11 Desember 2018

Harapan




Terasa tak terasa ya, sudah akhir tahun aja. 
Yang namanya akhir dan awal tahun seringkali berisi harapan.

Apa yang kita harapkan ada dan terjadi dalam hidup kita selama setahun ke depan, 
dan di akhir tahun, harapan apa saya yang layak kita syukuri karena sudah terkabulkan. 

Untuk hal-hal dalam cakupan lebih detail, saya adalah pribadi yang sangat anti dengan harapan dan berharap, 
semudahnya adalah saya jarang sekali memiliki mimpi dan ambisi. 
Tapi dalam hal buka tahun, saya akan selalu menata berbagai 'semoga' agar sekiranya Allah berkenan mengabulkan. 

Saya menata dan memiliki harapan, hanya di awal tahun. 
Seringnya demikian.

Tahun 2018.

Untuk hal kesehatan, karir, dan keluarga, alhamdulillah semua 'semoga' saya telah terkabulkan,
dengan cara yang sangat unik, dan menyenangkan. 

Namun dalam hal asmara, 
ha ha ha ha

Di penghujung tahun ini, saya baru teringat, 
ada satu cletukan atau mimpi asal-asalan yang saya sempat lontarkan dan kemudian menjadi kenyataan.

Beberapa tahun yang lalu, saya sempat melihat seorang lelaki, sudah beristri, 
Istrinya cantik, menarik, pekerjaannya bagus, ya semacam "laki mana sih yang ngga mau sama dia?"
Nah, sebenernya saya menyukai sepasang suami istri ini.
Istrinya cantik dan menarik, suaminya manis dan sepertinya seru. 
Saya mengikuti kisah hidup mereka melalui blog yang istrinya tuliskan,
tulisannya ringan dan mencerminkan kehidupan yang ideal serta baik-baik saja. 
Perempuan seperti itu, lelaki mana yang tak mau?
kemudian saya penasaran, perempuan seperti dia memilih lelaki yang begitu, 
ADA APANYA LELAKI INI?

Saya kemudian penasaran dengan lelakinya,
Dari berbagai kisah yang istrinya ceritakan, 
Bibit penasaran saya semakin menjadi, 
hingga kemudian

"Ya Tuhan, pengen deh punya pacar yang kayak suaminya itu, kayaknya kok seru."

Singkatnya, di tahun 2018 Tuhan kabulkan doa saya. 
Saya mengenal si suami yang kemudian saat saya berkenalan, ternyata mereka sudah berpisah, cerai. 
Demikian rasanya kecewa, patah hati, dan bersyukur dalam satu waktu. 
Kecewa karena pasangan yang nampaknya sempurna dan saya kagumi nyatanya berpisah,
Patah hati karena melihat sepasang kekasih yang kemudian terpisah,
Bersyukur karena berkat berpisahnya mereka, saya bisa dekat dengan si suami. 

Sebutlah nama lelaki ini Ihsan. 
Saya dan Ihsan memang tidak sampai dalam tahap menjalin komitmen, 
Kami baru di tahap saling mengenal,
Tapi di sana, saya merasakan kebahagiaan yang rasa-rasanya tiada hari tanpa senyum-senyum sendiri,
Saya kira, tidak akan ada yang bisa menghapuskan sosok Kiki (lelaki masa lalu saya),
Nyatanya ada.

Yang namanya manusia, pasti ada sisi baik dan sisi buruknya,
Kami tidak bisa saling menerima dan menyesuaikan diri.

Saya tidak cukup untuknya, 
Dia tidak cukup untuk saya. 

Kami kemudian berpisah,
Sekian kalinya, hati saya terluka, 
Tapi tak masalah. 

Saya bukan terluka akibat ulahnya, 
bukan. 

Luka yang saya bahkan tak bisa ceritakan.

Dia pergi. 
Saya melepaskan. 

Melepasnya ternyata tak semudah yang saya duga. 
Sekuat-kuatnya saya mencoba membencinya,
agar lebih mudah bagi hati dan jiwa untuk merelakan. 

Nyatanya, 
Yang tersimpan dan tergores di ingatan hanyalah ia yang demikian indahnya. 

Sekarang saja, 
Ketika saya mengingatnya, 
Saya masih tersenyum.

Saya masih ingat saat pertama kali saya bertemu dengannya, 
Masuk ke mobilnya, 
Mencium aromanya, 
Menikmati senyumnya, 
Mengagumi sosoknya, 
Meresapi tiap cerita dan candaannya, 
Menggilai caranya mendominasi. 

Dengannya,
Saya bisa amat sangat terbuka,
Menjadi saya seutuhnya tanpa ada yang saya tutupi,
Menunjukkan padanya sebenar-benarnya saya,
Menjadi versi terbaik dari diri saya,
dan denganya, 
saya berani perlahan-lahan menyusun mimpi. 

Saya sangat menyayanginya.

Sekalipun tak bersama, 
Terima kasih Tuhan, telah menghadirkan ia di hidup saya.

---

Di akhir tahun ini, 

Saya memiliki satu harapan.

Semoga ia melupakan saya sepenuhnya, 
dan jikapun ada ingatan yang tertinggal, 
semoga itu bukan dendam, 
semoga itu bukan keburukan. 

Sehat dan berbahagialah selalu, Kekasih Hatiku. 

 
***







#NulisKamisan #S4 #S04E06


05 Desember 2018

Aki


beberapa waktu lalu saya abis ketahan di kantor (sendiri), bukan kantor polisi tenang aja. 
akibat  tidak mendengarkan omongan mas-mas di service center honda. 
huahauahuahuaaaa 😂

pas pulang kantor, mau balik karena udah malem dan emang lagi ujan kan, jadi ingin segera pulang dan mlungker di balik selimut dengan ditemani oleh dia (re: guling).

lalu oh lalu, 
*nyalain mesin
gagal

*nyalain lagi
gagal

*nyalain lagi
malah ga muncul bunyi apapun dan kedap kedip aja ga jelas kayak begini 


NAH, itu artinya, 
itu tandanya,

AKI KALIAN ABIIIIISSSSS~~~

pengen panik, tapi kok ya ga panik.
langsung matiin lagi mobilnya, 
coba nelfon mas service center, ga bisa.
nelfon adek, kali ada solusi, ternyata ga ada.
mau nelfon ke cowok, tapi siapa?

yaudalah akhirnya nelfon ke bapak ajyaaaah~
sama bapak suruh dicharge aja dulu coba.

lah aki kok dicharge gimana sih?
oh ternyata emang ada sih alatnya, dan DENGDOOONG hasilnya nihil setelah dicharge kurang lebih sejam, sampai gemuk aku nih nunggunya. 

setelah pertimbangan yang berat selama dua menit, temen kantor bantu melipir ke ruko sebelah, minjem mobil di sana, dan numpang nyetrum aki, huhuhuhuuuu alhamdulillah bisa juga akhirnya. 

besokannya langsuuung berangkat ganti aki.
ga pake ntar-ntar. 

berangkatnya tentu saja disetrum dulu akinya pakai mobil adek. 
huahauahuahahahuaaaaa :))

alhamdulillah kok ya mogoknya di kantor, kok ya ngga di mall pas saya sendirian, kok ya ga di jalan pas abis ngapa-ngapain gitu. 

untuk mobil honda HRV, ganti aki plus jasanya kena kurang lebih 1.300.000.-
bisa ke service center resmi honda atau ke tempat ganti aki langganan kalian aja. 

pokoknya pesannya adalah

KALAU MASNYA BILANG AKINYA HABIS DAN BUTUH DIGANTI,
PERCAYALAH!!!



dan satu lagi,
sediakan di mobil kalian kabel setrum aki atau jumper aki kalau ga salah namanya, 
yang kayak begini nih.. 



sekian dan terima makanan..

---


Yogyakarta di Akhir Tahun




"jadi begitu saja."

"kamu baik-baik dengannya."

"kamu juga baik-baik ya di Surabaya."

"terima kasih hadiahnya, waktunya, semuanya."

"jangan sedih."

"InsyaAllah."

---

Kami berpisah dengan janji akan saling menemukan di Yogyakarta. Kota tempat awal saya menyapanya, bertemu dengannya, tersenyum padanya.

Kelak, kami akan saling memantau dalam diam, saling berpura-pura baik-baik saja. 
Kami akan sebaik-baiknya berperan sebagai pasangan orang lain. 
Dia akan semaksimalnya menunjukkan pada semua bahwa ia sangat, amat sangat bersyukur dan berbahagia telah mendapatkan perempuan yang kini menjadi kekasihnya. 
Saya akan sesanggup saya menunjukkan padanya bahwa saya dan kekasih saja juga baik-baik saja, menjalani kehidupan tenang dan membahagiakan. 


Akhir tahun di Yogyakarta terasa puluhan kali lipat lebih dingin daripada seharusnya. 

Melepas namun tetap saling menggenggam, 
Tanpa diketahui kekasihnya, 
Tanpa diketahui kekasih saya.

 ---

22 November 2018

Rumah




Saya belum pernah bisa memaknai kebaikan dari kalimat:

“Sejauh-jauhnya engkau pergi, rumah adalah tempat ternyaman untuk kembali.”



