26 Juni 2015

Sepertinya Ada yang Salah...



Surabaya, 08 Maret 2015.



“Nih, Frestea jasmine dingin, masih suka kan?”


Kiki memberikan sebotol minuman dingin padaku yang sedang duduk kegerahan sambil sesekali mengkipas-kipaskan kertas konsep foto prewedding kita. 


Yuhuuu.... KITA.


Yeeeiiy akhirnya ada juga kata KITA dalam kamus hubungan antara aku dan Kiki.


“Suka dong. Makasi, Sayaaaaang.” Jawabku manja, iya, disengaja manja demi menggoda Kiki yang sedari tadi mondar-mandir entah panik entah tegang entah kurang fitness. Entahlah.


“Mulai deh.”


“Loh, kan bentar lagi kita mau jadi suami istri, masa ga boleh latihan romantis. Hng hng?” godaku sambil nyengir dan menaik-naikkan sebelah alis.


“Kamu kok bisa sih santai gitu? Kayak ini nikah beneran aja.”


“Huahahahahaa Mas Kikiku sayaaang, yang bikin semua proses ini jadi aneh tuh ya karena sikap kamu yang terlalu tegang. Relax aja siiih, santai aja. Makin kamu terlihat kikuk, bisa makin curiga orang-orang. Yang ada ntar orang mikirnya kamu nikahin aku karena kupaksa. Iiihh males banget.”


“Ya emang kan.”


“Enak aja! Bukan aku paksa ya! Tapi kesepakatan berdua.”


Lalu Mas Toni dan Mbak Dina terlihat memanggil kami berdua agar memasuki set kedua untuk foto tema prewedding berikutnya.






***



Surabaya, 06 Februari 2015.



*menghela nafas*

*atur nafas*

*hembuskan*

*ulangi sampai 57 kali*


“Mas Kiki, ini mau sampai kapan aku duduk nungguin kamu kelar ngerokok sambil mikir? Kamu mikir gini aja kayak lagi mikirin politik Indonesia Uruguay.”


“Sebatang dulu ya. Please...”


“Dari 3 batang sebelumnya juga kamu bilangnya sebatang lagi. Dih!”


“Janji ini satu lagi.”


*lanjut relaksasi*


“Ok saya siap.” Ucap Kiki sambil duduk bersila di hadapanku yang sontak membuatku kaget ketika membuka mata seusai relaksasi sambil menunggunya memantapkan pikiran. 


Kita berdua sedang menyewa sebuah kamar hotel di Jalan Dr. Soetomo, lokasi paling strategis, setidaknya menurut pandangan (ngawur) kita. Atas alasan keamanan dan kerahasiaan apa yang akan kita bahas, diputuskanlah bahwa kamar hotel adalah tempat paling private dan tenang untuk membahas masalah ini. Masalah masa depan kita. Aku sudah hhmm kurang lebih 20 menit duduk bersila di kasur room 215 ini, setelah membersihkan kaki dan tangan setibaku di sini.


“Yep me too.” Jawabku


“Jadi menurut saya, kita sebaiknya membuat surat perjanjian pranikah.”


“Kok jadi kayak drama korea sih, pakai surat perjanjian pranikah segala.”


“Ok Niara, please serius.”


“Oh ok ok. Jadi, surat perjanjian pranikah, ya. Lalu apalagi?”


“Kamu, ada yang kamu inginkan selain sperma dari saya? Supaya bisa lebih rinci saya tuliskan di surat ini.”


“Baiklah. Dari aku pribadi, hhhmmm nggak ada, Mas. Aku cuma butuh sperma kamu supaya aku bisa hamil dan punya anak. Yeeeiiyy.” Jawabku sambil senyum bahagia dan mengangkat kedua tangan ke atas dan bertepuk tangan lirih. 


“Ok. Tidak ada tuntutan apapun?”


“Nope. Eh bentar, tuntutan apa nih misalnya?”


“Tuntutan keuangan? Tuntutan apapun itu yang berhubungan dengan relationship antara pria dan wanita?”


“Tuntutan keuangan jelas nggak. Aku sama sekali nggak minta Mas buat ngehidupin, karena aku yakin bisa menghidupi diriku sendiri dan anakku nanti. Untuk tuntutan ala hubungan asmara pria dan wanita, juga nggak ada. Kamu silahkan kencan atau meniduri perempuan lain setelah berhasil membuatku hamil tentunya, karena aku nggak mau kesehatan kelaminmu menjadi risiko bagi anak ‘kita’ atau anakku kelak. Ah itu perlu ditulis dalam surat perjanjian. Mas Kiki dilarang berhubungan badan dengan perempuan lain selama belum berhasil membuatku hamil. Setelahnya silahkan nikmati kebebasan gairahmu, Mas.”


“Ok. Tidak ada cemburu? Tidak ada batasan pergaulan? Tidak ada kewajiban saling menghubungi dalam kurun waktu berapa jam sekali? Tidak ada kewajiban nonton, makan malam dan perayaan malam-malam penting seperti malam pernikahan?”


“Tidak ada. Semua murni menjadi kebebasanmu, selama nggak ketahuan keluargaku atau keluargamu bahwa kita saling membebaskan satu sama lain.”


“Ok saya setuju.”


“Nah, sekarang dari Mas Kiki. Apa yang kamu butuhkan dariku sebagai imbalan?”


“Jadi istri saya dan Ibu untuk Juna, anak saya. Kamu tahu dengan sejelas-jelasnya bahwa setelah perceraian saya kemarin, saya masih sangat belum siap dengan hubungan penuh tuntutan, pernikahan. Pernikahan sungguhan. Tapi Ayah dan Ibu sudah mulai sepuh dan mulai memaksa saya agar segera menikah karena mengurus anak seorang diri dengan posisi sebagai Ayah dan sekaligus pencari nafkah bukanlah hal yang mudah, apalagi usia Juna sudah mulai memasuki usia membutuhkan bimbingan penuh dari orangtua, dan kasih sayang seorang Ibu. Jadi ya karena alasan itulah, saya harap kamu bersedia membantu saya untuk mengisi peran yang kosong tersebut.”


“Wow ok. Hhmmm bagaimana jika Juna tidak bisa menerima kehadiranku?”


“Percayalah, dia pasti menerimamu, seperti halnya saya begitu mengharapkan dirimu. Saya percaya kamu adalah sosok paling sempurna untuk mengisi peran itu, hanya saja, yaaa...”


“Hhssstt nggak usah dilanjutin, aku paham. Baiklah aku setuju. Selanjutnya, hhmm perjanjian yang kita buat ini, adakah satu atau lain hal yang mampu menggugurkan kita dari peran ini?”


“Menurut saya, bukan menggugurkan peran ya, tapi surat perjanjian ini HARUS ditinjau ulang ketika salah satu dari kita memutuskan untuk menjalani pernikahan sungguhan dengan orang lain yang diinginkan atau jika surat perjanjian ini sampai bocor ke pihak lain. Bagaimana?”


“Ok deal.” aku menjulurkan tangan kanan untuk bersalaman dengan Kiki sebagai tanda SAH-nya perjanjian konyol tapi solutif ini.


Aku sangat muak dengan hubungan pernikahan sungguhan. Aku muak jika harus berurusan dengan pria dan menjadi bergantung dengan pria, ah intinya segala tetek bengek tentang hubungan dengan pria, aku sangat muak. Tapi ya, aku tetap perempuan dan memiliki hasrat untuk mengandung dan melahirkan bayi, jadi barangkali memang ini solusi yang terbaik, aku mendapatkan pendonor sperma sekaligus bisa meminjam namanya untuk keperluan administrasi, seperti untuk akta lahir anakku dan dokumen lain sejenisnya TAPI tanpa perlu repot berurusan dengan hati dan rumitnya mencintai pria seperti lazimnya pasangan suami istri sungguhan. Yeiiiyyy.


Lalu Kiki, setelah perceraiannya yang sangat rumit dengan mantan istrinya, aku sangat paham tentang trauma dan keengganannya yang mirip denganku, enggan berurusan dengan romansa. Aku pada pria dan dia pada wanita. Ia mungkin enggan berurusan dengan cinta-cintaan dan tuntutan ini itu khas wanita, tapi tetap, ia memiliki tanggung jawab pada anaknya tercinta, Juna. Juna butuh sosok Ibu di sampingnya, dan begitupun keluarga besarnya yang barangkali sudah sangat mendambakan adanya perempuan pendamping bagi Kiki, jadi beginilah akhirnya kekonyolan antara aku dan Kiki dimulai.


Aku butuh spermanya, dia butuh aku sebagai pajangan hidupnya.


Dan selanjutnya kita menghabiskan waktu hingga pagi dan untung saja besok hari Sabtu jadi Kiki tak perlu bergegas ke kantor. Kami mendiskusikan berbagai hal, mulai dari hari pernikahan, alasan dan karangan cerita sedetail mungkin tentang kisah asmara kita agar meyakinkan kedua keluarga besar kita supaya segera menyetujui pernikahan ini, gedung mana yang akan digunakan, siapa saja tamu undangan, memperkenalkan anggota keluarga besar kita masing-masing dengan saling menggambarkan silsilah keluarga di atas kertas notes yang disediakan hotel dan berakhir dengan konsep prewedding apa yang akan kita pilih.




***



Sidoarjo, 04 Mei 2015.



“Assalamualaikum.”


“Waalaikumsalam.” Jawabku dari dapur ketika Kiki mengucapkan salam sepulang kerja.


“For you.” 


Kiki memberikan serangkai bunga mawar merah dengan 1 tangkai mawar putih di tengahnya. Rangkaian bunga yang begitu indah, dihias dengan pita dan kertas merah muda, warna kesukaanku. Aku menerimanya dengan pikiran yang mulai bercampur aduk. Dia memelukku dan mengecup keningku lembut lalu segera menuju kamar tidur. Aku masih berdiri di dapur, memandangi rangkaian mawar di genggamanku kemudian memandangi Kiki yang berlalu bahkan tanpa menjelaskan apapun tentang mawar ini. 


“Ini kotak apa, Niar?” Ia berdiri, bersandar di pintu kamar sambil menghadapku di dapur dan bertanya-tanya tentang sebuah kotak yang sengaja kuletakkan di atas tempat tidur kami, hadiah untuknya. 


“Bom. Ya hadiah lah. Udah dibungkus pita cantik gitu, dikasih nama juga For You, Mas Kiki. Masih aja nanya.”


“Kubuka ya?” ya inilah jenis pertanyaan yang tak perlu dijawab, karena Kiki bertanya sekaligus membuka kotak hadiah itu tanpa menunggu jawabanku. Ckckck


“Waaah couple pajamas.”


“Suka?”


“Suka. Makasi ya.”


“Sama-sama.”


“Hhmm, kapan Juna dianter ke sini sama Ayah? Masih lama nggak?”


“Oh ya lupa bilang, tadi sore Juna ketiduran, jadi kata Ayah biarin aja tidur di sana, paling besok siang baru dianter pulang ke sini.”


“Ok. Berarti nanti malem kita bisa ‘usaha’ lagi ya? Hehehe”


“Sambil nyobain pajamas baru ya?”


“Iya, eh tapi paling dipakenya 5 detik doang terus lanjutnya kan nggak pernah pakai apa-apa.”


“HEEHH!!! Udah sana buruan mandi, aku udah siapin makan malem nih.”


“Iya iya.”


Aku meletakkan rangkaian bunga di meja samping telfon rumah, lanjut menyiapkan makan malam untuk kita berdua dan duduk di kursi ruang makan menunggu Kiki.


Sepertinya ada yang salah...


Kalimat itulah yang seketika terbesit di otakku.


***


Di kamar tidur, Kiki masih duduk di pinggir tempat tidur dan memegang pajamas baru dari Niara.


Sepertinya ada yang salah...


Kalimat itulah yang seketikan terbesit di otak Kiki.




***



Sepertinya ada yang salah...

Sepertinya mereka berdua mulai saling mencintai...

Saling memberi hadiah kecil di satu bulan usia pernikahan mereka.









#NulisKamisan S3 #10
thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana