02 Agustus 2019

Di Titik Ini


Juni 2012

Sedari kecil, banyak pertanyaan bahkan kekhawatiran yang sembarangan muncul dalam kepala tanpa diminta. Pada usia 20 tahunan, pertanyaan muncul dalam bentuk keingintahuan akan masa depan, kehidupan setelah mati, kenapa neraka harus dijadikan ancaman, kenapa kata durhaka harus ada, kenapa kita harus sukses, apa jadinya jika perempuan hidup sendiri ditemani kucing jalanan di sebuah sudut gang, sekuat apa persiapan seorang anak sebelum ditinggal meninggal orangtua, seberapa kaya harusnya kita untuk merasa puas dan bahagia, hingga pada satu titik satu kesempatan, saya menghembuskan nafas dengan sangat berat. Ia menyadarinya, hanya Ia yang selalu menyadari hal kecil dari saya.

“are you ok?”

“aku capek.”

“capek nemenin aku nyari kerja dan interview?”

“oh ngga, bukan itu.”

“trus?”

“capek sama isi kepala. Banyak nanya ga ada jawabannya jadinya nambah kekhawatiran.”

Dia mengusap kepala saya dengan lembut, usapan kepala pangkal sayang.

“coba sini kasih tahu saya, apa yang sekarang nih, sekarang banget lagi kamu pertanyakan?”

“am I good enough for you? or if we won’t be together, am I good enough for any man?”

“apa yang membuatmu merasa tidak cukup baik?”

“hhmm, usiaku udah 23, thesis ngga selesai-selesai, kerjaan juga masih blm ada progress. Keterampilan juga hhmm ngga ada kayaknya.”

“Nhaz, kamu masih 23 tahun bukan udah 23 tahun.”

“ya tapi liat deh kamu, kamu aja udah bisa di posisi kepala cabang di usia segitu, pengalaman professional kamu udah banyak di usia itu. Lah aku?”

“Lah ini tapi saya sekarang jobless, kamu bekerja, kamu berpendapatan, saya di usia 31 tahun tidak bekerja, tidak memiliki pendapatan, tidak ada keluarga, tidak punya apa-apa dan siapa-siapa selain kamu. Kamu yang bagi saya sudah mencukupi segalanya, eh malah kamu yang merasa bukan apa-apa. Lagian, jalan kamu masih panjang. Saya yakin, di usia seperti saya sekarang, kamu akan jadi orang yang jauh lebih hebat dari saya, jauuhh lebih hebat dan bermanfaat.”

Saya lega.
Dia lega. 

Kami melanjutkan perjalanan dengan hening sambil sesekali bergenggaman tangan di dalam mobil. Barangkali itu yang saya cari, Ia yang bisa meredam dan menenangkan ketika tiba-tiba isi kepala saya riuh, ia yang bisa meyakinkan ketika saya mulai hilang arah dalam keraguan. Karena dia, saya yakin saya mampu dan bisa menjadi lebih dan lebih baik lagi, menjadi mampu berdiri di titik ini.


--


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana