28 Agustus 2017

Sagra Oleh Oka Rusmini


"Kau boleh bersetubuh dengan semua perempuan di bumi ini, tapi jangan kau bawa selir-selirmu itu. Dalam sejarah, seorang ratu selalu sendiri. Tak ada ratu kedua atau ketiga dalam sebuah periode kepemimpinan,"

-Ketika Perkawinan Harus Dimulai


-----

Dari beberapa judul dan isi cerpen, dalam Ketika Perkawinan Harus Dimulai lah saya merasa bahagia membaca buku ini.

Satu kutipan yang saya tuliskan di atas semacam mengutarakan sebagian kecil prinsip yang seharusnya perempuan anut (ketika berada dalam kondisi tertentu). Karena memiliki pasangan seorang pengkhianat yang gemar menebar benih di mana-mana, pilihannya hanya dua, tinggalkan sekalian, atau terima dan biarkan raja singa yang menghentikannya; eh atau impotensi (?)


--









Sumber Foto

26 Agustus 2017

Sahabat Adalah Lawan





Seorang teman lama tiba-tiba menghubungi dan membuat janji untuk bertemu, membicarakan hal penting katanya. 

Saya meng-iya-kan ajakannya yang kemudian berakhir dengan saya tertegun sendiri di dalam mobil selama perjalanan pulang, dan ditutup dengan hati yang terasa sangat sakit.

--

Setelah basa-basi, memesan minuman dan cemilan, ia langsung bersandar di kursi dan wajahnya nampak sangat kuyu, tapi sekilas, terlihat juga betapa ia mencoba untuk bangkit dan semangat menjalani hidupnya.

"Are you ok, Jen?"

"Ngga, Nas, ngga ada yang ok di hidupku sekarang."

"Sorry. mind to share?"

Ia menghela nafas panjang, sangat panjang.

"Aku sedang proses cerai."

"Astaga, oh my God. Bentar Jen, bentar. Aku masih ngga percaya."

"Aku juga ngga percaya kalau rumah tanggaku bakal begini ujungnya. Keliatan kayak happy happy aja ya?"

Saya terdiam, rasanya serba salah saat memutuskan untuk bertanya "kenapa?"
Saya diam, sampai akhirnya Ia membuka suara dan menceritakan semuanya.

"Kamu ngerti sahabatku yang namanya Ayu kan?"

"Ayu Ayu yang sering banget kamu post di IG itu?"

"Yep.. kita udah sahabatan sejak SD, Nas, SD, bayangin. kurang lama apa coba? dan bulan lalu aku lihat sendiri dia tidur sama Rio, sama suamiku, Nas. Aku.."

Sampai di titik ini, saya melihat kehancuran di matanya, di hatinya, di keseluruhan hidupnya. 
Saya menggenggam tangannya, mencoba menguatkan sekalipun nampaknya gagal. 

"Aku ngga ngerti salah apa aku ke mereka, Nas. Aku bukannya mau protes atau ngeluh ya, aku ikutin semua maunya Rio. Dia nyuruh aku jadi ibu rumah tangga aja ngurusin Omar, aku iya aja. Dia minta aku gini gitu aku turutin, semuanya cuma supaya Rio tuh ngerasa bahagia gitu loh, aku yang yaa kan kamu tahu sendiri dari dulu aku selalu dienakin sama orangtua, selalu ada pembantu, sampe akhirnya aku nikah dan jadi ibu rumah tangga yang beneran semua urusan aku yang ngerjain sendiri. belajar masak demi Rio, belajar setrika, beresin rumah, ngurusin Omar dari bayi sendirian, Nas, sendirian. Ngga pakai pembantu sama sekali. Kasarnya loh, aku udah di titik terendahku urusan harga diri dan ego, udah ngalah semuanya sama Rio. Semuanya. Eh Rio kok bisa tega banget sama aku. Aku sama Rio kan udah pacaran 7 tahun, selama itu dia sama sekali nggak pernah selingkuh, atau bikin ulah aneh-aneh, ribut hebat aja kayaknya ga pernah, Nas. Karena itu aku mutusin buat nikah sama dia, sebaik itu loh dia, Nas. Sebelum ketahuan sama Ayu juga, dia nggak ada gelagat kasar, menjauh atau gimana. sama sekali ga ada tanda apapun."

"Bentar deh, Ayu udah nikah belum sih?"

"Belum. Ayu juga, aku suayang buanget sama Ayu. Udah aku anggep kayak saudara kandungku sendiri. Selama ini semua hal mesti aku ceritain ke Ayu, Ayu tahu seneng dan sedihku, semuanya. Sampe gimana beruntungnya aku punya Rio dan jadi istrinya Rio, aku juga ceritain ke dia. Kan giniloh, Ayu itu kan anaknya gampang psimis ya, skeptis gitu sama cowok, jadi ya aku sering cerita kalau dia kudu optimis, buktinya ada cowok baik kayak Rio contohe. Waktu iku ya, Nas. Nah mungkin karena salahku juga sih ya cerita kebahagiaan rumah tanggaku ke Ayu, padahal dia lagi kayak gimana ya craving for relationship gitu loh, tapi ya skeptis juga, ngono lah. Jadi mungkin dia akhirnya berbuat gitu sama Rio."

"Halah udah jangan nyalahin diri sendiri, ya yang selingkuh mereka, yang salah ya mereka."

Kemudian terhenti karena tiba-tiba Ia menangis, tangisan tertahan yang dalam.

"Sabar ya, Jen. Sabar." 
Dalam hati, saya berteriak memaki diri sendiri sabar gundulmu nas, nyuruh orang sabar di keadaan kayak gini, dikira gampang.

"Pas waktu itu kan aku mau diajak mama papaku ke Tretes ya ada acara arisan keluarga, Rio aku ajakin nggak bisa karena kudu lembur katanya. Yauda aku berangkat ke rumah mama dulu, Nas. Siangan jam 2 kan. Ternyata mbulet ae di rumah mama pada belum kumpul, sampe akhirnya baru berangkat jam 4-an sore. Pas di jalan, baru mau masuk tol pasar turi, Omar nangis gara-gara bantal buluknya ketinggalan. Omar kan ga bisa sih kalau tidur gak ngelus-ngelus bantalnya itu. Dan pas waktu itu juga feelingku ngerasa kayak aku kudu balik ke rumahku dulu, ambil bantalnya Omar. Padahal biasanya ya dibujuk-bujuk ya bisa aja Omar ini, pokoknya kudu terus dialihkan pikirannya, diajak ngobrol terus gitu. Singkatnya akhirnya semobil itu balik semua ke rumahku, ada Mama, Papa, Bude Rima sama Anjas, sepupuku. Jadi pas kita sampe rumah, aku agak curiga kok ada mobilnya Rio, kan katanya lembur. Mboh ya waktu itu aku masuk diem diem aja, Nas. Biasanya kan aku salam dulu, itu aku diem aja trus langsung ke kamar. trus yaa gitulah, Nas. Ya marah, ya sedih, ya kecewa, ya nggak percaya, ya pusing. ya udah aku beneran ngga ngomong apa-apa ke mereka, aku ambil bantalnya Omar trus langsung ke mobil. Tapi Mama mungkin ngeh ya aku pucet banget. Jadi selama arisan itu ya aku linglung gitu kayak orang ga waras. Aku mau marah itu tapi nggak bisa, aku suayang banget sama mereka berdua, banget, Nas." 

Ia menghela nafas dan meminum beberapa teguk teh herbal yang ia pesan. 

Saya masih mencoba tenang sekalipun dalam hati marah luar biasa, entah pada siapa, Rio, Ayu atau pada keseluruhan pria di dunia ini. 

"Dari dulu, Nas, dari dulu banget sejak aku sama Ayu masih sekolah SMP, kan aku sama dia selalu satu sekolah ya, sampe kuliah juga. Setiap kali ada cowok yang aku suka, pasti cowoknya akhirnya sama Ayu. Ya ancen Ayu luwih ayu sih ya daripada aku, tapi selalu begitu ritmenya. Dan kalau cowok yang aku suka udah deketin Ayu, atau cowok yang ngedeketin aku akhirnya kepincut sama Ayu, yaudah ya aku pasti mundur sak mundur-mundure. Sampe akhirnya aku ketemu Rio. Rio  juga sedari awal udah aku tawarin, kamu yakin jalan sama aku, ga sama sahabatku? dia selalu bilang lebih suka dan milih aku. Di situ akhirnya aku percaya sepenuhnya ke Rio, kayak baru ini gitu ada cowok yang milih aku ketimbang sahabatku sing ayune naudzubillah. Aku kira aku udah nemu jodohku. Ternyata ya, Nas. ternyata."
 
"Ternyata ya, Jen. Untuk urusan jodoh, bahkan sahabat adalah lawan."

"Iya. Bahkan sahabatmu adalah lawanmu untuk mendapatkan jodoh. Kalau dipikir lagi, saking seringnya aku ngalah sama Ayu dari dulu, sekarang pun kayaknya aku udah otomatis milih ngalah aja gitu, Nas. Biarin lah Rio sama Ayu. Kejam ya hidup ini?"

"Perempuan, Jen, yang kejam. Bukan hidup."

Saya meneguk ice lemon tea, sembari mencoba memaksa barangkali hati bisa sedikit didinginkan oleh minuman segar ini.

"Iya, sesama perempuan emang jauh lebih kejam ya, Nas. Makanya aku milih curhat ke kamu, setengah perempuan setengah laki-laki."

"Njiiirr"

Saya tersedak, ia tertawa puas, saya pun kemudian.

Saya mulai menyangsikan definisi jodoh dan sahabat.
Apakah benar ada yang orang-orang sebut dengan JODOH?
Apakah benar ada yang orang-orang sebut dengan SAHABAT?

--

Belakangan Ia bilang, tawa karena melihat saya tersedak waktu itu adalah tawa lepas pertama Jenni setelah kejadian pahit yang ia  alami. 

Jenni memang agak kurang ajar ya, temannya tersedak, dia malah tertawa bahagia

Kemudian saya bingung, mau keki atau bersyukur karena berhasil membuat Jenni tertawa. 


--




 

Sumber Foto

thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana