03 Juli 2015

Pada Kamu yang Tak Bisa Jadi Milikku


Aku menyerahkan ini pada takdir..

Bertemu denganmu bukan kebetulan.. 
Tapi memikirkanmu sejauh ini adalah misteri untukku.. 
Dan mungkin bagimu juga.. 
karena kita tidak pernah bisa menjawab mengapa.. 
Tapi hati kita tak pernah redam dengan gelisah.. 

Aku tidak akan mengusahakan apapun untuk ini..
Hanya akan menjalani hidupku sekarang..
Menyimpan segalanya di dalam hati dan pikiranku.. 
Untuk ini sampai kapanpun aku tak akan bisa melupakanmu..

Bahkan kau tau, aku berfikir kita adalah pasangan terhebat yg pernah ada bila kita bersama.. 

Kita gila dan menyukai hal-hal yang sama..

Kalaupun takdir mempertemukan kita lagi tetap dalam rasa yg sama.. 
Dan kalaupun kita dipersatukan harus dengan cara yang baik tanpa menyakiti siapapun.. 

Thanks for everything.. 
Mari kita masing-masing berjuang untuk keluarga kita..


Aku,



"teman yg paling kau cinta"



***

Pesan cinta dari yang terberenggut liuk asmara,
cerita dari seorang teman untuk teman yang lainnya.

02 Juli 2015

Mengharap Pada Kebetulan



Sebuah taksi berwarna emas akhirnya berhenti di depan gedung perkantoran tempat Rumi menunggu selama kurang lebih 15 menit, setelah Rumi melambaikan tangan pertanda ia sedang butuh armada taksi tersebut. Ketika taksi tepat di depan muka Rumi, tiba-tiba sebuah tangan kokoh turut memegang handle pintu taksi seolah berebut dengan Rumi dan membuat sang pemilik tangan terbatuk kecil.

“Loh Pak, kan saya duluan yang ngeberhentiin taksinya.”

“Maaf Mbak, sepertinya saya lebih dulu.”

Mereka berdua berebut masuk ke dalam taksi hingga Rumi menunjukkan wajah manyun dan kemerahan, akibat menahan sebal.

“Ya sudah begini, daripada Mbak dan saya ribut gini dan seperti Mbak tahu ini lagi macet banget, tidak mungkin ada armada taksi yang sebagus ini lagi yang akan lewat, gimana kalau kita join aja. Mbak juga sepertinya buru-buru seperi saya kan?”

Setelah berfikir ke sana kemari, akhirnya Rumi memutuskan untuk masuk dan mendiskusikan tujuan pemberhentiannya dengan lelaki yang menurutnya menyebalkan ini di dalam taksi. Setelahnya waktu berjalan beberapa menit dalam kesunyian sampai akhirnya sang lelaki mulai buka suara.

“Maaf ya, Mbak.”

Rumi yang memang sejujurnya terburu-buru dan setelah mendapat penjelasan dari sopir taksi bahwa ternyata sang sopir berhenti karena melihat lambaian tangan sang lelaki, bukannya Rumi, luluh juga Rumi dengan permohonan maaf lelaki di sebelahnya yang justru sebenarnya tak perlu meminta maaf.

“Sama-sama, Pak. Saya juga minta maaf ya. Saya Rumi. Nama Bapak siapa?”

Jawab Rumi sedikit tergagap sembari menyodorkan tangan kanannya setelah meletakkan ponselnya di pangkuan.

“Zaki. Cukup Zaki saja, tanpa Pak atau Bapak. Usia kita juga sepertinya tidak terpaut jauh.”

“Hhmm ok.”

*hening*

Rumi sedang sibuk menata berbagai file dan beberapa tas yang dia bawa sebelum akhirnya ia menyadari ternyata Zaki adalah lelaki yang hhmm cukup tampan dan menggairahkan. Sesekali Rumi mencuri pandang dan berkali-kali pura-pura memeriksa ponselnya padahal tak ada pemberitahuan apapun di sana, sebelum dengan berani ia menanyakan sesuatu pada Zaki.

“Zaki, hehehehe boleh minta pin bb nggak? Atau nomer telfon lo deh.”

Zaki menahan berbagai asumsi tentang Rumi di kepalanya, berfikir betapa uniknya perempuan satu ini. Terlalu unik dan............. lancang. Tapi tetap saja unik.

“Kamu yakin?”

 “Yakin kok. Emang kenapa?”

Rumi merasa hilang. Hilang dalam kebodohannya sendiri, tanpa sadar ia sudah melabel dirinya sendiri “anjir mureh banget gue minta minta kontak cowok”. Barangkali karena banyaknya pekerjaan dan kesibukan yang ia jalani membuatnya sedikit hilang kewarasan. Merubahnya sedikit lebih konyol dan bodoh ketika menyangkut hal yang selain pekerjaan. Barangkali. 

“Nih kamu scan barcode aja.”

“Ok, makasi ya!”

“Sama-sama.”

“Lo ngapain sih tadi buru-buru? Ada urusan mendadak?”

“Bunda saya yang seharusnya tiba di Jakarta 3 jam lagi ternyata sekarang sudah menunggu di depan pintu rumah kontrakan saya, beliau lupa memberi kabar bahwa pesawat yang awalnya delay 3 jam ternyata dialihkan ke pesawat lain, jadi ya beginilah, Bunda saya tiba lebih cepat dari seharusnya. Saya tidak bisa membiarkan Bunda saya nunggu di luar kelamaan. Kalau kamu sendiri?”

“Gue mesti balik ke rumah, ambil beberapa file dan keperluan buat nginep di kantor. Karena ada satu kerjaan dadakan gitu, gue harus lembur yaaaang biasanya bakalan sampe pagi, jadi ya daripada ntar gue balik ke kantornya kemaleman, mending gue buru-buru balik sekarang. Gitu.”

*hening*

“Rumi, kamu asli Jakarta?”

“Bukan. Gue dari Surabaya, di Jakarta mengadu nasib gitu deh. Lo?”

“Bukan Jakarta juga. Kamu lagi penempatan kerja sementara atau permanen di Jakarta?”

“Hhhmm sejak pertama diterima di Perusahaan Periklanan tempat gue kerja sih, kemungkinan besar gue bakalan menetap di Jakarta. Hehehe :D”

“Betah di sini?”

“Betah nggak betah kan harus dibetah-betahin, Zaki.”

“Kenapa nggak di Surabaya aja nyari kerjanya? Kan enak dekat sama keluarga.”

Rumi berfikir sejenak untuk menjawab pertanyaan Zaki, menimbang haruskah ia menceritakan alasannya menerima pekerjaan di Jakarta padahal sudah ada beberapa perusahaan di Surabaya yang menawarkannya pekerjaan dengan posisi yang lebih bagus dan menjanjikan. Rumi akhirnya memilih menjawab dengan jujur, karena toh Zaki bukan siapa-siapa, bukan orang di lingkaran keluarga atau teman dan kerabat yang kelak akan mempengaruhi kehidupan Rumi, toh Zaki orang asing yang yaaa paling setelah diajak bercerita, besok juga sudah lupa tentang apa yang pernah Rumi ceritakan.

“Jujur sih ya, pengennya di Surabaya aja. Kumpul sama Bapak, Ibu, Adik dan teman-teman sedari kecil. But this is life, Zaki. We need to move on. I had a bad love experience, so here i am.”

Rumi menjawab sambil mempraktekkan tanda kutip ketika menyebut kalimat move on.

“Patah hati?”

“Ehehehe iya.”

“Kenapa Jakarta yang kamu pilih? Nggak sumpek hidup di Jakarta? Udah patah hati makin stres kalau saya harus menetap di Jakarta.”

“Hhmm gue ngerasa perlu dibikin sibuk oleh sesuatu. Dan di Surabaya udah terlalu banyak kenangan yang gue lewatin, gue butuh Jakarta, kota yang menyita perhatian gue, kota yang bikin gue lari dan terus lari dari waktu ke waktu. Ya sampe kita harus rebutan taksi kayak tadi misalnya. Hehehe. Pokoknya gue harus terus sibuk sampe gue ga punya waktu buat mikirin cinta apalagi mantan.”

“Waw. Sudah berapa lama di Jakarta?”

“Satu tahun lebih dikit. Kamu?”

“Baru 4 hari. Lalu, kamu mau sampai kapan tidak ingin memikirkan cinta?”

“Hhhmmm sampe ada yang ngajak nikah kali. Hehehehe.”

*hening*

Zaki sibuk dengan pemikirannya sendiri, sibuk dengan penemuannya sendiri. Entah bagaimana proses alamnya, ia menemukan dirinya berbicara dengan orang yang selain Bunda dan rekan kerjanya, terlebih orang ini adalah perempuan. Zaki menemukan dirinya hampir menjadi orang lain, bukan dirinya yang biasanya tertutup, sangat tertutup dan pendiam.

“Kalau saya ngajak kamu nikah, mau?”

Rumi yang merasa salah dengar atau entah ia tiba-tiba berpindah ke alam lain, ia hanya bisa menoleh pasi dan menatap wajah Zaki, lelaki asing yang baru saja ditemuinya, lelaki asing yang tampan, mempesona dan (sialnya) harum juga. 
Lelaki ini mengajaknya menikah? 
Ah atau mungkin ada maksud lain? 
Tapi penilaian sepintas Rumi, Rumi merasa sedikit muak dengan sosok lelaki rapi berkemeja dan berkacamata. Ya, karena Dino, mantannya juga selalu berpenampilan demikian, dan kesehariannya di kantor, Rumi pun sering melihat pemandangan macam itu, terlalu banyak lelaki perpakaian rapi yang sering dilihatnya membuat Rumi sedikit muak dengan penampilan Zaki. 

“Lo ngelindur?”

“Kamu tinggal jawab. Bagaimana kalau saya mengajakmu menikah? Mau?”

Keheningan beberapa detik sampai akhirnya sopir memberitahukan bahwa taksi sudah tiba di tempat yang Rumi tuju.

“Eh gue turun duluan ya, dah.”


***


Rumi yang baru saja tiba di kantor pukul 21.15 WIB dan berniat mengecek profil BBM Zaki menyadari bahwa ponselnya tidak berada di tasnya. Di tempat yang seharusnya. Rumi memutuskan untuk menghubungi nomor ponselnya melalui pesawat telepon kantor dan bersyukur karena ada yang mengangkat. 

“Halo.”

“Iya.”

“Maaf, saya Rumi, saya pemilik ponsel yang sedang anda pegang. Bolehka...”

“Ini saya Zaki, HP kamu tertinggal di taksi tadi. Mau saya antar?”

“Alhamdulillah. Makasi banget ya, Zaki. Untung di lo, gue udah khawatir banget. Oh ya, nggak nggak nggak usah  dianterin, gue ambil aja deh. Alamat rumah lo mana?”


***


Setelah dua kali menekan bel pintu rumah Zaki, pemandangan yang muncul di hadapan Rumi adalah sesosok yang lahir batin membuatnya tercekat. Zaki mengenakan kaos santai polos berwarna abu-abu muda dan celana santai selutut berwarna cokelat, dengan rambut yang masih basah dan harum tubuh khas pria yang menggairahkan. Rumi tak pernah menyangka bahwa Zaki akan semenggiurkan ini jika tanpa setelan kerjanya, Zaki yang santai dan meluluhkan.

“SubhanAllah. Eh Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Maaf ya ganggu jam segini. Gue mau langsung ambil HP gue aja ya.”

“Kamu sama siapa? Naik taksi?”

“Nggak, dianterin sama temen naik mobil kantor tuh.”

“Oh ok. Masuk dulu, saya ambilkan HP kamu.”

“Nggak usah, gue tunggu di kursi teras aja. Hehehe.”

Zaki masuk dan kembali dalam beberapa menit lalu menyerahkan ponsel Rumi.

“Makasi banyak ya, Zaki.”

“Sama-sama.”

“Gue pamit dulu ya. Dah.”

“Rumi, jadi gimana? Saya serius waktu nanya ke kamu tadi, kalau saya ingin menikahimu. Bagaimana?”

Untuk pemandangan di hadapan Rumi kali ini, dalam hati Rumi akan menjawab IYA dengan lantang, tapi masih ada beberapa keraguan yang sangat menggelayuti Rumi, bagaimana jika ternyata Zaki adalah lelaki dengan kelainan seksual tertentu? Atau bagaimana jika ternyata Zaki adalah penjahat dengan topeng yang sempurna? Dan berbagai pengandaian liar lainnya.

“Ya udah gini. Kalau kita dipertemukan dalam suatu kebetulan lagi kayak kejadian taksi tadi misalnya, gue bakal mempertimbangkan pertanyaan lo. Ok? Gue balik dulu ya, Daaah.”

***


Rumi menghapus kontak BBM Zaki dari ponselnya dan  mengharap pada kebetulan.
Semoga Dewi Keberuntungan berpihak padanya.
AAMIIN.








#NulisKamisan S3 #12
thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana