Sudah
melalui beberapa kali ajakan, akhirnya saya mengiyakan permintaan sahabat saya,
Ruth untuk mengunjungi sebuah café
tempat pacarnya tampil sebagai band tetap. Ooohh saya jelas ogah-ogahan ke café
Long Night, tapi lebih ogah lagi dengerin Ruth ngerengek.
Sesampainya
di sana, band Damar sudah mulai membawakan satu lagu yang jujur sampai sekarang
saya ngga ngerti judulnya dan ngga pengen ngerti juga sih. Oh iya, Damar ini
pacarnya Ruth. Saya dan Ruth memilih duduk di bar, Ruth mesen cocktail yang
saya lupa apa namanya, saya pesan milkshake vanilla.
Selama waktu
menunggu minuman kami disajikan, dia terus melihat ke arah panggung, menatap
penuh cinta tapi jenis cinta yang dibalur luka. Tatapan cintanya, terasa
menyakitkan. Saya bisa merasakan Ruth sungguh setengah mati ingin memeluk
Damar, ingin mendekap Damar sangat erat, mengecup keningnya dan bertanya “kamu
kenapa, Sayang? Ceritalah.. ceritalah supaya aku paham arti diammu.”
Ketika kami
sedang hanyut menikmati penampilan Damar dan bandnya, Ruth pamit keluar dulu,
ada telepon dari kliennya. Saya menunduk membalas beberapa email dari mahasiswa
dan pesan singkat dari sahabat saya di Jakarta, hingga kemudian sebuah sapaan
mengejutkan saya.
“Nhaz ya?”
“iya.”
Kami saling
berjabat tangan untuk pertama kali, padahal Ruth dan Damar sudah pacaran sejak
5 bulan lalu, tapi saya baru kali ini bertemu Damar. Panjang ceritanya kenapa
saya ogah ketemu Damar.
“Ruth mana?”
“Terima
telfon dari klien.”
“Boleh nanya
ngga?”
“Tadi juga
bukannya pertanyaan ya?”
“hehe. Nanya
lagi.”
“Apaan?”
“Kamu
bukannya sebel ya ke aku? Kok mau dateng ke sini?”
Saya tidak
menjawab, saya meresponnya dengan memberi lirikan sinis hingga Damar sadar
bahwa saya agak muak.
“Sorry,
yauda deh, welcome and enjoy!”
Damar pergi
meninggalkan saya dan menuju ke arah panggung. Saya balik badan mulai menunduk
karena ingin kembali fokus ke handphone, suara Damar terdengar lagi.
“Eh Nhaz,
sejak terakhir kali masalahku ama Ruth, kata Ruth kamu dan temen-temen Ruth
yang lain pada benci ya sama aku? Marah karena aku nyuekin dan terkesan
nggantungin Ruth. Sorry ya. Kalian semua beneran marah? Nggak suka sama aku?
Trus kalian mau gimana sekarang?”
Saya menarik
nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan sebelum menjawab.
“Gini ya,
Mar. Kalau suka ngga suka itu relatif. Siapapun yang ngeselin ya mana ada orang
yang suka. Lagian, ini bukan tentang kami suka atau ngga suka kamu ngegituin
Ruth, tapi menurutku sikapmu ngga patut, perlakuanmu sangat tidak tepat. Dan
dengan kamu ngegituin Ruth, itu bukan mendefinisikan bagaimana kualitas Ruth,
baik sabarnya Ruth, jelek bodohnya Ruth karena mau-maunya diperlakukan
sembarangan oleh lelaki, tapi mendefinisikan bagaimana kamu dalam hubungan
kalian. Bagaimana kamu adalah lelaki yang egois, tidak bisa menghargai orang
lain, dan tidak tahu diuntung. You’re such a jerk, but my friend loves a jerk.
So what can i do?”
Damar diam,
seolah berpikir tapi tanpa hasil.
“Aku ngga
ngerti ya, Mar kamu tuh kenapa, dan niatan kamu apa ke Ruth. Tapi aku harap
suatu saat nanti kamu beneran punya cukup nyali untuk bersikap seperti
laki-laki, tegas dan berani ambil keputusan. Ruth berhak bahagia, dengan atau
tanpa lelaki brengsek macem kamu.”
Berikutnya
saya hanya melihat Damar menuju ke arah panggung, kali ini tanpa menoleh
kembali. Damar lanjut menyelesaikan penampilan bersama bandnya. Ruth kembali
duduk di sebelah saya kurang lebih 5 menit setelah saya menyudahi percakapan
dengan Damar.
Seusai
penampilan band milik Damar, Ruth mengajak saya pulang. Saya tahu Damar punya
waktu untuk menghampiri dan menyapa Ruth, satu sapaan hai dan kecupan hangat di
kedua pipi Ruth cukup rasanya untuk menjadi bekal bagi hati Ruth bertahan di
tengah pesakitan cinta yang sedang ia rasakan.
--
Pilu sekali
rasanya, melihat orang yang kita sayangi tersakiti akibat ulah orang lain.
Jauh
lebih pilu karena tidak ada yang bisa kita perbuat untuk meringankan
kesedihannya.
Setelah perih, yang bisa kita lakukan adalah berdamai dengan rasa marah, kemarahan yang tersulut akibat perlakuan tidak layak yang orang lain berikan pada orang-orang tersayang.
Toh marah tidak membuat segalanya membaik.
Berada di sampingnya, berkenan menemani saat dibutuhkan, tetap mendukung apapun keputusannya, dan tak putus mendoakan adalah hal terbaik yang bisa dilakukan.
Karena mereka berhak bahagia.
Dan mereka pasti akan berbahagia.
---