Setiap dua bulan sekali, Jarot akan pulang ke Semarang untuk
menengok kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia dan hidup dengan sederhana.
Bukan karena kedua orangtuanya tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli ini
dan itu serta bergaya hidup mewah, namun lebih ke tradisi keluarga dan gaya hidup
yang selama ini sudah terlanjur mendarah daging di setiap generasi, bahwa
sebanyak apa uang dan materi yang dimiliki, hidup akan begini saja, karena
akhirat adalah kunci segalanya.
Jarot biasanya diantar oleh sopirnya, namun entah karena
apa, kali ini ia memilih untuk pulang ke Semarang naik kereta api dari
Surabaya. Ruli, sekretaris Jarot di kantor memilihkan kereta api Bangunkarta,
kereta api kelas eksekutif yang kenyamanannya nampak sempurna untuk Jarot yang selama
perjalanan membutuhkan istirahat cukup.
Jarot sudah masuk ke gerbong 3 dan duduk di nomor tempat
duduk 3B, ia menyukai kursi yang dekat dengan lorong dan dekat dengan pintu
namun tidak nomor 1 karena kadang masih terlalu bau toilet gerbong dan terlalu
berisik oleh pintu yang berulang kali dibuka tutup oleh penumpang lain.
Jarot hampir tertidur ketika sebuah suara sangat
mengganggunya, membuatnya terkejut setengah mati dan kembali ke posisi duduk
tegak sembari menoleh ke arah datangnya suara. Suara yang sangat lembut namun
berisikan kalimat yang bagi Jarot adalah siraman air panas bagi egonya.
“apa?”
Jarot bertanya dan berharap perempuan asing yang duduk di
sebelahnya ini bersedia mengulang ucapannya barusan.
“aku yakin kamu dengar ucapanku tadi, karena itu kamu kaget dan terbangun.”
Jarot melotot pada perempuan asing itu, kemudian membenarkan
posisi duduknya lagi, mencoba tidak peduli dan menganggap perempuan sebelahnya
itu gila.
“bagaimana bisa kamu membiarkan tangan kanan kokohmu itu
dicium oleh para mahasiswa-mahasiswimu yang sholeh dan sholehah setelah tiap malamnya
baru saja kamu gunakan untuk bermasturbasi hebat?”
Brengsek, bagaimana bisa perempuan ini tahu bahwa selain bekerja sebagai pengusaha properti yang sangat sukses, Jarot juga bekerja sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi islam di Surabaya dan karenanya tiap usai kuliah, para anak didiknya akan berebut mencium tangannya sebagai wujud bakti pada dosen atau orang yang jauh lebih tua. Terlebih menjengkelkan, bagaimana bisa perempuan ini tahu kegiatan pribadi yang ia lakukan? kegiatan yang hanya diketahui olehnya sebagai pelaku, Tuhan Yang Maha Tahu, dan para malaikat.
“mbak, salah orang? Kayaknya kok saya ngga pernah kenal ya sama mbak.”
“aku ngga perlu kenalan dulu sama kamu untuk tahu luar dan
dalammu.”
Jarot memanas, hatinya panas terbakar, matanya terbuka lebar
tak kalah terbakarnya disebabkan oleh amarah pada perempuan asing yang lancang
dan tidak punya sopan santun ini.
“saya ngga ngerti maksud mbak.”
“mas kan kaya raya, bisnisnya juga bagus dan lancar banget
rejekinya. Kenapa masih kerja sampingan jadi dosen sih?”
Baiklah, perempuan ini sudah kelewatan. Kelewatan lancang,
dan tak sopan. Jarot
tidak bisa terima begitu saja, namun ia juga tetap belum menemukan reaksi yang
tepat untuk setiap kalimat yang keluar dari mulut perempuan berbisa ini.
Jarot menarik nafas, menghela nafas, berulang kali hingga
dirasa cukup.
“apa mau mbak? Ini memang kursi mba?”
“oh ngga, kursiku di 5C, kemudian aku lihat di antara
sekian banyak penumpang, hanya tangan kananmu yang menyita perhatianku.”
Apa lagi ini? Batin Jarot kesal.
“bapak yang duduk di kursi 2A itu, beliau adalah kuli
bangunan, istrinya baru saja meninggal sebulan lalu akibat penyakit kronis dan kini ia sedang dalam
perjalanan menuju Semarang untuk menghadiri wisuda anak gadis satu-satunya yang
ia punya, anak gadis yang penurut, santun, dan manis sekali. Tidak terlalu
menarik. Sepasang lelaki dan perempuan di 8A dan 8B, mereka sedang bersiap
meminjam selimut dan berencana melakukan wisata sex di balik selimut. Jangan tanya
apa kegiatannya, aku yakin kamu tahu perkiraannya. Sepasang bapak dan ibu yang
duduk di bangku 7C dan 7D, mereka terlihat bahagia dan sangat tenang. Menurutmu
mereka dalam perjalanan untuk urusan apa?”
Jarot berdiri, melihat ke bangku nomor 7 dan melihat
sepasang suami istri berusia 60an, keduanya menatap jendela, terlihat secerca
senyum di wajah mereka.
“mereka sedang dalam perjalanan ke Semarang untuk menengok anak dan cucu mereka mungkin.”
“tidak. Mereka adalah sepasang selingkuhan yang baru saja
reuni dan memutuskan untuk meninggalkan keluarganya masing-masing dan memulai
hidup baru di kota baru. Mereka berasal dari Mataram.”
“wah.”
Jarot terkejut tapi mencoba tidak mengeluarkan ekspresi yang
berlebihan.
“aku bisa saja membaca semua penumpang, tapi aku pasti
kelelahan.”
“saya juga butuh tidur dan mba boleh kok kalau mau balik ke tempat duduk mba.”
“mas kenapa suka sekali masturbasi? Kenapa ngga menikah aja?
Perempuan berkualitas di sekitar mas kan banyak.”
“mba sadar kan ya kalau pembicaraan mba ini sudah sangat
kelewatan batas, mengganggu, dan tidak sopan?”
Perempuan itu hanya tersenyum.
“mas, di antara semua orang di kereta ini, saya bisa baca
keseluruhan kisah mereka, seluruhnya. Kecuali satu.”
“saya? kan tadi mba bisa tahu tuh”
“oh berarti mas mengakui ya, kalau tangan kanan mas selain untuk dicium oleh
anak didik, mas pakai juga malamnya untuk memuaskan diri sendiri?”
“anggaplah iya. Jadi siapa yang ngga bisa mba baca?”
Tanpa sadar, Jarot mulai penasaran dan meladeni alur
perbincangan dengan perempuan asing ini.
“mas.”
“duh ribet banget sih mba. Tadi kan itu udah bisa baca,
sekarang bilang ngga bisa baca saya.”
“aku bisa lihat semuanya, kecuali tangan kiri mas.”
“maksudnya?”
“aku bisa lihat semua kegiatan yang seluruh tubuh mas lakukan, pekerjaan dan
segalanya, kecuali apa yang tangan kiri mas lakukan. Tangan kiri mas seperti
terbungkus sesuatu dan membuatnya tak terlihat di indera keenamku.”
“mungkin karena yang saya lakukan dengan tangan kiri
hanyalah BAB, jadi ga kelihatan.”
Jarot tertawa.
“dulu almarhum kakekku pernah bilang kalau garwoku (sigaraning nyowo atau belahan jiwa)
adalah lelaki yang pertemuan pertama denganku terjadi di dalam benda bergerak. Kakekku
adalah orang yang menurunkan kelebihan indera keenam ini padaku, turun temurun.
Kakekku tak bisa membaca tangan kananku, apapun yang kulakukan dengan tangan
kanan, kakekku ga bisa lihat. Kakek juga memberitahu bahwa jodohku kelak adalah
lelaki yang tangan kirinya tak bisa aku baca.”
Jarot tertawa lebih keras.
“sebentar sebentar. Mba kalau ngarang suka kelewatan ya.”
Jarot lanjut tertawa.
Perempuan asing ini hanya terdiam, kembali ke tempat
duduknya, dan tetap diam hingga mereka tiba di Stasiun Semarang Tawang. Ketika
Jarot turun dari kereta, dan menuju area parkir stasiun untuk mencari sepupu yang
selalu menjemputnya, Jarot memutar kepala ke sekeliling stasiun, berharap
menemukan perempuan asing yang sepertinya sudah ia sakiti hatinya. Jarot merasa
luar biasa bersalah. Entah kenapa ia yang biasanya cuek dan masa bodo dengan
perasaan perempuan yang selama ini dikencaninya kini jadi sangat sensitif dan
merasa jahat sekali.
Tidak pernah sekalipun ia merasa tenang ketika di kereta.
Kini kereta api manapun yang ia tumpangi akan menghadirkan luka dan penyesalan
yang tak pernah bisa Jarot sembuhkan. Perempuan asing yang aneh dan misterius
itu sudah membius hati Jarot bahkan untuk alasan yang tak bisa benar-benar
Jarot uraikan. Setiap kali ia melihat perempuan bermata sayu dan berambut
pendek, Jarot akan berdebar hebat, berharap perempuan asing itu yang ia lihat.
Hal itu terus terjadi dan tak tahu hingga kapan akan berakhir.
***
3 tahun kemudian
Jarot sedang dalam perjalanan kembali ke Surabaya dari
Semarang menjenguk orangtua, ketika ia bangkit dan ingin ke toilet, ia hampir
bertubrukan dengan seorang perempuan. Jarot kaget, ia tak bisa mengendalikan
jantungnya yang berdebar terlalu kencang. Perempaun ini adalah perempuan asing
yang dulu.
“permisi.”
Di belakangnya ada seorang gadis kecil berusia kurang lebih
dua tahun yang perempuan ini gandeng.
“oh iya.”
Jarot memiringkan tubuhnya dan mempersilahkan perempuan dan
gadis kecil tadi melewatinya.
“maaf mba.”
“iya.”
Perempuan ini menolehkan badannya
“kita pernah bertemu sebelumnya, saya Jarot.”
“saya Romania.”
“mba duduk di mana?”
“gerbong 4, 3A dan
3B.”
Jarot tahu perempuan ini pasti duduk di kursi 3B.
“mba di 3B?”
“iya. Laila di 3A.”
“ini, anak mba?”
Romania hanya mengangguk, tersenyum dan meninggalkan Jarot
di posisinya.
Dengan linglung Jarot kembali ke kursinya seusai di toilet,
memikirkan ia hendak apa terhadap Romania. Apakah ia sudah menikah? Mana suaminya?
Atau suaminya kerja di Surabaya jadi kini ia sedang berkunjung menemui
suaminya? Atau Romania kini sudah menjanda?
Jarot bangkit menuju kursi Romania dan sesampainya di sana,
ia disambut oleh senyuman. Ada yang beda dengan perempuan ini, dulu ia sangat
muram dan kelam. Kini ia terlihat sangat tenang dan menyejukkan.
Jarot tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang tiga tahun ini
sudah ia nantikan, kesempatan untuk berjumpa dengan perempuan asing kala itu,
ia langsung menanyakan pertanyaan intinya. Sembari berjongkok di lorong dan menghadap ke kursi
Romania.
“Romania, kalau dia anakmu, ayahnya di mana?”
“surga, Jarot.”
“Jadi kamu?”
“iya, saya sendiri sekarang.”
“Romania, sejak pertemuan pertama kita beberapa tahun lalu, tidak pernah satu
malam pun saya lewati tanpa memimpikanmu, saya mengharapkan kita bertemu lagi.
Sekarang, izinkan saya untuk memulai lagi semuanya, izinkan saya untuk
mengenalmu dengan baik, izinkan saya untuk mengenal anakmu, izinkan saya
untuk......”
“Iya, Jarot. Saya izinkan kamu untuk melakukan kebaikan
apapun terhadapku, terhadap kita.”
Hati Jarot berbunga-bunga, sangat bahagia.
Hati Romania berbunga-bunga, sangat bahagia.
Detik berikutnya kereta api yang mereka tumpangi kecelakaan,
menabrak truk yang melewati lintasan kereta dengan dugaan sopir truk yang
mengantuk dan kehilangan kendali.
***
Sudah 6 hari berjalan, berita dari surat kabar lokal dan
nasional mengabarkan hal yang sama.
“hingga kini, 3 penumpang kereta api maut masih dalam
pencarian.”
***
#NulisKamisan #S4 #S04E04
sumber foto
***
Tahun berganti dan berita masih saja sama, tidak pernah ditemukan mayat atas nama Jarot Susilo, Romania Putri, dan Laila Mahardika Putri.
#NulisKamisan #S4 #S04E04
sumber foto
***
Tahun berganti dan berita masih saja sama, tidak pernah ditemukan mayat atas nama Jarot Susilo, Romania Putri, dan Laila Mahardika Putri.
Jadi dia udah tau ya kalau kereta itu bakalan tabrakan atau dia menghilang?? :((
BalasHapushuahahauaaa endingnya saya pasrahkan sepenuhnya ke pembaca :))
Hapusmasuk koran nasional gak nih? 🤔
BalasHapussebentar pak, saya tanya asisten saya dulu ya agar dipastikan jawabannya.
Hapushatur nuhun..