18 Februari 2013

penyuguh tubuh


"Aku balik dulu ya, Mbak. Uang dari Om Didi tadi titip disini aja dulu, akhir bulan aja aku ambil ya, Mbak."

"Iyo, Rum. Kamu balik ama dia toh? ati-ati ya."

"Iya, Mbak. Aku balik sek ya."

Arum merapikan pakaiannya, mengenakan cardigan hitam seperti biasa dan helm yang selalu disiapkan lelaki yang setia mengantarnya kemanapun ia pergi.

Setelah Arum siap, barulah mereka berangkat menuju salah satu sudut kota Surabaya, bantaran sungai yang penuh anak kecil  dan balita yang ingin belajar tapi kekurangan biaya untuk menyewa guru tambahan. Arum rutin datang kesana kecuali hari Sabtu. Ia membantu anak-anak disana belajar. Bekal akhir tamatan SMA dari kota asalnya, Kediri, cukup untuk menjadikan dirinya sebagai guru gratis bagi anak-anak itu. 

"Mau sampai kapan kamu begini terus, Rum?" 
pertanyaan entah ke berapa kalinya yang ditujukan untuk perempuan sayu berkulit sawo matang yang amat dia cintai. Teguh bukan lelaki yang mudah menyerah, serupa dengan namanya. Tak pernah menyerah menjaga perempuan kecintaannya, tak pernah menyerah mengembalikan perempuan kecintaannya ke jalan dimana seharusnya seorang perempuan seusia 26 tahun berada. 

"Wes toh mas, aku sudah bosan ditanya begitu, lah kan jawabanku juga tetap sama. Aku selamanya bakalan begini. Sampeyan nyetir aja yang bener, jangan mikir macem-macem, ndak usah nanya yang sama lagi terus-terusan, nanti nabrak."

kembali sunyi, tak ada pembicaraan selama kurang lebih 10 menit, hingga akhirnya Teguh menepikan sepeda motornya ke pinggir jalan, tepat dibawah sebuah pohon mahoni dengan penerangan lampu jalan yang seadanya.

"Kenapa kok berhenti, Mas?" 

"Aku mau ngomong serius sama kamu, Rum. Aku ngenes lihat kamu gini terus. siang sampe malam kerja, malam sama anak-anak itu. Kamu nggak kepikiran pengen punya anak sendiri? dari perut kamu. Anak yang bisa kamu jagain sepanjang hari. Kalau kamu takut nggak cukup biaya, ada aku, Rum. Aku sungguhan sayang sama kamu, aku pengen nikah sama kamu."

Arum tetap seperti biasanya, hanya tersenyum, lesu. Berfikir dengan menggunakan sudut otak bagian manapun pasti hasilnya tetap akan sama. Tetap akan memutuskan jawaban yang sama pula.

"Aku juga sayang sama Mas Teguh. Tapi aku ini udah bobrok Mas. Udah ndak bisa lagi jadi seorang istri yang baik, yang pantas buat kamu, apalagi jadi Ibu. Badanku udah dipake ama banyak laki, Mas. Wes biar aku begini aja. Biar aku sendiri aja. Mas Teguh kalau mau menikah, monggo cari perempuan lain yang lebih luwes, lebih baik daripada aku."

"Tapi aku sayangnya sama kamu, Rum. Aku bisa terima kamu apa adanya. Kamu berhenti aja dari panti pijet, biar aku juga berhenti jadi makelar disana. Aku cari kerja yang halal, kamu di rumah aja. Gimana, Rum?"

"Ndak,Mas, aku nggak bisa. Aku sudah nyaman begini. biar aja badanku buat laki-laki yang butuh karna aku wes terlanjur begitu. yang penting mas Teguh tahu, hati aku ya cuman buat sampeyan ama anak-anak itu, ndak ada yang lain."

"Rum, aku nyesel dulu ngajak kamu kesini, maafin aku ya, Rum. maafin aku, Rum."

"Iya,Mas, iya."

Arum hanya bisa menarik ujung bibirnya keatas, tipis, menggambarkan senyum teduh perlambang cintanya yang besar pada lelaki didepannya ini. Pun menunjukkan getir perih hatinya yang tak bisa memberikan tubuhnya untuk melayani Teguh. satu-satunya lelaki yang peduli akan keadaan Arum. 

Arum tetaplah perempuan yang keras kepala. pukulan macam apapun tak akan mampu meretakkan tujuan hidupnya untuk terus sendiri. begitulah garis takdir menarik Arum menuju jalan yang salah. gelap. menyesatkan.    

mereka kembali melanjutkan perjalanan, 
yang selalu sama setiap harinya.
begitu saja, dan akan terus begitu.
rutinitas monoton seorang Arum.

perempuan penyuguh tubuh.




Surabaya, 17 februari 2013 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana