28 April 2020

Hutang Penjelasan


https://www.google.com/search?q=paris+night+gif&tbm=isch&ved=2ahUKEwiO6dbgvYrpAhUEBisKHQ7mBhkQ2-cCegQIABAA&oq=paris+night+gif&gs_lcp=CgNpbWcQAzIGCAAQHhATOgQIABBDOgYIABAHEB46CAgAEAgQBxAeOggIABAHEB4QE1DEzwRY6OEEYOvlBGgAcAB4AIABSogBmAOSAQE2mAEAoAEBqgELZ3dzLXdpei1pbWc&sclient=img&ei=tcunXs66DISMrAGOzJvIAQ&bih=579&biw=1252&client=firefox-b-d&safe=strict#imgrc=znSXIt7J4XFn7M&imgdii=YyFHcCJi0KfXlM


"Eh nama kamu emang beneran gitu ya?"
"Nama panggilan aja itu."
"Oh. kirain beneran gitu."
"Nope. Kamu nyapa cuma mau nanya namaku?"
"Hehehee ngga sih. Pengen kenalan juga."
"Kan kita udah kenal."
"Ya lebih jauh kenalnya."

Berikutnya kami lumayan sering saling sapa dan bertukar cerita ini dan itu. Kami terbiasa saling mengisi waktu. Sering kali perbedaan waktu menjadi PR tersendiri bagi kami. Dia tinggal di Paris untuk menyelesaikan studinya. Saya di Bandung waktu itu. Kami hanya bertukar kabar dan bertatap muka melalui media daring. Rindu tanpa bisa memeluk pada akhirnya menjadi sarapan kami setiap pagi. 

"Babe, dengerin lagu ini deh."
"Apaan?"
Gustin mengirimkan sebuah tautan dan mengarah ke lagu Gugun Blues Shelter - Give Your Love. 
"Bagus lagunya, aku suka musiknya."
"Seru ya?"
"Iya."
"Jadi kamu mau ngga?"
"Mau apa?"
"Itu, give your love to me."
"Kan udah. Masa ngga berasa sampe sana?"
"Hehehe memastikan aja."
"Dih."
"Anw, dua bulan lagi aku pulang ke Indonesia. Kita ketemu ya! ntar kamu ke Jakarta."

Kami membicarakan teknis pertemuan kami dua bulan lagi.
Tidak sabar rasanya.
Saya dipenuhi bahagia.
Terlalu bahagia.

---

Kinar, sahabat saya masuk ke kamar tanpa mengetuk seperti biasa.

"Kamu baik-baik aja?"
"Ngga. hehehee."
"Dia masih belum ada kabar?"
Saya menggeleng pasrah.

3 hari lalu seharusnya saya dan Gustin bertemu, tapi sudah sebulan ini ia menghilang tanpa kabar. Sama sekali tidak ada jejaknya. Akun Facebook dan Twitternya juga senyap tak ada kabar dan postingan sama sekali. 

Saya khawatir tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Pada akhirnya hanya doa yang terkirim untuknya.
Ia baik-baik saja dan pasti baik-baik saja.

---

1 tahun 4 bulan berlalu ketika dengan tiba-tiba akun Facebooknya memberikan kabar sebuah foto pernikahan. 

Gustin menikah.

Patah?
Jelas.

Beberapa bulan berikutnya saya habiskan dengan diam di kamar dan menikmati baik-baik perasaan hancur dan terpuruk. Bagaimana bisa ia setega itu. Tidak pernah sedetik saja ia menunjukkan bahwa ia adalah jenis lelaki brengsek yang akan melakukan hal semenyakitkan itu pada saya. 

---

18 September 2018

Panjang ceritanya, intinya kami terhubung lagi melalui media Whatsapp.

"Kamu jadi berangkat Jumat besok kan ke Norwaynya?"
"Ngga."
"Loh kenapa?"
"Ada urusan keluarga mendadak, aku harus batalkan perjalananku ke sana."
"Aku udah arrange semuanya loh supaya kita bisa bareng semingguan."
"Gustin, please."

Dia tahu saya lelah fisik dan mental. 
Dia tak mau memaksa lebih jauh dan merelakan rencana kami harus berakhir begitu saja. 
Nenek saya meninggal dunia. 
Semua rencana pribadi dan keluarga terpaksa harus batal. 

---

11 Januari 2020

Setelah perjalanan panjang kisah kita, akhirnya kami bertatap muka. 
Saya melihatnya berdiri dua meter di depan saya. 
Ia mengenakan pakaian yang saya minta.
Ia membawa serangkai bunga tanpa saya minta.

Kami menuju tempat yang kami sepakati.
Tempat sempurna untuk menghindari beberapa pasang mata.
Ruang rahasia untuk menikmati waktu berdua.

"Aku tuh ngerasa punya hutang penjelasan ke kamu."
"Kalau ngga mau kamu bayar juga akunya sudah ikhlas kok."
"Tapi aku mau jelasin, boleh?"
"Silakan."
"Asal kamu tahu, saat kamu ngerasa hancur, aku yakin aku ngga kepedean kalau kamu hancur waktu aku ngilang. Saat itu, aku jauh lebih hancur. Sehancur itu sampe aku malu untuk ngehubungi kamu, aku ngerasa ngga layak buat kamu, buat hubungan kita. Papa masuk bui, bisnis keluarga hancur, aku hampir ngga bisa makan di Paris waktu itu. Seminggu aku ngga tahu nasibku bakalan gimana. Mau bunuh diri aja rasanya waktu itu. Terus istriku dateng. Waktu itu dia masih temenku. Aku tahu dia suka aku sejak lama, tapi hatiku ke kamu. Well, saat itu dia yang terus ada buatku, di sampingku, dia yakinkan kalau semuanya bakal baik-baik aja. Dia yang selalu support aku, mentally, financially, physically, semuanya. Dan bahkan udah seabis-abisan itu, hatiku masih pengen kamu. Bukan dia. Tapi aku bukan manusia senggak tahu diri itu, akhirnya aku nadzar ke diri sendiri, kalau aku bisa lulus kuliah dari sini, bekerja, berpenghasilan, dan bertahan hidup di Paris, aku akan nikahin dia. Aku harus balas budi ke dia. So that's it."

Saya tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. 

"Jadi, menjalani hari-hari dengannya, bersamanya, bahkan dengan keberadaan anak di antara kami, semua itu tetap tidak bisa menghilangkan perasaanku ke kamu. Penyesalanku masih sangat dalam karena menghilang darimu waktu itu. Ngga pernah sehari pun aku lewati tanpa inget kamu, membayangkan bagaimana rasanya bertemu kamu, hidup bersama kamu, menjadikanmu istriku, ibu dari anak-anakku..."
"Gustin, udah."

Kami berpelukan. 
Lama sekali. 
Kami menangis.

Malam ini adalah malam pertama dan terakhir kami. 
Malam ini adalah halaman penutup kisah panjang kami. 

---



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana