26 Februari 2015

Akhirnya Terbuka


Hidup terkadang terlalu pemaksa. Ia membuat tiap manusia bernyawa jadi sempoyongan karena memikirkan mempertahannya, mempertahankan hidup. Akupun manusia, hidup dan memiliki otak serta hati. Kadang ditambah memiliki kelebihan waktu luang hingga sang otak seringkali sembarangan berjalan-jalan, terkadang ditemani oleh sang hati. 

***

Perjalanan kali ini nampaknya menuju ke hutan. Rimbun pepohonan, nampak sangat gagah, berpengalaman, namun misterius dan mencekam. Mereka bungkam, kata-katanya hanya terungkap lewat gemulai tarian ranting dan jatuh rapuh dedauannya. Mereka nampak penyabar, menanti sesuatu, entah apa. Menanti ditebang? Menanti terbakar? Atau menanti kiamat? Ya entahlah. Yang pasti hutan ini adalah pusat ketenangan. Tempat paling teduh untuk bersandar. 

Menapaki jalanan kecil lalu kutemukan kolam, sangat luas, bukan danau kurasa. Kolam berair jernih. Banyak sekali bebatuan berwarna gelap di dalamnya, ada yang melayang-layang di atasnya, bunga jenis langka dan serpihan benda dunia. Segar namun agak menyulut curiga dan waspada. 

Beberapa waktu kemudian, aku menemukan sebuah.... hhmm pondok? Sebuah tempat nyata berpenghuni. Berpintu, keropos tapi terasa sangat kuat. Pondokan, maaf, bolehkah aku menyebutnya reot? Iya, ini sebuah pondok reot yang menyedihkan, namun terlihat menjanjikan untuk disebut RUMAH. 

Aku mengetuk pintunya sekali, hening. Kucoba mengetuknya lagi, hening. Sebentar, aku lebih nyaman jika menunggu sejenak, menarik nafas, dan mengetuk sekali lagi dengan agak keras, masih hening. Kuputuskan melangkah ke jendela di bagian belakang pondok, kacanya sungguh kotor, seperti tak pernah dibersihkan sejak pertama kali dipasang. Mengerikan. Dari pandangan seadanya yg tertangkap, pondok ini terasa sangat penuh namun suram, ada aroma kehidupan tapi seperti bersiap-siap menuju kematian. Siapapun penghuninya, ia nampak butuh pertolongan, sesegera mungkin. Pondok ini mengisyaratkan tak boleh dikunjungi siapapun. Menolak untuk ditinggali. 

Ah tapi rasa penasaranku tak mudah dirobohkan, akhirnya memutuskan memutar lagi ke depan. Di depan pintu itu, rasa penasaranku sedang kujagokan, berjudi dengan rasa kecewa dan rasa puas. Aku tak akan menyerah semudah ini. Kuketuk sekali lagi perlahan, lagi, lagi, lagi, lagi........


TERBUKA. 


Aku hampir mundur terjungkal karena terkejut, pintu itu kini terbuka setelah ketukan ke sekian. 

Hatimu akhirnya TERBUKA. 

***

Setelah melalui hutan kepribadianmu, belantara tenang dan mencekam.
Melewati kolam pikiranmu, pusat jernih dan segala kewaspadaan hidup.
Menuju pondok perasaanmu, hati berpintu rapuh yang nyaris mati karena mengurung lara. 

Terima kasih, Kesayangan, akhirnya kamu izinkanku memasuki hatimu. Memberiku kehormatan untuk merengkuhmu, perbaiki segala pilu dukamu, membangun segalanya dengan lebih indah dan berwarna. 

Hatiku telah menemukan hatimu, 
Karenanya, tak akan lagi aku kepayahan mengarungi hidup ini sendiri. 









Dragoste.


"jika ada yang lebih setia daripada matahari yang menyinari bumi dan harum yang selalu mengindahkan melati, itu adalah aku yang menantimu." 

Sebuah Lacat baru saja diucapkan oleh seorang pria di depan panggung Deciziilor. Panggung pengambilan keputusan bagi pria. Pria dengan setelan jas hitam dan dasi berbentuk unik kebangsawanan melekat indah di tubuh gagah sang pria, Edgar Mauritz. Dari sekian jumlah orang yang memenuhi aula, seorang perempuan memulas wajahnya dengan senyum, senyum kemenangan. Ramoona berdiri dan menjawab Lacat tersebut dengan Cheie yang telah ia persiapkan.

"akulah mempelaimu, darah cinta yang akan mengaliri jiwamu, tubuh yang tak akan lelah menggenggam kesetiaan dan kepercayaan darimu, aku Ramoona menunggumu menyematkan cincin dengan hati bergemuruh bangga." 

Setelah kata terakhir terucap dari mulut Ramoona, ruangan menjadi begitu riuh dengan berbagai pemikiran dan celoteh, beberapa orang di aula menyayangkan kesediaan Ramoona mempersembahkan hidupnya untuk Edgar. Sangat menyayangkan. Sisanya terlihat tercengang tanpa ekspesi yang jelas. Nampaknya hanya Ramoona dan Edgar lah yang sanggup tersenyum dan merasa awal kesempurnaan hidup telah mereka raih.

***

Di desa Gustsat, hari setelah malam perjodohan, seluruh warga akan mengadakan pesta tahunan. Semua pekerjaan akan ditinggalkan dalam waktu 10 hari untuk menjalani pesta persatuan. Perayaan mempersatukan dua insan yang akhirnya memutuskan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan.

Kemarin malam adalah malam merah, yang ditandai dengan peralihan musim panas matahari ke hujan salju. 4 bulan musim panas telah terlewati dan diakhiri dengan matahari yang bersinar merah selama sepekan. Leluhur desa Gustsat mengatakan bahwa matahari merah di akhir musim panas terjadi akibat penyatuan dewa cinta dan dewi kesuburan, penyatuan yang disaksikan oleh sang matahari berjuta-juta tahun yang lalu. Setelah menjadi saksi dari penyatuan indah tersebut, matahari akan beristirahat sejenak dengan meredupkan sinarnya dan mengizinkan salju turun menghiasi bumi, mempercantik malam-malam penyatuan para penghuni bumi dengan butirannya yang berwarna merah muda. Karena itulah di desa ini, malam perjodohan harus diadakan di malam terakhir musim panas sebelum esok turun salju.

Di sebuah rumah, Ramoona sungguh kepayahan menyiapkan kue dragoste dalam jumlah besar untuk sajian para tamu undangan. Dalam kepayahannya, Ramoona masih sanggup merasakan buncah bahagia akibat lamarannya diterima oleh Edgar, pria yang setengah mati ia cintai, yang selalu ia sebut namanya ketika Ramoona memohon pada dewa dewi kehidupan. 7 hari sebelum malam perjodohan, ketua desa telah mengumumkan bahwa malam perjodohan akan segera dilaksanakan, dan agar para wanita mampu mempersiapkan kue dragoste andalannya masing-masing untuk meminang sang pria yang diinginkan. 

Desa ini memiliki adat perjodohan yang berbeda dari lainnya. Seluruh penghuni desa sangat memuja kue, mereka tidak akan sanggup jika harus hidup tanpa makan kue dalam sehari. Di malam pergantian tahun, akan ada pesta penyambutan sang dewa kesejahteraan, dan para wanita yang sudah menikah di desa akan bersama-sama membuat kue bulan raksasa berwarna biru, warna sang dewa kesejahteraan. Masih ada beberapa perayaan di desa ini, namun yang paling dinanti adalah pesta persatuan dan malam perjodohan. 

Menghadapi malam perjodohan, para wanita lajang berusia matang untuk menikah serta memiliki calon mempelai pria yang diidamkan diharuskan membuat kue dragoste. Kue berwarna merah menyala simbol cinta kasih dan warna sang dewa cinta, dengan krim putih lembut di bagian tengah kue, warna sang dewi kesuburan. Kue tersebut tidak memiliki resep bahan khusus, jadi diperlukan insting yang sangat kuat dari tiap wanita untuk membuatnya, karenanya rasa satu kue dragoste dengan kue dragoste lainnya akan selalu berbeda. Setelah membuat kue dragoste, para wanita diharuskan menyajikannya dengan tatanan yang menyimbokan kepribadiannya, boleh menghiasnya dengan bunga, dedaunan, madu hutan, minuman dari rempah-rempah, apapun. Para wanita bisa menghiasnya dengan apapun sekehendak hatinya. Di bawah kue tersebut akan diselipkan sebuah kertas yang berisi Lacat atau kalimat yang harus diucapkan oleh sang pria, dan Cheie yang kelak akan diucapkan oleh sang wanita di malam perjodohan, serupa teka-teki yang hanya akan diketahui oleh penerima kue dan pembuat kue. Setelah kue dragoste siap, kue tersebut dikumpulkan di balai ketua desa, diambil dari tempat sang wanita dan diantar kepada sang pria oleh orang-orang terpilih di desa. Sehingga sang pria calon mempelai yang tertuju tak akan tahu kue mana dibuat oleh siapa. Para pria calon mempelai seringkali menerima kue dragoste lebih dari satu, karenanya ia harus memilih dengan teliti sebelum membacakan Lacat  di malam perjodohan. 


Edgar adalah duda berusia 30 tahun, istrinya meninggal karena kecelakaan kereta saat akan kabur dengan pria selingkuhannya. Karena pengkhianatan sang istri tersebut, Edgar merasa ia sungguh tak layak mendaftarkan dirinya sebagai calon mempelai pria. Apa yang menimpanya adalah aib di mata banyak penghuni desa. Edgar dianggap tidak mampu menjadi pria sejati karena istrinya berpaling. Sungguh ironi. Namun adat tetaplah adat dan di desa Gustsat  ini tidak boleh ada lelaki yang melajang terlalu lama, karena ia akan dianggap mangkir dari kewajibannya jika memutuskan tak menikah. Dan demi memenuhi adat tersebut sebelum usianya jauh lebih tua dan tak mampu menghidupi sebuah keluarga (sekalipun hal itu tak mungkin karena Edgar berasal dari keluarga pedagang dan bangsawan yang sangat kaya raya), Edgar memutuskan untuk mendaftarkan namanya tahun ini pada ketua desa. Ia mendaftar dan tanpa berbekal permohonan pada sang dewa dewi kehidupan, ia begitu marah pada mereka yang mengambil kehidupannya dengan merenggut kesetiaan istrinya. Edgar mendaftar tanpa membawa harapan apapun. 

Ramoona, gadis desa yang sangat dipuja banyak pria. Dengan rambut berwarna madu yang cerah dan sangat indah, senyum yang tak pernah pudar melengkapi kecantikan wajahnya, tubuh yang sintal namun berlekuk sempurna, Ramoona sudah membuat banyak pria tergila-gila dan bertekuk lutut kagum. Semua orang boleh begitu hafal dengan fisik dan keindahan yang Ramoona miliki, tapi tak seorangpun yang tahu apa isi hatinya. Sudah sejak bertahun-tahun yang lalu, Ramoona begitu mengagumi Edgar, jauh sebelum Edgar menikah. Dan ketika Ramoona mendengar kabar bahwa Edgar dikhianati, hatinya begitu marah, mendidih murka mengutuki tingkah sang istri yang tak bisa menjaga kepercayaan Edgar. Dalam amarahnya, kemudian Ramoona merasa begitu berterima kasih karena ia jadi memiliki kesempatan untuk memenangkan hati Edgar karena kematian istrinya yang terkutuk itu. Dan tahun ini, setelah Ramoona tahu daftar calon mempelai pria, ia merasa sekarang adalah kesempatannya untuk mempraktekkan resep kue dragoste yang ia pelajari dan mempersembahkan untuk Edgar. Semoga ia lah yang dipilih, semoga Ramoona yang menjadi pendamping terakhir bagi Edgar tercintanya.

***

"apakah kamu sungguh mencintaiku, Ramoona?"

"jika jiwaku harus dipersembahkan untuk membuktikan kesungguhanku, aku bersedia, Edgar."

"jangan pernah meninggalkanku, aku sangat menggilai dragoste ini, berharap mati dengan mengenang lembut dan cita rasa dragoste darimu, lalu tenang di pangkuanmu."

Ramoona hanya tersenyum dan berlinang air mata bahagia, ketika akhirnya Edgar menyematkan cincin berwarna merah di jari manisnya, cincin penyatuan cinta mereka. 

Aula seketika dipenuhi dengan bahagia, banyak tepuk tangan mengiringi langkah mereka menuju pintu keluar dan mengendarai kereta kuda menuju rumah pengantin. 

***










#NulisKamisan #3, foto oleh @nabilabudayana
 

25 Februari 2015

Rasa yang Mubadzir


Sepertinya rasamu sudah berubah. 
Atau hormonku yang mulai menolakmu?

Kamu menghampiriku dengan tatapan bola mata warna hazelnut itu,
Aku sudah tidak merasakan apa-apa.
Biasanya aku jadi lebih tenang. 

Kamu menyentuh pipi dan daguku, dengan jemari maskulinmu itu,
Aku sudah tidak merasakan apa-apa.
Biasanya suhuku sudah drastis berubah.

Kamu memelukku lembut dengan tangan kokoh itu, 
Aku sudah tidak merasakan apa-apa.
Biasanya aku merasa terlindungi. 

Kamu mendekapku erat tanda tak ingin kehilangan diriku,
Aku sudah tidak merasakan apa-apa.
Biasanya darahku akan berdesir panas.

Kamu menciumku dengan lumatan-lumatan kecil yang erotis,
Aku sudah tidak merasakan apa-apa.
Biasanya aku seketika bergejolak.

Kamu melantunkan janji-janji surga dengan mimik wajah waspada,
Aku sudah tidak merasakan apa-apa.
Biasanya aku sudah terbang bersayapkan harapan.

Kamu mengajakku menikah, menjalin cinta yang tak lagi bergelimang dosa, 
Aku tidak merasakan apa-apa.
HARUSNYA AKU BILANG IYA. 

Tapi sungguh, aku tak merasakan apa-apa. 
Tak lagi merasa keberadaanmu itu perlu di hidupku. 
Tak lagi merasa kebahagiaanku itu hanya bergantung padamu. 
Tak lagi merasa ada namamu di gerbang hatiku. 

Rasa-rasanya aku mulai lupa bahwa kamu benar-benar PERNAH ADA di kisah hidupku. 


Rasa yang kemarin ada, nampaknya adalah rasa yang mubadzir
Ada, namun tak bisa kunikmati. 



18 Februari 2015

Selamat Datang


selamat datang, lelaki baru dengan senyum lugu :)
lelaki dengan alis lebat tak biasa
lelaki dengan tatap mata teduh 
lelaki dengan hidung mancung memikat
lelaki dengan cara berpakaian unik
lelaki dengan batang rokok mematikan di jemari
lelaki dengan kalung berwarna gelap
lelaki dengan ketenangan luar biasa
lelaki dengan selera canda tertata baik
lelaki dengan kegemaran mengelilingi dunia
lelaki dengan kesederhanaan menyenangkan
lelaki di bangku kanan.

aku tak akan mengganggu hubunganmu dengannya
aku hanya akan duduk dan senyum menikmatimu dari posisiku
mempelajarimu sambil sesekali mencuri pandang
lalu bahagia ketika setibaku di rumah, kamu masih utuh di ingatan

bagaimana jika yang kutangkap dari matamu adalah keraguan?
entah hatimu yang meragu atas cintamu padanya
entah dirimu yang meragu atas getaran rasa dariku

bagaimana jika yang setengah mati kamu cintai itu ternyata mendua?
membayangkan hatimu patah karenanya saja, aku sudah tak kuasa
karena itu hanya lantun doa yang akan kuberikan padamu
semoga entah dia atau yang lainnya mampu membahagiakanmu

bagaimana jika akhirnya aku jatuh kagum padamu?
diam-diam berharap semoga esok kita akan bertemu
entah untuk sekedar mengucap "hai..." atau bertukar rindu
atau minimal saling melontar senyum sebelum saling menjauh

ah tapi tenang saja, aku tak akan melangkah lagi
aku punya cukup kaca untuk membuatku sadar diri
aku akan cukup mensyukuri hadirmu dalam mimpi
entah bagaimana kelanjutannya, biar saja jadi misteri



Surabaya, 18 Februari 2015


14 Februari 2015

sekembalimu, aku menunggu.




Sudah pukul 17:06 WIB aku masih sendiri di salah satu sudut sebuah cafe. Berulang kali beringsut, tegak, (mencoba) bersantai, hingga gugup panik di atas sofa hijau yang jika dalam keadaan normal, aku pasti sudah sangat relax hampir tertidur di atasnya. Sofa yang sangat nyaman untuk ukuran cafe di dalam toko buku. Sebentar, kenapa jadi membahas sofa? baiklah mari lewati. 

Tidak tidak tidak, aku sedang tidak bekerja. Ini hari Sabtu dan sekalipun bukan hari Sabtu, aku masih tidak bekerja, secara formal. Pekerjaanku bisa disebut melanjutkan hobby, kegemaran menulis yang kemudian berkembang dan menjadikanku penulis lepas yang bisa menghasilkan uang di manapun dan kapanpun selama ada laptop dan koneksi internet tentu saja. Ah! selama ada dia juga, karena dia satu-satunya pusaran inspirasi dan jiwa di tiap tulisan yang kuhasilkan, entah tentang cinta ataupun tulisan abstrak sekelas ulasan sebuah buku. Tetap dia inspirasiku. Dia yang sekarang sedang entahlah melakukan gaya apa di sebuah gedung di seberang jalan sana. 

Mari sebut saja dia Ilham, ah jangan, terlalu berat. Satya saja kurasa pas. Oke, Satya, dia adalah Dia-ku. Yang jika saja bukan karena besarnya atau bodohnya rasa cintaku, sudah pasti aku pergi sekarang karena jengah menunggunya selama 3 jam. TIGA JAM! 

*menghela nafas sesabar mungkin* 
Lalu kemudian prosesi tarik dan lepas nafas ala yoga ini terganggu oleh bunyi dering iPhoneku yang tingkat suaranya lupa kuturunkan, hingga seisi cafe ini serasa menoleh sinis padaku. Kuaduk tas hitamku yang kata banyak teman adalah minimarket berjalan saking penuh dan lengkapnya isi tasku, yap akhirnya aku menemukan benda kecil berisik ini.

"Halo."

"Gila ya, lama amat sih ngangkatnya"

"Maaf, maaf ih, tadi iPhonenya di tas, jadi ya gitu deh."

"Makanya tas jangan kayak tong daur ulang sampah, saking acak-acakannya. Lagi di mana kamu?"

Iya, itu dari sahabatku yang Subhanallah rewel dan protektif, tapi tetap kucintai sepenuh hati, Candra. Dia perempuan by the way. 

"Masih di Cafe Gramedia, napa?"

"Edaaaan. Ngapain sih kamu, hmmmm udah berapa jam nih? eh bentar, 3 jam ya? sinting udah 3 jam niiiihhhh" cerocosnya dengan volume yang menandingi speaker kondangan di kampung Dukuh Pakis. 

"Ya gimana lagi, Can. Dia belum keluar nih, kayaknya dia lupa deh kalau aku nungguin di sini."

"Ya udah pulang aja sih, Darling. Mau kujemput? mumpung aku ama Dodik lagi di A.Yani mau ke TP nih, kan searah tuh."

"Nggak usah, aku bawa mobil kok. Aku tunggu sampai jam 7 deh, kalau dia belum ke sini juga, baru aku cabut."

"Dia lagi di hotel mana sekarang?"

"Hotel Ibis depan kok. Makanya kita janjian di sini, kan deket."

"Lagian kamu ngapain sih Nad nungguin dia kayak gini terus? mau sampai kapan?"

"Can, kamu tahu kan itu pertanyaan yang nggak akan bisa kujawab."

"Nada, dia lagi nidurin perempuan lain. Dia lagi ML sama perempuan bejat lainnya. Ngapain kamu tungguin sih? buat apa?"

"Aku kangen dia, Can. Aku harus nunggu dia. Aku pengen ngobrol sama dia. Aku..... Aku.... entahlah. Aku nggak bisa pergi sebelum dia nyuruh aku pergi."

Aku mendengar Candra menghela nafas dengan berat, aku mendengar suara frustasi di tiap ucapannya. Sahabat yang frustasi, dan aku tetap tidak dapat melakukan apapun untuk meredakan rasa frustasinya. 

"Dia nggak akan nyuruh kamu pergi karena dia tahu kamu yang sebenernya terbaik buat dia. Dia cuma terlalu sibuk ngurusin kemaluannya yang rakus. Dia cuma berkelit dari tanggung jawabnya untuk menikah. Dia tahu dia membutuhkanmu, tapi dia terlalu takut untuk memulai pernikahan. Dan selama ketakutannya itu ada, mau selama itu juga kamu nunggu dia tobat?"

"Aku nggak tahu, Can. Aku nggak tahu kenapa aku mau nunggu dia begini. Tapi yang kutahu, hati dan jiwaku butuh dia. Cuma dia. Dia dengan semua kelakuan menyenangkan dan kelakuan terkutuknya itu."

"Aku tahu kamu bisa nerima dia seberengsek apapun dia, tapi kamu yang sekarang sudah bukan lagi kamu yang dulu, Nada sayang. Kamu sudah tobat, kamu layak mendapatkan yang terbaik, yang lebih dari Satya."

