16 Oktober 2014

di halaman sebuah bank di Surabaya


sore ini harusnya aku sudah terbiasa dengan bangunan itu, pun dengan kenangan yang tertinggal di sana. bukan tempat yang rutin kusinggahi memang, hanya sering saja kulalui. sebuah bank di jalan Diponegoro Surabaya. beberapa kali melewatinya aku memang sering mengehela nafas berat, remah-remah kenangan di sana begitu berdebu memenuhi hatiku. dalam keadaan baik-baik saja, mungkin aku akan dengan mudahnya mengabaikan desak sesak kenangannya, tapi kali ini aku sedang rapuh-rapuhnya dan  sangat terluka, karenanya aku cukup saja diam dan membiarkan perlahan-lahan mataku membasah karena perih harus mengingat rasanya kehilanganmu. rasanya mengusahakan sebuah kesia-siaan. rasanya menyerah oleh hatimu yang sama sekali tak pernah menginginkanku.

ah, aku lupa tepatnya tanggal dan bulan apa waktu itu. yang akan selalu kuingat adalah ucapanmu yang membesarkan hatiku.

aku sudah mengenakan jilbab saat aku mengantarmu menghadiri sebuah janji sesi test penerimaan kerja di bank itu. aku mengenakan pakaian merah, kamu rapi dengan setelan jas dan kemeja cerah. iya, secerah hatiku saat menemanimu. 

menenangkanmu adalah pelajaran baru yang harus aku kuasai saat itu, dan entah berhasil atau tidak terhadapmu, yang pasti aku sungguh-sungguh sudah mempelajari dan mengaplikasikannya padamu. menenangkanmu di saat panik menyergap, detik-detik sebelum menjalani test penerimaan pekerjaan memang selalu mampu membuat jantung siapapun berdebar dengan lebih cepat, begitupun denganmu. 

bank itu sudah menjadi tempat ke sekian yang kita datangi, yang kamu datangi untuk menghadiri sesi seleksi penerimaan kerja. hari itu setelah satu sesi ujian, kamu memiliki sedikit waktu untuk istirahat dan kita menghabiskannya untuk makan di sebauh warung soto di pinggiran jalan Ciliwung. kita duduk berhadapan, ada seorang anak kecil laki-laki berusia kurang lebih 3 tahun sedang duduk di sebelahmu, dan (mungkin) ibunya duduk tapat di samping sang anak. seperti biasa, setelah menghabiskan makanan, kita akan berbincang sejenak, dengan pembahasan yang tak jauh-jauh dari perbankan atau  tentang rencana-rencanamu ke depan. dan tiap perbincanganpun aku selalu merasa kamu adalah lelaki yang sangat cerdas, sangat menarik. 

lalu dengan tiba-tiba kamu mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. akupun dengan spontan menegurmu dengan bisikan "hsst ada anak kecil" sembari tersenyum, iya semacam peringatan agar kamu bertoleransi dengan seorang anak yang tak seharusnya menghirup asap rokok. "oh sorry, ok" jawabmu singkat lalu dengan sangat cepat kamupun mematikan rokok yang sudah terselip di jarimu itu. ah begitu kalau tak salah kejadiannya. iya begitu, Sayang. setelah kenyang dan waktu untuk test berikutnya sudah dekat, kamu mengajakku kembali menuju bank itu. sesampainya di halaman bank, kamu sempat menyampaikan sesuatu padaku.


"hm, thanks ya tadi."

"apanya?"

"saya suka caramu mengingatkan saya untuk tidak merokok karena ada anak kecil."

"ya bukannya emang itu cara yang standar ya?"

"no no, itu cara paling sopan yang pernah saya tahu."

"hhmm"


aku tersanjung, Sayang. dan akupun makin menggilaimu. 

lalu selanjutnya adalah ceritamu tentang si dia yang selalu menegurmu dengan kasar, jauh dari sopan. karenanya kamu memuji caraku. pujian yang hingga kini kuingat dan akhirnya menghancurkanku. karena sekarang aku tak lagi menemui sosok lembutmu yang dulu. kini, kamu begitu berbeda di terakhir kita bertemu tanggal 28 Agustus lalu, aku kehilanganmu jauh sebelum kehilangan ragamu, karena itulah perkataan-perkataan indahmu kini akan kusimpan rapat-rapat dan izinkan aku berharap agar Tuhan mengembalikanmu pada sosok yang seindah dulu. iya, keindahan yang seimbang, keindahan luar dan dalam.




dari aku yang merindukanmu,



NM.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana