Surabaya,
27 Desember 2013
Banyak orang yang bilang hari
kelahiran adalah hari baru. Kita memulai satu babak baru dalam hidup kita
dengan doa dan harapan serta kejutan-kejutan yang baru.
Hari ini, adalah hari
kelahiranku.
Bahagia? Ah sudah pasti. jangan lagi tanyakan itu.
Membuka mata dengan perasaan yang
dipenuhi letusan bahagia.
Menghirup nafas dengan udara yang
sepertinya 200 kali lipat lebih bersih dan segar dari biasanya.
Meregangkan tubuh lalu bangkit,
membuka jendela kamar dan langsung memandang riuh ibu-ibu sedang memilih
belanjaan dari penjual sayur keliling yang kebetulan sedang berhenti di depan
rumah.
Ada Ibuku di kerumunan itu, hhmm semoga saja ibu memasak sayur bening
dan dadar jagung favoritku hari ini. Masakan favorit di hari spesial. Ah nikmatnya.
Pagi ini aku benar-benar merasa
dirasuki malaikat pembawa semangat.
Mandi dan sarapan juga kulakukan
dengan semangat yang melebihi para pejuang di tahun 1945.
Ibu benar-benar wanita terhebat. Beliau
benar memasak sayur bening dan dadar jagung untukku sarapan. Setelahnya Ibu
memberikan kue ulang tahun, memintaku berdoa sebelum aku meniup lilin dengan
angka 19. Aku mengecup gemas kedua pipi Ibu dan berpamitan pergi ke kampus.
“aku kuliah dulu ya, Bu.
Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Hati-hati, Aina.”
Pukul
17.09 WIB
Angga, lelaki pujaanku mengajakku
keluar malam ini. Sepertinya ia akan mengajakku malam malam di cafe favorit
kita, Ladang Coffee. Sebenarnya cafe itu bukanlah cafe yang terlalu manis. Desain
bangunannya juga sangat biasa saja. Yang aku dan Angga sukai dari cafe itu
adalah karena di sana kami pertama kali bertemu. Love in the first sight, kamipun saling jatuh hati sejak saat itu
hingga hari ini, hhmm tak terasa sudah 5 tahun lebih. Angga sangat menyukai kopi luwak di sana,
dan aku sangat menggilai hazelnut latte.
Hari ini, aku meminta bertemu
langsung di sana. Lebih praktis daripada ia harus memutar mobilnya dari Gresik
menuju rumahku di Jalan Keputih lalu kembali lagi menuju tengah kota ke arah
Ladang Coffee. Lagipula hari ini sudah menuju akhir bulan, Angga pasti sibuk
dengan pekerjaannya di kantor, jadi lebih baik aku tak menambah lelahnya dengan
memintanya menjemputku dahulu.
Rambut pendek yang
kubiarkan tergerai dengan satu sematan jepit berwarna hijau di bagian kanan,
aku melengkapi riasan wajahku dengan sedikit lipstik warna pink lembut. Dress selutut dengan motif bunga ditambah
dengan cardigan warna hijau tosca ini
kurasa sempurna untukku bertemu dengannya malam ini. Kupilih sepatu tanpa hak
berwarna sama dengan cardiganku. Ah lengkap
sudah persiapanku.
Pukul
19.23 WIB, Ladang Coffee Surabaya.
*triiiing*
Bel berbunyi, pertanda pintu cafe
sedang terbuka atau tertutup.
Aku memasuki cafe dan langsung
menemukan sosok Angga di sudut kiri cafe. Ia sangat tampan malam ini. Rambutnya
jauh lebih rapi dari biasanya. Pakaiannya sungguh sangat sempurna, ia
mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang tergulung rapi dan celana kain khas
pria kantoran yang nampak pas di tubuhnya. Angga sangat tampan, dan wooppss ia
sedang tak memakai kaca mata seperti biasanya.
Ia tersenyum manis menyambutku
dan mengecup keningku penuh sayang. Memandangiku sejenak.
“Selamat ulang tahun, Ainaku yang cantik.”
Di meja sudah kulihat dua cangkir
minuman, 2 piring pasta, dan sebuah kue tart vanilla dangan hiasan beberapa
buah segar di atasnya, ada sebuah lilin yang sedang menyala kecil di sana.
Angga memintaku duduk dan segera meniup lilinku.
“Makasi ya, Sayang.”
“Sama-sama. Semoga kamu bahagia,
hari ini, esok, dan selamanya. Apapun yang terjadi, di manapun kamu,
bagaimanapun keadaanmu, semoga kamu, Aina Talita, wanita pujaanku selalu bahagia.
Selalu panjang umur, melebihi umurku. Dan menjadi wanita sukses kebanggaanku. Aamiin.”
“aamiin.”
“aku tinggal bentar ya, Sayang.”
“iya. Cepet balik ya..”
Angga tersenyum dan melangkah
menuju belakang cafe. Ah apa-apaan ini, baru juga bertemu, Angga sudah
meninggalkanku ke toilet.
..... 10 menit
..... 20 menit
..... 30 menit
Angga di mana?
Aku gelisah. Sangat gelisah. Seketika
ada bagian di jantungku yang seolah berhenti. Entah atas sebab apa. Aku berulang
kali menoleh dan memandangi sekitar. Tapi hanya tatapan tak acuh yang kutangkap
dari para pengunjung cafe. Aku berulang kali menghubungi ponsel Angga, tak
tersambung. Angga ke mana? Angga ke mana?
Baiklah, aku harus tenang. Harus tenang.
Aku menuju ke belakang cafe dan semua
pintu toilet terbuka. Aku tak menemukan
sosok Angga di manapun di sekitar cafe.
Angga meninggalkanku? Sendiri di cafe
ini? TAK MUNGKIN.
Aku memutuskan untuk kembali ke kursiku dan menunggunya. Ia pasti
punya alasan.
Sial. Ponselku mati, kehabisan
daya dan aku lupa membawa chargernya.
Sial sial sial.
..... 1 jam
..... 1 jam 30 menit
Waktu terus berjalan, dan aku
masih sendiri dalam bimbang. Ah aku teringat film Meteor Garden 2. Saat Dao
Ming Si dan Shan Cai terpisah, Ming Si berpesan pada Shan Cai setelah akhirnya
mereka kembali bertemu,
“berjanjilah, kamu
akan tetap menungguku di tempat terakhir kita bertemu jika kelak aku
menghilang. Jangan pergi dan beranjak ke manapun. Tetaplah menungguku. Jangan meninggalkanku.”
Ya. Aku akan berpura-pura
memposisikan diri sebagai Shan Cai, supaya Angga tak bingung mencariku. Aku akan
di sini menunggunya.
“maaf kak, sudah hampir pukul 2,
kami mau tutup. Adakah lagi yang ingin dipesan?” sapaan waitress membuyarkan lamunanku.
“ah, hmmm iya mbak, maaf ya maaf.
Saya minta billnya ya. Makasi”
Apa? Sudah 6 jam lebih aku
menunggu, dan Angga masih belum kembali. Ya Tuhan, kembalikan Angga. Kembalikan
Ia.
“ini kak.”
“loh mbak, kok pesanannya cuma
satu hazelnut latte dan satu pasta? Yang lainnya nggak masuk?”
“ah maaf kak, kami cek ulang ya. Mohon
tunggu sebentar.”
Beberapa waktu kemudian waitress itu mendatangi mejaku dan
menjelaskan bahwa aku hanya memesan satu cangkir hazelnut latte dan sepiring
pasta. Tak ada cangkir dan piring lain. Ia juga memberitahukan padaku bahwa
daritadi aku hanya seorang diri, tak ada siapapun di hadapanku. Tak ada Angga. Darinya
aku juga tahu bahwa beberapa menit setelah aku duduk sejak kedatanganku, aku
tersenyum sendiri, berbicara sendiri, dan meniup lilin hiasan meja. Bukan kue
ulang tahunku. Bukan kue tart yang disiapkan Angga.
Aku menarik nafas dalam, sangat
dalam.
Lalu menghembuskannya perlahan sambil memejam menahan air mata.
Kubuka mata dan demi Tuhan, pandanganku
berubah.
Tak ada kue tart, tak ada piring
dan cangkir Angga.
“maaf kak, tapi daritadi yang
saya tangkap hanya kakak seorang diri, terdiam seperti gelisah tanpa melakukan
apapun di sini. Sejak pukul 7 malam kalau saya tidak salah.”
Aku mengeluarkan sejumlah uang
dan meninggalkan cafe. Gontai.
Sesampainya di rumah, aku melihat
Ibu duduk di kursi teras sambil memakai jaket dan memeluk selimut tipis.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Ibu terbangun
dengan mata sembab.
Ibu memelukku erat. Sangat erat. Terlalu
erat.
“Ikhlaskan Angga, Nduk. Ikhlaskan.
Anggamu sudah bahagia di pangkuanNya. Kecelakaannya jam 7 semalam di tol
Romokalisari menuju ke Surabaya.”
Air mataku tumpah. Menolak terima.
Menolak berfikir. Menolak mendengar. Menolak tersadar.
Hanya ada GELAP.
selamat ulang tahun, smg menjadi momentum untuk menjadi lebih sukses ya
BalasHapuskalau doanya untukku, aku aamiinkan dari hati. :D tapi itu ulang tahunnya cuma di cerpen kok kak :D terima kasih yaaa sudah main-main ke blogku dan meninggalkan jejak. *happy*
HapusHuwaaah, sedihnya :((
BalasHapusIni masih bisa dibuat part-2 nya mbak. Hehe...
Have a nice day...
Salam persohiblogan ya ^_^
salam :D
Hapushehehe duuhh dibikin part 2 nya ini yang mampet ide mau dilanjutin ke mana ceritanya :))
anw, terima kasih ya sudah mampir ke sini.
pleasure is mine :D