"Tuhan belum kirim yang lebih baik dari Satya, Can. Dan aku yakin, hanya Satya yang paling tepat untukku. Dia sudah tahu luar dan dalamku, dia tahu baik dan burukku. Aku merasa hanya dengannya aku rela setia, hanya dengannya aku rela meninggalkan semua kenikmatan dunia. Aku mau nunggu dia aja, Can."

Sekali lagi aku mendengar helaan nafas yang berat dari Candra.

"Aduh Nada. Ah ya sudahlah. Kamu udah makan toh? Jangan gara-gara tegang nungguin dia, kamu jadi lupa makan ya."

"Iya, bawel. Thanks ya."

"Ngomong-ngomong, kali ini perempuan mana lagi yang Satya tiduri?"

"Aku juga kurang tahu pasti, tadi sih di Whatsapp dia bilang kalau perempuan ini kliennya, calon nasabahnya."

"Dasar gila. Ya udah ya, bilang ke dia buruan tobat sebelum diterkam raja singa." 

"Heh!!"

"Yauda ya. Bye, Darling"

"Bye, salam ya buat  Dodik, jangan kebanyakan makan di TP, ntar baju akadnya nggak muat lagi. Dirombak lagi deh."

"hahaha diem deh. yauda ya daaaahh. I love you, Darling."

"Loye you too."

*klik*

Selalu menjadi sentimentil saat obrolan antara aku dan Candra menyinggung tentang Satya. Aku tahu dia tak ingin melihatku sedih atau terluka lagi, tapi ya entahlah, mungkin memang aku mulai kecanduan pada rasa sakit akibat cinta. 

Cinta itu menyakitkan saat kita harus menunggu kedatangannya dengan perasaan kacau balau.
Cinta itu menyakitkan saat kita tetap tak bisa ke mana-mana sekalipun tahu bahwa tubuhnya sedang dipuaskan oleh perempuan lain.
Cinta itu menyakitkan saat kita memandang rintik hujan dan menyadari bahwa yang kita cintai mungkin tak akan pernah datang lagi.
Cinta itu menyakitkan saat kita harus berjuang seorang diri, memperjuangkan kehampaan.
Cinta itu menyakitkan saat kita harus menggadaikan waktu dan usia demi kepastian yang entah kapan datangnya.
Cinta itu menyakitkan saat senyum puas darinya bukan lagi kita penyebabnya.
Cinta itu menyakitkan, jika dengan Satya hatiku berurusan.


"heii"
Satya menyentuh pundakku dan tersenyum. Astaga senyumnya, selalu membuat lututku lemas. Untung saja aku sedang duduk.

"hai, mau minum apa? nih ada tuna sandwich, atau mau nambah makanan sekalian?"

"cokelat panas aja deh, nggak usah makanannya ini aja cukup."

Aku melambaikan tangan pertanda memanggil salah satu pramusaji, dan memesan cokelat panas. 

"Tumben kamu nggak makan. Biasanya setelah bercinta kamu pasti kelaparan. "

"Hahaha iya laper, tapi sandwich aja cukup kok. Aku nggak serakus kamu kali."

"Enak aja!! anyway, tadi gimana? siapa sih dia?"

"Hmmm Sarah atau Siera ya namanya, aku lupa. Dia nasabah potensial sebenernya, tapi ya begitulah, dia mengajakku bercinta dan seperti yang kamu tahu, aku paling payah menolak ajakan macam itu. Setelah kamu tobat, aku tak tahu lagi bagaimana cara memuaskan hasratku. Dan tentang gimana, gimana apanya? ya dia biasa aja, bercinta seperti pada umumnya. Kami melakukannya hanya sekali, dan ya seperti biasa aku nggak bisa lebih dari sekali jika bukan dengan kamu, Nada."

Aku hanya bisa tersenyum. Tapi entah apa, di dalam hatiku, aku bahagia, dan menangis dalam satu waktu. Hati serta isi kepalaku sudah acak-acakan dan jika harus diuraikan dengan cara deskriptif, mungkin akan makan waktu 7 hari 7 malam untuk menjelaskan rasanya mendengar ucapan Satya barusan. 

"Tapi dia pasti bisa memuaskanmu kan?" 

"Nggak. Dia nggak bisa. Nggak ada yang bisa selain kamu."

"Sat...."

"I MISS YOU, NADA. Really do."


***




thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana