“jagung rebus serutnya 2 pakai
susu ama keju ya, Bu.” Pinta Rama pada Ibu penjual jagung dan beberapa jajanan
ringan di ujung jalan.
Udara di Tretes bisa dikatakan
cukup dingin, tapi Rama merasakan kehangatan yang tak biasa sekarang. Memakai jaket
tebal berwarna abu gelap dan celana pendek biasanya membuat Rama kedinginan di
tempat ini. Ini sudah kali ke sekian ia mendatangi Tretes dengan tujuan yang
seringkali berbeda-beda.
Tretes selalu bisa menyuguhkan
rasa dingin dan hangat dalam satu waktu. Banyak pemuda-pemudi dan keluarga
kecil dari berbagai kota mendatangi tempat ini. Pemuda yang bergandeng mesra
dengan pasangannya, entah masih teman, calon kekasih, atau bahkan mantan kekasih. Begitupun pemudi yang
menggelayut manja tapi tetap tak melebihi aturan. Banyak juga gerombolan anak
muda yang mungkin menghabiskan waktu akhir pekan dengan reuni atau sekedar berkumpul
saling melepas rindu karena lama tak berjumpa. Ibu-ibu tua yang masih tak
menyerah menjajakan sayur atau buah dalam bakul yang digendong di punggung
sambil berjalan sedikit terhuyung. Satu dua pembeli saja sudah mampu
menciptakan ribuan kalimat syukur dari mulut ibu-ibu penjual itu. Berpacu melawan
waktu mereka tetap berusaha mengais rejeki sekalipun hanya mengambil untung
seribu hingga dua ribu rupiah. Buah dan sayur yang mereka jual sudah pasti
memiliki tanggal busuknya masing-masing, mungkin karena itu mereka bersusah
payah hingga larut malam untuk menjualnya.
“Pak Rama mau minum apa?” tanya
Dinda mengagetkan lamunan ringan Rama.
“Dinda pesan apa? Biar saya yang
pesankan ke warung sebrang. Kamu disini aja nunggu jagungnya dateng.”
“Susu putih tanpa gula deh. Maaf ya
pak, Dinda merepotkan.”
“hah? Susu? Serius? Saya nggak
lagi ngajak jalan-jalan anak dalam masa pertumbuhan kan? Ntar saya diomelin
orangtua kamu nih jangan-jangan begitu tahu anaknya diculik jam segini padahal
belum minum susu.”
Dinda hanya menanggapi dengan
senyuman renyah yang selalu bisa membuat hati Rama berdesir luluh.
Dinda mengamati Rama yang
perlahan menjauh menuju warung di seberang jalan untuk memesan minuman yang
mereka inginkan sambil sesekali mengusap-usap telapak tangannya demi mengharap
sedikit kehangatan.
Dinda berusia 10 tahun lebih muda
daripada Rama, dan sama sekali tak terpikirkan akan menjalani hubungan tanpa
kejelasan dengan atasannya di kantor, Rama. Setelah kepergian Bagus 2 tahun
lalu, Dinda sama sekali tak ingin ditemani lelaki manapun, apalagi lelaki
dengan status duda beranak satu yang jauh dari tipe ideal Dinda. tapi ternyata takdir berkata lain, Dinda harus kembali dijatuhi cinta dari Rama yang perokok,
genit, terlalu menarik, pintar tapi sedikit ceroboh. Dinda tak terlalu menyukai lelaki
pintar, karena mereka juga cenderung licik.
“Pak, saya boleh nanya sesuatu
nggak?” tanya Dinda setelah Rama duduk kembali di sebelahnya.
“apaan?”
“kenapa kita nggak menikah aja?”
Rama masih terbelalak dan kaget
mendengar pertanyaan Dinda barusan. Untung saja ia tidak dalam keadaan
menenggak kopi panasnya saat Dinda melontarkan pertanyaan dengan jawaban yang
menimbulkan berbagai rasa bersalah.
“Din, kamu kesambet apa barusan
pas saya tinggal pesan minum? Untung juga jantung saya lagi oke-oke aja jadi
gak sampe lompat keluar saking kagetnya.”
“jadi..?” tanya Dinda sambil
tertawa kecil.
“iya, kita pasti menikah kok Din.
Tapi kamu sabar ya, karena nggak mungkin sekarang. Masa mau nikah di warung
gini?”
“saya pasti sabar, saya pasti
nunggu kalau pak Rama minta saya menunggu dan bersabar, sejak malam itu, saya yakin pak Rama pasti tahu gimana cintanya saya sama bapak, gimana saya nggak akan ragu untuk mengusahakan kebersamaan kita sekalipun harus kucing-kucingan sama banyak orang. tapi yang disini nggak bisa kelamaan
nunggu Pak, dia punya bom waktunya sendiri.” Dinda menjawab sembari mengelus pelan
perutnya.
“Din..... ini becanda? Itu bukan
anak saya kan?”
pertanyaan Rama membuat malam ini menjadi malam terakhir baginya bertemu dengan Dinda.
6 bulan kemudian...
Sebuah surat tergeletak di atas
meja kerja Rama, dengan amplop warna putih gading tanpa keterangan dan
alamat pengirimnya. Rama hampir saja memutuskan untuk membuang surat tersebut
sebelum hati kecilnya memaksa untuk membukanya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Selamat Pagi Pak Rama,
Lelaki yang sangat saya cintai.
Maaf atas kelancangan saya mengirimkan
surat tak tahu malu ini kepada anda, maaf.
Bagiamana kabar anda? Bagaimana kabar
Miko kesayangan anda?
Semoga Tuhan selalu mengabulkan
doa saya agar terus memberikan kalian kesehatan dan kebahagiaan.
Terima kasih atas hadiah terindah
yang telah anda berikan pada saya,
sekalipun tak mendapat pengakuan dari anda, saya
tetap berterima kasih dan sangat bahagia, karena saya percaya keputusan anda pasti memiliki alasan yang kuat, pasti.
Saya sama sekali tidak bermaksud
membuka kisah lama yang sudah pasti anda lupakan dan buang jauh-jauh.
Saya hanya ingin meminta sedikit
hak saya dan si kecil dalam perut yang kedatangannya di dunia ini tinggal
menunggu hitungan minggu.
hak untuk didengar, hak untuk berbagi cerita.
Coba anda tebak, apa jenis
kelamin si kecil ini?
YAAA, lelaki pak.
Ia lelaki.
Bayi lelaki dengan kaki yang kuat,
tawa yang riang, hati yang sangat lembut.
Bayi kita, seharusnya...
Saya akan menamakannya Adnan,
artinya surga.
Saya berharap ia akan menjadi
surga bagi saya,
melengkapi surga kecil yang sempat
anda berikan pada saya,
Bolehkan saya menamakannya Adnan,
Pak?
ah ya, si kecil ini selalu menendang
tiap jam makan malam, benar-benar saat dimana anda selalu menghubungi saya di
kala itu.
menanyakan apa yang sedang saya lakukan, bahagiakah saya berada
disamping anda, menyampaikan rindu, dan berbagai obrolan ringan yang hingga
sekarang masih melekat erat di ingatan saya.
saya merindukan masa itu, amat
sangat.
si kecil ini juga seringkali
bergerak seolah ingin ikut bernyanyi saat saya memutarkan lagu kesukaan anda,
lagu Audioslave.
maafkan saya karena tanpa sengaja memutar lagu itu dan
bukannya lagu Jazz seperti yang dokter kandungan sarankan.
ah sesekali membantah pasti tak
apa : )
Dokter juga bilang bahwa saya
harus sering-sering mengajak si kecil berbicara, obrolan ringan yang mampu
mendekatkan si kecil dengan saya.
karenanya, setelah makan malam, saya selalu
duduk di teras rumah, sambil melihat bintang yang kadang malu kadang berani
menampakkan diri, berbincang dengan si kecil sambil melakukan kebiasaan
sederhana yang dulu juga sempat kita lakukan, memandangi hamparan bintang di
langit.
Pak Rama tahu kan kalau saya suka minum susu? karena itu saya juga tak kesulitan saat harus minum susu khusus untuk ibu hamil, hhmm rasanya memang sedikit berbeda dengan susu yang seringkali saya minum sebelumnya. tapi tak apa, demi si kecil agar tumbuh lebih baik di dalam perut, apapun pasti saya lakukan.
saya tinggal di sebuah rumah yang
sangat sederhana di luar kota Surabaya, masih mengontrak tiap 6 bulan.
tapi pak
Rama jangan khawatir karena secepat mungkin saya akan menyediakan tempat
tinggal yang layak untuk si kecil kita.
saya sudah menyiapkan kamar
mungil dengan dinding berhiaskan pepohonan serta
beberapa pakaian serta perlengkapan bayi, semuanya berwarna hijau,
Warna kesukaan
anda.
Warna yang pasti bisa membantu menenangkan si kecil ketika ia sedang
merengek, menangis, atau bahkan rewel tanpa alasan kelak.
Saya juga sudah banyak sekali
membaca buku, majalah, dan berbagai artikel tentang kehamilan dan bayi, jadi
anda tidak perlu khawatir saya tidak bisa menjaga si kecil dengan baik.
Pak Rama bantu saya lewat doa ya,
semoga saya bisa menerapkan semua yang sudah saya pelajari dengan baik.
Bantu saya lewat doa semoga kelak
jika harinya tiba, si kecil bisa lahir dengan selamat tanpa halangan yang
berarti.
Bantu saya lewat doa semoga saya
bisa menjadi ibu sekaligus ayah yang baik untuk si kecil.
Bantu saya lewat doa semoga tanpa
anda sekalipun, si kecil tetap tumbuh dengan sehat dan membanggakan.
Bantu saya lewat doa semoga saya
tetap mampu menjaga cinta dan harapan saya untuk anda.
Bantu saya lewat doa semoga anda
tetap tersenyum dan mendukung sekalipun hanya dalam hati saya.
Saya membutuhkan doa anda..
sekian cerita dari saya,
Terima kasih atas waktunya, dan
sekali lagi maafkan kelancangan saya.
Yang mencintaimu teramat dalam,
Dinda Putri.
PS: Saya melampirkan foto USG si
kecil, supaya anda dapat sedikit saja merasakan adanya kehidupan yang
menakjubkan di dalam perut saya, kehidupan yang anda beri. :)
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Airmata menetes di atas surat
tersebut, airmata penyesalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar