumah.
Rumah saya.
***
“hai, apa kabar?”
“baik, Sayang. Kamu gimana?”
“mendingan.”
“i miss you.”
“i miss you more.”
Kami berbincang seperti biasa, topik ringan namun saling mendekatkan.
“Sayang, perihal rumah, rumah yang kamu beli kemarin berapa harganya?”
“kenapa harus nanya harga rumah sih?”
“just answer!”
“sekitar 5M. Kenapa sih?”
“aku mau rumah dari kamu, tapi bukan rumah yang itu. Aku maunya uang 5M itu bisa jadi 2 rumah.”
“ya tinggal beli lagi satu kan.”
“kebanyakan duit yang keluar ah.”
“kamu lagi ngga bisa didebat ya kayaknya?”
“yes, my dear. So just do it.”
“ok, tapi kenapa harus jadi dua rumah?”
“satu untuk kita, satu untuk kupakai jadi yayasan anak jalanan. Aku ngga
minta izinmu, karena kamu harus memperbolehkan. Ok?”
Dia tertawa.
Ya Tuhan, saya mencintai tawanya, saya mencintai lelaki ini, saya amat sangat menggilainya.
“Ok.”
“thanks, Chris. Really.”
“pleasure’s all mine, honey. Anyway, open your door.”
Saya berlari ke pintu dan melihat dia sudah berdiri di sana dengan seikat
bunga ungu kesukaan saya.
***
Saya memilih beberapa yang layak disebut rumah dan tidak ada satu pun
yang membuat saya nyaman dan selalu ingin pulang. Tidak satu pun. Rumah
orangtua saya, saya selalu merasa datang ke neraka setiap kali ke sana. Mama
dan Papa tak akan berhenti menyalahkan saya atas nasib saya yang belum menikah
hingga usia kepala tiga, saya dibilang kurang ibadah, tak pernah memikirkan
orangtua, tak peduli tatapan mata tetangga, dan sebagainya. Di rumah saya
sendiri, saya merasa kosong, saya merasa rumah adalah tempat merebahkan
punggung, ke kamar mandi, berganti pakaian, dan bercinta dengan Chris. Ok untuk
bercinta memang saya menyukainya, tapi sisanya, ketika Chris tidak di rumah,
saya merasa kembali berlubang. Chris, lelaki yang bertahun-tahun berhubungan
dengan saya, jelas tak bisa disebut rumah karena tak bisa saya nikahi, kami
berbeda keyakinan dan ia sudah berkeluarga. Saya merasa tak beruntung dalam hal
tidak memiliki rumah yang layak disebut tempat kembali ternyaman. Tapi saya bisa
membuat rumah ternyaman untuk mereka yang kurang beruntung di jalanan Surabaya.
Mereka yang bahkan tempat untuk berlindung saja tidak punya. Sekalipun tidak sempurna, rumah yang ingin saya sediakan untuk mereka akan selalu saya perbaiki kelak baik dari luar maupun dalam, baik secara fisik maupun suasana dan aura rumahnya.
Dan untuk itu, saya butuh Chris, tempat saya selalu kembali,
sekalipun
masih tak bisa disebut RUMAH.
***
#NulisKamisan #S4 #S04E05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar