Surabaya, 08 Maret 2015.
“Nih, Frestea jasmine dingin,
masih suka kan?”
Kiki memberikan sebotol minuman
dingin padaku yang sedang duduk kegerahan sambil sesekali mengkipas-kipaskan
kertas konsep foto prewedding kita.
Yuhuuu.... KITA.
Yeeeiiy akhirnya ada juga kata
KITA dalam kamus hubungan antara aku dan Kiki.
“Suka dong. Makasi, Sayaaaaang.”
Jawabku manja, iya, disengaja manja demi menggoda Kiki yang sedari tadi
mondar-mandir entah panik entah tegang entah kurang fitness. Entahlah.
“Mulai deh.”
“Loh, kan bentar lagi kita mau
jadi suami istri, masa ga boleh latihan romantis. Hng hng?” godaku sambil
nyengir dan menaik-naikkan sebelah alis.
“Kamu kok bisa sih santai gitu? Kayak
ini nikah beneran aja.”
“Huahahahahaa Mas Kikiku
sayaaang, yang bikin semua proses ini jadi aneh tuh ya karena sikap kamu yang
terlalu tegang. Relax aja siiih, santai aja. Makin kamu terlihat kikuk, bisa
makin curiga orang-orang. Yang ada ntar orang mikirnya kamu nikahin aku karena
kupaksa. Iiihh males banget.”
“Ya emang kan.”
“Enak aja! Bukan aku paksa ya! Tapi
kesepakatan berdua.”
Lalu Mas Toni dan Mbak Dina terlihat
memanggil kami berdua agar memasuki set kedua
untuk foto tema prewedding berikutnya.
***
Surabaya, 06 Februari 2015.
*menghela nafas*
*atur nafas*
*hembuskan*
*ulangi sampai 57 kali*
“Mas Kiki, ini mau sampai kapan
aku duduk nungguin kamu kelar ngerokok sambil mikir? Kamu mikir gini aja kayak
lagi mikirin politik Indonesia Uruguay.”
“Sebatang dulu ya. Please...”
“Dari 3 batang sebelumnya juga
kamu bilangnya sebatang lagi. Dih!”
“Janji ini satu lagi.”
*lanjut relaksasi*
“Ok saya siap.” Ucap Kiki sambil
duduk bersila di hadapanku yang sontak membuatku kaget ketika membuka mata
seusai relaksasi sambil menunggunya memantapkan pikiran.
Kita berdua sedang menyewa sebuah kamar
hotel di Jalan Dr. Soetomo, lokasi paling strategis, setidaknya menurut
pandangan (ngawur) kita. Atas alasan keamanan dan kerahasiaan apa yang akan
kita bahas, diputuskanlah bahwa kamar hotel adalah tempat paling private dan tenang untuk membahas
masalah ini. Masalah masa depan kita. Aku sudah hhmm kurang lebih 20 menit
duduk bersila di kasur room 215 ini, setelah membersihkan kaki dan tangan setibaku
di sini.
“Yep me too.” Jawabku
“Jadi menurut saya, kita
sebaiknya membuat surat perjanjian pranikah.”
“Kok jadi kayak drama korea sih,
pakai surat perjanjian pranikah segala.”
“Ok Niara, please serius.”
“Oh ok ok. Jadi, surat perjanjian
pranikah, ya. Lalu apalagi?”
“Kamu, ada yang kamu inginkan
selain sperma dari saya? Supaya bisa lebih rinci saya tuliskan di surat ini.”
“Baiklah. Dari aku pribadi,
hhhmmm nggak ada, Mas. Aku cuma butuh sperma kamu supaya aku bisa hamil dan
punya anak. Yeeeiiyy.” Jawabku sambil senyum bahagia dan mengangkat kedua
tangan ke atas dan bertepuk tangan lirih.
“Ok. Tidak ada tuntutan apapun?”
“Nope. Eh bentar, tuntutan apa
nih misalnya?”
“Tuntutan keuangan? Tuntutan apapun
itu yang berhubungan dengan relationship antara
pria dan wanita?”
“Tuntutan keuangan jelas nggak. Aku
sama sekali nggak minta Mas buat ngehidupin, karena aku yakin bisa menghidupi
diriku sendiri dan anakku nanti. Untuk tuntutan ala hubungan asmara pria dan
wanita, juga nggak ada. Kamu silahkan kencan atau meniduri perempuan lain
setelah berhasil membuatku hamil tentunya, karena aku nggak mau kesehatan kelaminmu
menjadi risiko bagi anak ‘kita’ atau anakku kelak. Ah itu perlu ditulis dalam
surat perjanjian. Mas Kiki dilarang berhubungan badan dengan perempuan lain
selama belum berhasil membuatku hamil. Setelahnya silahkan nikmati kebebasan
gairahmu, Mas.”
“Ok. Tidak ada cemburu? Tidak ada
batasan pergaulan? Tidak ada kewajiban saling menghubungi dalam kurun waktu
berapa jam sekali? Tidak ada kewajiban nonton, makan malam dan perayaan
malam-malam penting seperti malam pernikahan?”
“Tidak ada. Semua murni menjadi
kebebasanmu, selama nggak ketahuan keluargaku atau keluargamu bahwa kita saling
membebaskan satu sama lain.”
“Ok saya setuju.”
“Nah, sekarang dari Mas Kiki. Apa
yang kamu butuhkan dariku sebagai imbalan?”
“Jadi istri saya dan Ibu untuk
Juna, anak saya. Kamu tahu dengan sejelas-jelasnya bahwa setelah perceraian
saya kemarin, saya masih sangat belum siap dengan hubungan penuh tuntutan,
pernikahan. Pernikahan sungguhan. Tapi Ayah dan Ibu sudah mulai sepuh dan mulai
memaksa saya agar segera menikah karena mengurus anak seorang diri dengan posisi
sebagai Ayah dan sekaligus pencari nafkah bukanlah hal yang mudah, apalagi usia
Juna sudah mulai memasuki usia membutuhkan bimbingan penuh dari orangtua, dan
kasih sayang seorang Ibu. Jadi ya karena alasan itulah, saya harap kamu
bersedia membantu saya untuk mengisi peran yang kosong tersebut.”
“Wow ok. Hhmmm bagaimana jika
Juna tidak bisa menerima kehadiranku?”
“Percayalah, dia pasti
menerimamu, seperti halnya saya begitu mengharapkan dirimu. Saya percaya kamu
adalah sosok paling sempurna untuk mengisi peran itu, hanya saja, yaaa...”
“Hhssstt nggak usah dilanjutin,
aku paham. Baiklah aku setuju. Selanjutnya, hhmm perjanjian yang kita buat ini,
adakah satu atau lain hal yang mampu menggugurkan kita dari peran ini?”
“Menurut saya, bukan menggugurkan
peran ya, tapi surat perjanjian ini HARUS ditinjau ulang ketika salah satu dari
kita memutuskan untuk menjalani pernikahan sungguhan dengan orang lain yang
diinginkan atau jika surat perjanjian ini sampai bocor ke pihak lain. Bagaimana?”
“Ok deal.” aku menjulurkan tangan
kanan untuk bersalaman dengan Kiki sebagai tanda SAH-nya perjanjian konyol tapi
solutif ini.
Aku sangat muak dengan hubungan
pernikahan sungguhan. Aku muak jika harus berurusan dengan pria dan menjadi
bergantung dengan pria, ah intinya segala tetek bengek tentang hubungan dengan
pria, aku sangat muak. Tapi ya, aku tetap perempuan dan memiliki hasrat untuk
mengandung dan melahirkan bayi, jadi barangkali memang ini solusi yang terbaik,
aku mendapatkan pendonor sperma sekaligus bisa meminjam namanya untuk keperluan
administrasi, seperti untuk akta lahir anakku dan dokumen lain sejenisnya TAPI
tanpa perlu repot berurusan dengan hati dan rumitnya mencintai pria seperti
lazimnya pasangan suami istri sungguhan. Yeiiiyyy.
Lalu Kiki, setelah perceraiannya
yang sangat rumit dengan mantan istrinya, aku sangat paham tentang trauma dan
keengganannya yang mirip denganku, enggan berurusan dengan romansa. Aku pada
pria dan dia pada wanita. Ia mungkin enggan berurusan dengan cinta-cintaan dan
tuntutan ini itu khas wanita, tapi tetap, ia memiliki tanggung jawab pada
anaknya tercinta, Juna. Juna butuh sosok Ibu di sampingnya, dan begitupun
keluarga besarnya yang barangkali sudah sangat mendambakan adanya perempuan
pendamping bagi Kiki, jadi beginilah akhirnya kekonyolan antara aku dan Kiki
dimulai.
Aku butuh spermanya, dia butuh
aku sebagai pajangan hidupnya.
Dan selanjutnya kita menghabiskan
waktu hingga pagi dan untung saja besok hari Sabtu jadi Kiki tak perlu bergegas
ke kantor. Kami mendiskusikan berbagai hal, mulai dari hari pernikahan, alasan
dan karangan cerita sedetail mungkin tentang kisah asmara kita agar meyakinkan
kedua keluarga besar kita supaya segera menyetujui pernikahan ini, gedung mana yang
akan digunakan, siapa saja tamu undangan, memperkenalkan anggota keluarga besar
kita masing-masing dengan saling menggambarkan silsilah keluarga di atas kertas
notes yang disediakan hotel dan berakhir dengan konsep prewedding apa yang akan
kita pilih.
***
Sidoarjo, 04 Mei 2015.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Jawabku dari
dapur ketika Kiki mengucapkan salam sepulang kerja.
“For you.”
Kiki memberikan serangkai bunga
mawar merah dengan 1 tangkai mawar putih di tengahnya. Rangkaian bunga yang begitu indah, dihias dengan pita dan kertas merah muda, warna kesukaanku. Aku menerimanya dengan
pikiran yang mulai bercampur aduk. Dia memelukku dan mengecup keningku lembut
lalu segera menuju kamar tidur. Aku masih berdiri di dapur, memandangi rangkaian
mawar di genggamanku kemudian memandangi Kiki yang berlalu bahkan tanpa
menjelaskan apapun tentang mawar ini.
“Ini kotak apa, Niar?” Ia berdiri, bersandar di pintu kamar sambil menghadapku di dapur dan bertanya-tanya tentang
sebuah kotak yang sengaja kuletakkan di atas tempat tidur kami, hadiah
untuknya.
“Bom. Ya hadiah lah. Udah dibungkus
pita cantik gitu, dikasih nama juga For You, Mas Kiki. Masih aja nanya.”
“Kubuka ya?” ya inilah jenis pertanyaan
yang tak perlu dijawab, karena Kiki bertanya sekaligus membuka kotak hadiah itu
tanpa menunggu jawabanku. Ckckck
“Waaah couple pajamas.”
“Suka?”
“Suka. Makasi ya.”
“Sama-sama.”
“Hhmm, kapan Juna dianter ke sini
sama Ayah? Masih lama nggak?”
“Oh ya lupa bilang, tadi sore
Juna ketiduran, jadi kata Ayah biarin aja tidur di sana, paling besok siang
baru dianter pulang ke sini.”
“Ok. Berarti nanti malem kita
bisa ‘usaha’ lagi ya? Hehehe”
“Sambil nyobain pajamas baru ya?”
“Iya, eh tapi paling dipakenya 5 detik doang
terus lanjutnya kan nggak pernah pakai apa-apa.”
“HEEHH!!! Udah sana buruan mandi, aku
udah siapin makan malem nih.”
“Iya iya.”
Aku meletakkan rangkaian bunga di
meja samping telfon rumah, lanjut menyiapkan makan malam untuk kita berdua dan
duduk di kursi ruang makan menunggu Kiki.
Sepertinya ada yang salah...
Kalimat itulah yang seketika
terbesit di otakku.
***
Di kamar tidur, Kiki masih duduk
di pinggir tempat tidur dan memegang pajamas baru dari Niara.
Sepertinya ada yang salah...
Kalimat itulah yang seketikan
terbesit di otak Kiki.
***
Sepertinya ada yang salah...
Sepertinya mereka berdua mulai
saling mencintai...
Saling memberi hadiah kecil di satu bulan usia pernikahan mereka.
#NulisKamisan
S3 #10