Ini adalah hari
terakhir aku bisa menghabiskan waktu di kota ini, kota sejuta taman, Surabaya.
Besok pagi-pagi sekali aku sudah harus duduk menunggu dalam bosan di ruang
tunggu bandara Juanda, sekali lagi berpindah tempat. Dan kuniatkan dalam hati,
hari ini harus menjadi hari yang akan kuingat selamanya di kota ini, entah
apapun alasannya. Jurnal hari ini tak
boleh menjadi tulisan sia-sia yang akan kutumpuk dengan lembaran cerita
lainnya dari hari-hari sebelumnya.
Aku mencintai
Surabaya, pada sengat panas dan riuh lantang para penghuni kota. Aku mencintai
sudut per sudut kota metropolitan yang satu ini. Kota tempat ibuku dilahirkan,
ya paling tidak begitulah yang kudengar terakhir kali dari mulut ayahku. Aku mencintai
semua taman di kota ini, seperti taman yang sedang kusinggahi
untuk kujadikan inspirasi menulis sekarang.
Beberapa pasang
mata menatapku penuh tanya atau barangkali curiga. Mungkin di kepala meraka
menerka-nerka apa yang sekiranya sedang lelaki usia 30 tahunan sepertiku ini kerjakan
dengan duduk sendiri, laptop di pangkuan sambil sesekali memendarkan
penglihatan ke sekitar taman. Aku pun balik mengamati mereka satu persatu, apa
kira-kira isi kepala mereka selain menerka diriku? aku terus bertanya-tanya
dalam kekosongan sampai sebuah punggung mungil memerangkap imajinasi dan
mataku.
Punggung itu
adalah punggung terbaik yang pernah kulihat. Punggung dengan rambut lebat dan
panjang tergerai, berwarna hitam kelam, sangat indah. Aku berpindah, mendekati
sang pemililk sambut tersebut, supaya lebih jelas aku menikmati pemandangan
itu. Agar lebih detail aku menggoreskan pensilku di atas kertas untuk mencipta
sketsa tentang Si Mungil sang pemilik punggung indah itu. Aku akan menyebutnya Si Mungil, ya begitu saja.
Si Mungil
membawa sebuah boneka beruang, boneka yang sesekali diajaknya berbicara. Aahhh akhirnya Si Mungil menoleh, mengedarkan pandang pada apapun yang ada di belakangnya,
hanya menyelidik sekilas.
Aku jatuh cinta
pada Si Mungil.
Pada mata bulat berkelopak menawan. Kubayangkan, pasti kulit kelopak matanya sangat lembut dan halus,
sangat indah ketika Si Mungil sedang memejam, membuatku ingin mendaratkan bibirku di sana. Di kelopak mata lugu itu.
Pada alis hitam
lebat yang sesuai dengan rambutnya, alis yang hampir menyatu namun tetap nampak elok. Alis yang membuat darah
di tubuhku seolah berhenti mengalir. Alis eksostis itu.
Pada bulu mata
lebat dan terlalu mengagumkan, menjadi menyemarak kelopak matanya yang sudah tercipta
begitu memikat.
Pada pipi bulat
kemerahan yang sangat menggemaskan, aku sangat tergiur dengan pipi Si Mungil,
membuatku seolah lupa sedang berpijak di mana sekarang, pipi yang kubayangkan
suatu saat nanti pasti akan menjadi lahan terfavorit bagiku untuk mendaratkan
kecupan yang lain. Kecupan yang tak kunjung terhenti, lagi dan lagi.
Pada hidung dan
bibir mungilnya, sungguh jika aku memiliki Tuhan, aku pasti memilih tersungkur
di hadapan Tuhan dan memohon agar Si Mungil ini menjadi milikku selamanya. Supaya puas aku menikmati bibir Si Mungil.
Bibir Si Mungil
adalah bibir terseksi yang pernah kupandang, bibir yang harus bisa kumiliki
selama-lamanya.
Aku akan menanti
SI MUNGIL tumbuh sedikit lebih matang.
Di usia yang kurang lebih 4 atau 5 tahun sekarang, kubayangkan
ketika Si Mungil akhirnya berusia 10 tahun lebih dewasa, ia akan menjadi gadis mungil
paling menggairahkan bagiku.
Setiap detail dan lekuk tubuhnya pasti mampu
membawaku ke nirwana.
Setiap harum dan wewangian yang menguar dari Si Mungil,
pasti akan menjadi satu-satunya bau yang dipuja oleh indra penciumanku.
Payudaranya
yang ranum pasti mampu membangkitkan nafsu terbinal di dalam diriku.
Pada kewanitaannya yang kelak menjadi matang dan menggoda, Si Mungil pasti akan menjadi satu-satunya gadis yang memuaskan laparnya kejantananku.
Baiklah.
Di manapun aku
pergi, ke manapun aku akan berpindah-pindah kelak, 10 tahun lagi, aku harus
kembali untuk mengambil Si Mungil agar ia menjadi bidadari di hidupku untuk
selama-lamanya.
10 tahun lagi
aku harus menginjakan kaki di Surabaya dan menemui Si Mungilku.
***
#NulisKamisan
S3 #9