Saya sudah pergi jauh, sejauh kaki, uang, dan hati saya mampu. Tapi sedetik pun tidak pernah bisa menemukan arti kenyamanan dari rumah. Ah, bahkan rumah saja saya masih ngga paham apa serunya kembali ke rumah?



***

“Sayang, kemarin aku baru beli rumah di daerah Surabaya Barat, Bimo masih ngurusin surat-suratnya. Nanti rumahnya atas namamu ya.”

Saya kaget, sebanyak apapun kejutan yang Chris beri, tidak pernah ada yang segila memberi rumah. Bukan karena saya meragukan kemampuannya, tapi untuk apa? Kenapa?


“wooow wooow wooow, bentar bentar. Kamu abis bikin dosa apa, Sayang?”


“maksudnya?”


“ngasih hadiah sampai sebesar rumah, kamu habis bikin salah apa?”


“ngga ada kok.”


“ya terus buat apa?”


“supaya kamu aman, nyaman, dan memudahkan kita.”


“rumahku sekarang aman dan nyaman kok, satpamnya juga selalu siaga, sampai 25 jam bahkan.”


“bukan itu maksudku. Adikmu kan kadang masih sering tidur di sana, sering dateng dadakan juga. Aku pengennya kita lebih mudah aja ketemuan tanpa ngerasa waswas, Sayang.”


“kita bisa ke hotel, ngga perlu sampai kamu beli rumah.”


“kamu kira aku lagi mesen pelacur apa? Pakai hotel segala.”


“aren't i?”

Dia marah, saya tahu dia marah. Saya mendengar hembusan nafas amarahnya. 


“why did you say that?”


“apa bedanya aku sama pelacur kalau kamu kasih aku segala materi bahkan sampai rumah? Apa bedanya aku sama gundik peliharaan om-om tua bangka di luaran? Aku, Sayang, ngga akan bisa lupa posisiku, posisimu, istrimu, anakmu. Selamanya aku ngga akan bisa lupa, dan karena itu aku selalu merasa aku ini pelacurmu kalau kamu terus-terusan kasih aku harta.”


“honey, i’m so sorry. Aku ngga pernah bermaksud begitu.”


Saya diam, memilih tidak menjawab karena satu kata yang keluar dari mulut, rasanya air mata tertahan ini sudah pasti akan tumpah. 


Kami saling menggenggam ponsel dan memilih saling terdiam tanpa ingin mengakhiri panggilan telepon. 


Saya menarik nafas


“give me some time, please. Aku butuh sendiri. Jangan hubungi aku dulu sampai aku yang ngehubungi kamu.”


“ok, but please just think about the house.”


“Chris, please. Don’t push me.”


“ok, honey. Take your time, you know i love you, always do.”


“i love you more. Bye.”


“Bye.”



***


Beberapa hari kemudian, menghadiri acara reuni SMA saya anggap sebagai pelipur lara. Saya akan berjumpa banyak sekali sahabat dan teman lama saya. Mengenang dengan sebaik-baiknya betapa mudahnya masa sekolah di kala itu, yang saya perlu pikirkan hanyalah tugas dari guru dan belajar untuk ujian. Sudah. Tidak perlu memikirkan urusan pekerjaan, tidak perlu lelah dengan luka hati, tidak pernah khawatir dengan banyak hal. Cukup belajar dan sesekali bermain.



Niaraa...



Saya mendengar ada yang memanggil nama saya. Saya menemukan siapa yang memanggil-manggil, di ujung lorong, ketiga teman lama saya sudah duduk manis di salah satu pengaturan meja yang disiapkan oleh panitia. 
 

“hai.”


“hai, hwaaa kangen kalian.”

Kami saling menyapa, bertukar kabar, dan saling berbagi cerita.

Ah, saya hanya menceritakan tentang pekerjaan tentunya. Mereka? Menceritakan segalanya, anak mereka, suami mereka, hobby mereka di dapur, dan sepaket topik lain yang jauh dari minat saya. 


“Ra, kamu gimana? Kapan berumah tangga?”


“kalau ga sabtu ya minggu.”


“iih nih anak.”

Saya berhasil menepis pertanyaan terkutuk itu. Mereka lanjut berbincang, saya hanya mendengarkan, menyimak ucapan mereka sembari menikmati suguhan band bergenre musik jazz yang sangat bagus dan menarik di panggung. 


“Ra, serius, kamu kan udah tua, udah 34 tahun. Kamu ngga mau punya anak? Ngga pengen punya suami? Ngga pengen berumah tangga? Jangan kerja mulu lah, masa mau jadi perawan tua?”


