Senin, 3 September 2018
Setelah satu setengah jam, saling bertukar tatapan
mata, di akhir jam tutup café, kami akhirnya saling melempar senyum. Masih
belum ada sapaan.
Sesampainya di rumah, secekatan mungkin saya mencari
tahu tentang lelaki tadi. Saya mencari tahu melalui akun media sosial manapun
yang biasa saya gunakan, bahkan ke Linked In, hasilnya? DENG DONG!!
Kalau sudah penasaran begini, seringnya sampai
beberapa hari ke depan, fokus saya agak terganggu. Bahkan tidur juga rasanya
ada yang tak nyaman. Saya paling tidak bisa menahan kegelisahan atas perkara
cemeh macam begini tanpa menyuarakannya pada sahabat saya.
“Apanya sih yang bikin penasaran? Sampe susah tidur
segala.”
“Ya ngga tahu, Lin. Begini aja gitu.”
“Dia ganteng? Pinter?”
“Hhhmm ganteng, ngga juga. Tapi aku suka liat
wajahnya. Pinter ya gimana bisa ketahuan kan belum ngobrol ama dia.”
“Kelihatan kayak bad
boy ya?”
“Iya. Kok tahu?”
“Dih, udah sahabatan puluhan tahun, yakali aku ngga
tahu seleramu. Kamu kan demennya yang blangsak gitu emang, tapi begitu
diseriusin mumet maunya yang kebapakan."
Kemudian Lina tertawa keras, penuh ejekan, dan tetap
menyebalkan. Untung aku sudah terlanjur sayang padanya, kalau tidak, waaah
udahlah udah.
“Monyet. Emang gitu ya?"
“Ya iyalah, coba kamu inget baik-baik deretan lelaki
di hidupmu, banyakan good atau bad boy? Atau mau aku bantu nyebutin?”
“GAK USAH!”
“Eh bentar deh Ra, dua hari lalu kan kamu curhat tuh
kalau kamunya lagi merasa ngga nyaman dengan kepercaya dirianmu, nah coba deh
jadikan masnya sarana untuk ngebantu kamu ngetes. Kamu masih punya cukup rasa
percaya diri atau ngga?”
“Maksudnya?”
“Ajakin dia kenalan, minta nomor HPnya, sampe ngobrol
seru sama dia. Kalau kamu bisa, yakin deh sebenernya kepercaya dirianmu tuh ga
kenapa-napa.”
Setelah beberapa obrolan dengan tema lain, akhirnya
saya menyudahi perbincangan saya dengan Lina melalui telepon. Kalau sudah
begini, sebal rasanya punya sahabat terbaik yang tinggalnya di beda kota. Pengennya
supaya kami bisa tinggal di kota yang sama aja. Huh.
***
Senin, 10 September 2018
Di café yang
sama, dia duduk di meja yang sama dan tetap tanpa teman. Saya jadi berpikir,
dia ini sebenarnya memang seorang penyendiri atau jangan-jangan memang yang
punya café. Di mejanya ada satu, dua, tiga, empat, lima, lah buseett 6 botol bir
dingin. Rasa-rasanya minggu lalu juga sama, ada beberapa botol minuman itu di
mejanya. Dianya memang gemar beli sebanyak itu atau emang owner café karenanya dia bebas ambil minum sebanyak apapun.
Mata kami bertemu
lagi, kali ini saya senyum, lebih lebar. Dia membalas senyuman, lebih lebar
juga, dan terlihat barisan gigi rapinya. Sial, dia lucu. Kan sisi saya yang
gampangan jatuh cinta ini jadi terancam kalau begini.
Satu jam, dua
jam, tiga jam berlalu. Bir dingin di mejanya semakin bertambah, puntung rokok
dalam asbak di mejanya juga makin menggunung. Dan dia masih saja sendiri, tidak ada teman yang kemudian menghampiri. Saya? Oh saya tentu saja datang dengan seorang
teman. Ketika teman saya memesan minuman tambahan ke kasir, saya kemudian
memberanikan diri menyapa lelaki ini.
“Sendirian aja
mas?”
Pertanyaan saya ajukan
ketika ia tepat mendongak dan menatap mata saya.
“Eh, saya?”
“Iya, masnya. Sendirian
aja?”
“Oh iya.”
Masnya tersenyum.
Saya mengumpat dalam hati. Kok bisa ada mas yang lucu begini tapi tingkatan
lucunya pas, ngga terlalu lucu, ngga aneh juga. Saya gemas.
“Mas yang punya café
ini?”
“Hah? Saya? Nggak
lah bukan. Pengunjung aja di sini, tapi setia.”
“Oh, kirain.
Masnya emang suka sendirian atau ya emang lagi pengen menyendiri aja?”
“Dua-duanya bisa.
Dan ya emang ngga ada temen ngebir aja, jadi ya…..”
Kemudian teman
saya datang, kami mengakhiri obrolan kecil tadi dengan saling mengangguk.
***
Jumat, 14 September 2018
Saya lagi lagi
datang ke café itu. Pertama karena suasana cafénya enak, lagunya pas,
penerangannya pas, dan ice red velvetnya enak, enak banget. Kedua dan yang
utama, saya rindu lelaki itu.
Jam menunjukkan
pukul sembilan malam dan tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Jam 11 malam,
masih belum juga tampak aroma dia akan datang. Jam 11 lebih 15 menit, saya
sedikit kecewa. Kecewa pada harapan sendiri, kecewa pada hal yang tak jelas.
Saya rindu, ingin melihatnya, melihat matanya, menikmati senyum ringannya, mengintip
perlahan di balik pundak teman saya hanya untuk melihat ia menenggak bir dingin
kesukaannya, melihat bibirnya menghisap rokok, melihat postur kurusnya,
memandangi tato-tato di tubuhnya yang beberapa berusaha disembunyikannya di
balik kaos, tapi dia tak ada, dia tidak datang. Atau kebetulan-kebetulan hanya
terhenti di pertemuan akhir lalu? Ah sudahlah. Saya pulang. Saya menyesapi
sakit hati teringan lagi. Sedikit sakitnya, tapi lumayan menyusahkan.
***
Sabtu, 15 September 2018
Saya yang tak
mudah puas ini memutuskan untuk menghabiskan malam minggu di café itu lagi.
Saya tak mau sebutkan namanya, saya mau simpan untuk diri saya sendiri. Malam ini
di café sedang ada penampilan DJ dengan pilihan musik yang sangat nyaman di
telinga, volume pas dan berhasil membuat tubuh relax. Saya memilih duduk di
bagian dalam ruangan café. Menyiapkan laptop karena memutuskan untuk
menyelesaikan pekerjaan yang tertunda di kantor tadi sore. Beberapa menit
kemudian saya merasa dia ada di sini, tapi mungkin di bagian luar seperti
biasa. Saya mencari-cari dan ketemu. Dia ada di sana, sendirian. YES!
Lalu apa? Saya harus
bagaimana? Ah ya sudahlah yang penting ada dia, saya sudah senang. Satu jam
terlewat. Saya yang duduk di meja dekat kasir mendengar suara lembut lelaki
yang memesan bir dingin, oh tentu saja saya langsung mengangkat kepala dan
mencari arah suara dan YAP! Dia yang sedang memesan minuman. Saya tersenyum
sendiri, senyum sembari memandang daftar laporan keuangan perusahaan manufaktur
di BEI yang terpampang terang di layar laptop. Hahahahahahaha.
Saya masih
mendengar suara dia berbicang dengan bartender di café, sepertinya ia
memutuskan duduk di bar. Wah wah wah, suka nih saya kalau begini, bahagia nih.
Dan sedetik kemudian.
“Hai mas.”
“Hai mba.”
“Sendirian lagi
mas?”
“iya, kayak
biasanya. Hehehe.”
“Daripada gitu,
sini aja sih gabung sama meja saya.”
“Heh?”
Dia masih tampak
ragu-ragu.
“Udah sini aja
daripada sendirian mulu. Yuk!”
Dia bangkit dari
kursinya, membawa botol minumannya, dan berpindah duduk di depan saya, semeja
dengan saya. Saya? OOHH TENTU BERBUNGA-BUNGA DOOONG..
“Saya Niara.”
“Sandy.”
Kami berbincang
banyak hal. Terlalu banyak. Saya suka berbincang dengannya. Saya suka cara dia
menjawab pertanyaan saya dengan jawaban ringan, saya suka cara dia menceritakan
tato-tato di badannya, saya suka melihatnya mengalihkan pandangan ketika
ditanya hal-hal khusus, saya suka melihatnya membetulkan kaosnya, saya suka
melihat bahunya, saya suka melihat mata kecilnya, saya suka melihatnya
memutar-mutar ponselnya ketika menjelaskan banyak hal. Saya suka awal
perkenalan ini.
“Nomor HP kamu
dong.”
Saya menyodorkan
ponsel saya, dia menuliskan nomor HPnya, dan memencet tombol telepon. Senang,
akhirnya kami saling bertukar nomor HP.
Waktu diusir telah tiba, pegawai café sudah mulai bergerak ke sana-sini
merapikan meja dan beberapa lampu café sudah mulai dipadamkan. Kami berjalan
bersama menuju parkiran.
“Kamu naik apa,
Mas?”
“Tuh!”
Dia menunjuk ke
ujung area parkir café ke arah satu-satunya kendaraan di sana. Sepeda.
“Serius?”
Dia mengangguk dan
tersenyum lagi.
“Kosan kamu
bukannya jauh ya dari sini, ngga apa gitu naik sepeda? Mana udah tengah malam
gini, kan anginnya kenceng.”
“Kan pake jaket. Ini
supaya imbang aja. Masa ngebir ngerokok mulu. Biar imbang, olahraga deh, dan
paling enak ya sepedaan ini.”
“Mmmm oookkeeee
deh sip. Yauda mas makasi ya, hati-hati loh ya!”
“Yok. Kamu juga
hati-hati. Dah.”
“Dah.”
Bener-bener antik
ini laki, saya jadi makin senang.
***
Lega rasanya bisa memastikan bahwa rasa percaya diri saya tidak
bermasalah, saya masih punya cukup nyali untuk mengajak lelaki berkenalan dan
berbincang.
***
Senin, 17 September 2018
"Mau ke mana kamu?"
"Kantor lah."
"Kok naik sepeda? mobilmu kenapa?"
"Ga kenapa-napa, Bu. Ini biar imbang aja, masa aku makan molor makan molor aja, olahraga dong biar imbang. Nah ini mantep kan olahraga sepedaan ke kantor."
Saya berangkat ke kantor, Ibu tetap melongo sambil berdoa mungkin ya,
semoga anak perempuannya ini masih dalam keadaan waras.
***
#NulisKamisan
#S4 #S04E01