Kemudian mereka bertiga tertawa. 

Tertawa di atas luka saya yang sedang bernanah.

Mereka jahat sekali.


Saya meletakkan gelas yang sedari tadi saya pegang, sengaja meletakkan dengan agak keras agar mereka terdiam.


“gini ya, Din. Aku mau nanya. Kamu punya rumah sendiri nggak? Kamu dan suamimu deh.”

Dini terbungkam, teman SMA yang sedari tadi paling berisik dan dua kali menanyakan hal yang sama pada saya.

“Jawab dong, Din.”

Dini menggeleng.


“Aku, Din. Sudah punya rumah, rumah yang kubeli dari hasil kerjaku dan sudah kubeli sejak umur 27 tahun. Rumah, mobil, pekerjaan yang sukses tidak kemudian menjadikan aku berhak mempertanyakan apakah orang lain bahkan temanku sendiri sudah punya rumah, sudah punya mobil, atau sudah sesukses apa pekerjaannya? Tidak bisa dan tidak boleh begitu. Hal serupa juga sama dengan pernikahan. Hanya karena kamu beruntung dengan sudah lebih dulu menikah, Din, sudah lebih dulu berumah tangga, bukan artinya kamu berhak menghakimi siapapun di luar sana yang belum berumah tangga. Karena itu jahat, sangat jahat.”


Saya mengambil tas, lalu kemudian meninggalkan mereka dan saya memilih pulang. 


Pulang ke rumah.


Rumah saya.



***


“hai, apa kabar?”


“baik, Sayang. Kamu gimana?”


“mendingan.”


“i miss you.”


“i miss you more.”

Kami berbincang seperti biasa, topik ringan namun saling mendekatkan.


“Sayang, perihal rumah, rumah yang kamu beli kemarin berapa harganya?”


“kenapa harus nanya harga rumah sih?”


“just answer!”


“sekitar 5M. Kenapa sih?”


“aku mau rumah dari kamu, tapi bukan rumah yang itu. Aku maunya uang 5M itu bisa jadi 2 rumah.”


“ya tinggal beli lagi satu kan.”


“kebanyakan duit yang keluar ah.”


“kamu lagi ngga bisa didebat ya kayaknya?”


“yes, my dear. So just do it.”


“ok, tapi kenapa harus jadi dua rumah?”


“satu untuk kita, satu untuk kupakai jadi yayasan anak jalanan. Aku ngga minta izinmu, karena kamu harus memperbolehkan. Ok?” 


Dia tertawa.
Ya Tuhan, saya mencintai tawanya, saya mencintai lelaki ini, saya amat sangat menggilainya.


“Ok.”


“thanks, Chris. Really.”


“pleasure’s all mine, honey. Anyway, open your door.”


Saya berlari ke pintu dan melihat dia sudah berdiri di sana dengan seikat bunga ungu kesukaan saya.



***


Saya memilih beberapa yang layak disebut rumah dan tidak ada satu pun yang membuat saya nyaman dan selalu ingin pulang. Tidak satu pun. Rumah orangtua saya, saya selalu merasa datang ke neraka setiap kali ke sana. Mama dan Papa tak akan berhenti menyalahkan saya atas nasib saya yang belum menikah hingga usia kepala tiga, saya dibilang kurang ibadah, tak pernah memikirkan orangtua, tak peduli tatapan mata tetangga, dan sebagainya. Di rumah saya sendiri, saya merasa kosong, saya merasa rumah adalah tempat merebahkan punggung, ke kamar mandi, berganti pakaian, dan bercinta dengan Chris. Ok untuk bercinta memang saya menyukainya, tapi sisanya, ketika Chris tidak di rumah, saya merasa kembali berlubang. Chris, lelaki yang bertahun-tahun berhubungan dengan saya, jelas tak bisa disebut rumah karena tak bisa saya nikahi, kami berbeda keyakinan dan ia sudah berkeluarga. Saya merasa tak beruntung dalam hal tidak memiliki rumah yang layak disebut tempat kembali ternyaman. Tapi saya bisa membuat rumah ternyaman untuk mereka yang kurang beruntung di jalanan Surabaya. Mereka yang bahkan tempat untuk berlindung saja tidak punya. Sekalipun tidak sempurna, rumah yang ingin saya sediakan untuk mereka akan selalu saya perbaiki kelak baik dari luar maupun dalam, baik secara fisik maupun suasana dan aura rumahnya.





Dan untuk itu, saya butuh Chris, tempat saya selalu kembali, 
sekalipun masih tak bisa disebut RUMAH.


***







#NulisKamisan #S4 #S04E05


sumber foto





thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana