24 Maret 2015

Sejak kapan?



“Sejak kapan?”

“Apanya?”

“Sejak kapan kamu tak lagi menyukai berciuman?”

“Entah.”



***

Aku menemukan diriku menelan lagi getir-getir kenyataan.
Aku mendambakan bibirmu, ingin terhanyut dalam tiap lumatanmu.
Namun beginilah akhir yang kurengkuh, sekali lagi ada yang berubah darimu.

Setelah warna kesukaanmu yang berubah,
Sekarang kegemaranmu pada ciuman.
Besok apa lagi?

Atau sebaiknya memang tak perlu ada besok bagi kita?
Agar aku tak lagi kecewa dan dirundung sedih.

Sejujurnya,
Melupakan ciumanmu itu sama saja dengan menghujamkan duri raksasa tepat di pusat hatiku.
Karena dari ingatan akan ciumanmu lah aku masih bisa bertahan hingga sekarang.
Karena ciumanmu lah yang dulu mengawali kisah kita.
Ciuman memburu dan meluluhkan darimu itu adalah lembar pertama dari cerita kita.

Bagaimana bisa aku mengabaikannya?










#SisaSelasa #1

Andai...

Lagi lagi memaksa jemari untuk menekan huruf demi huruf di layar ponsel hingga membentuk kalimat ajakan untuk bertemu, lalu kukirimkan pesan tersebut padamu. Pesan yang sudah tak boleh terkirim harusnya, entah mengapa hati dan otak selalu saja tak sejalan. Lalu di sini lah kita akhirnya.


Kamu duduk dengan tenang di depanku, aku pun sama. (mencoba) tenang.
Untung saja kita pergi ke sebuah cafe yang menyajikan penampilan musik akustik live. Jadi paling tidak diammu tak begitu membunuhku.
Sejenak setelah kita bertemu dan berbincang sangat singkat penuh basa-basi, akhirnya terpagut pada ponsel juga matamu, pun dengan jemari dan seluruh inderamu.


Aku? 
Menggulir pandang pada sekitar dan mengamati bagaimana tak enaknya berada di posisiku sekarang.

Di sebuah sudut cafe arah pukul 11 dari tempat dudukku, aku melihat 2 perempuan berhijab. Sepertinya mereka seumuran dan dengan selera pakaian yang serupa, sama-sama menyukai busana sederhana dengan warna lembut, mint dan merah muda. Mereka seperti berbincang dengan tenang sambil sesekali saling tersenyum dan tampak satu menabahkan yang lainnya dengan memberi usapan lembut di telapak tangan. Mungkin saja mereka sedang berbagi cerita hidup karena sudah terlalu kepayahan memikulnya sendiri. Mungkin.
Ada perbincangan di antara mereka. Ada interaksi di antara mereka.

Di tempat duduk yang hanya terpaut satu meja dari dua perempuan berhijab tadi, ada 3 orang lelaki, masih dengan pakaian kerja yang lengkap, kemeja dan celana kain serta sepatu formal berwarna gelap. Ketiganya memiliki potongan rambut yang berbeda namun tetap layak disebut rapi. Khas lelaki kantoran. Divisi penjualan dalam sebuah perusahaan kurasa. Mereka sedang sibuk menggerak-gerakkan tangan sambil menjelaskan tentang sesuatu pada yang lainnya. Berbicara saling menanggapi dan seringkali diiringi anggukan saling setuju atas ucapan satu sama lain. Mereka berbicara sambil sesekali memandang ke meja, mengamati sepintas beberapa lembar kertas di atas meja. Dokumen tentang pekerjaan rasanya. Lalu ada tawa-tawa ringan di sana.
Ada perbincangan di antara mereka. Ada interaksi di antara mereka.

Tepat di meja samping ketiga lelaki tadi, ada 6 orang dengan 3 orang lelaki dan 3 orang perempuan. Di meja mereka tak ada lembaran-lembaran kertas, hanya ada beberapa jenis minuman dan makanan ringan yang memenuhi meja. Perempuan satu berbicara dengan perempuan dua, membicarakan sesuatu yang sangat seru. Jelas tampak dari kedua sorot mata mereka yang berbinar cerah sambil sesekali tertawa bahagia. Tawa yang begitu hidup. Perempuan tiga berbicara dengan lelaki satu, membicarakan sesuatu yang sedikit serius sepertinya, karena keduanya nampak begitu fokus dan mengangguk-angguk kecil. Lalu lelaki dua berbincang dengan lelaki tiga sambil saling menunjukkan ponsel, saling menunjukkan sesuatu yang lucu mungkin, karena setelahnya mereka berdua tertawa jahil. Sekalipun satu meja, ada tiga jenis perbincangan dalam satu lingkar pertemanan, tak apa.  Yang pasti tak hening. 
Ada perbincangan di antara mereka. Ada interaksi di antara mereka.

Lalu memutar pandang pada pasangan di arah pukul 1 dari tempat dudukku, ada sepasang kekasih yang sedang sibuk menikmati alunan musik akustik. Sang lelaki memeluk bahu perempuan diiringi dengan belaian-belaian kecil dan sang perempuan nampak tenang menggerak-gerakkan kepala tanda terhanyut dalam alunan musik. Sesekali mereka saling memandang dan terlibat pembicaraan yang ringan namun intim, akrab, dekat.
Ada perbincangan di antara mereka. Ada interaksi di antara mereka.

Di arah pukul 3 dari tempat dudukku, ada segerombolan pemuda, sepertinya mereka dari kalangan dunia hiburan, EO mungkin. Atau penyiar radio dan para model? Ya sekitar itulah. Dari gaya pakaian mereka, sepertinya mereka adalah orang-orang dengan hidup yang kekinian. Ah begitulah. Mereka tertawa terbahak dan saling menunjuk lalu kemudian salah seorang mengeluarkan kamera dan mereka mulai mengabadikan kejadian saat itu, untuk diunggah di social media sepertinya. Setelah sekian detik seorang perempuan di antara mereka mengambil gambar, kamera diputar supaya hasil bisa dilihat bersama, tak lama kemudian terdengar suara-suara “waaah bagus bagus. Lagi foto lagi” “iya ih bagus, aku keliatan langsing”, suara-suara pertanda puas dengan hasil foto yang baru saja diambil. Sangat hidup, menyenangkan.
Ada perbincangan di antara mereka. Ada interaksi di antara mereka.

Kemudian aku menunduk, diam, melirik sesekali pada ia yang duduk di hadapanku tetap dengan ponsel di tangannya.
Ah, aku sedang meratapi keheningan di antara kita.
Dulu kita tak begini.
Dulu kita tak pernah saling bungkam dan kehabisan bahan bicara.
Selalu ada hal-hal remeh yang bisa dijadikan perbincangan.
Selalu ada alasan untuk saling melontar candaan kecil yang menyulut tawa.
Selalu ada yang hidup di antara kita.
Selalu.

Ada apa dengan kita yang sekarang?
Kamu yang tak sudi diajak berbincang namun tak keberatan diajak bertemu.
Kamu yang tak lagi berminat pada diskusi dan bertukar sudut pandang.
Kamu yang lebih memilih hanyut dalam isi ponselmu daripada hanyut ke dalam mataku.
Aku yang sudah lelah memikirkan bahan perbincangan dan memilih diam.
Aku yang enggan mengungkapkan apa yang ada di kepalaku.
Aku yang lebih memilih mengurungkan sejumlah pertanyaan padamu.
Ada apa dengan kita yang sekarang?

Adakah sesuatu yang mampu mengubah kita menjadi pribadi yang saling menyamankan dan menyenangkan sepeti dulu?



*ponselku berbunyi,  pemberitahuan tentang adanya pesan masuk pada Whatsapp mengalihkan lamunanku*




"Nhaazz aku jual cincin akik nih, kamu mau nggak? Akiknya punya kekuatan tersembunyi nih Nhaz. Hebat banget deh, bagus loooohh.. dijamin!"
  
Aku sontak tertawa. 
Sendiri.

Astaga Tuhan.
AKIK!!!
huuh..

Bisakah satu cincin akik itu memiliki kekuatan untuk menghidupkan yang mati di antara aku dan dia?
Bisakah satu cincin akik itu menciptakan perbincangan di antara kita? 
Menghidupkan interaksi di antara kita?
Bisakah?

Andai...



 




 #NulisKamisan S3 #5, foto oleh @AdhamTFusama

05 Maret 2015

Satu Tahun Bersamamu


Jika tanpa hitungan yang masuk akal, aku baru saja menghabiskan satu tahun bersamamu, Kekasih hatiku.

***

Masih jam setengah 11 malam dan aku sudah merasa kebosanan saat menyiapkan acara BBQ party dengan teman-teman sekelas. Awalnya kukira merayakan malam tahun baru dengan teman sekelas dari kampus akan sangat menyenangkan, tapi entahlah otakku begitu penuh memikirkan banyak hal hingga keriuhan teman-teman terasa tak tertangkap saraf otakku. Aku memutuskan untuk menjauh dari kerumunan dan berjalan ke arah gerbang villa dan melangkah perlahan ke arah hutan di samping villa, semacam bumi perkemahan.

Melihat sebuah batang pohon teronggok di mulut hutan, aku memilih duduk dan berulang kali memaksa hawa sejuk pegunungan memasuki paru-paruku. Sembari memejam dan sesekali lekat memandang tanah di sekitar sepatuku. Aku tersentak dari lamunan dan menjerit singkat ketika seorang lelaki berdiri tepat di depanku. Dia berdiri di sana, diam dengan tatapan misteriusnya. Mahapura mengenakan jaket warna army kesayangannya dengan kedua telapak tangan dimasukkan ke saku kanan kiri jaketnya, bersepatu converse serupa dengan milkku.

“Hai, Ra.” Sapanya dingin

“Hai. Ngagetin ih. Kamu nongol dari mana? Kok nggak kedengeran bunyinya sih?”

“Dari atas tadi abis jalan-jalan. Kamu sendiri ngapain duduk bengong? Ntar diculik loh!”

“Hahahaha kayak nakutin anak TK aja sih, diculik. Kamu juga tuh, ngapain jalan sendirian ke hutan ga ngajak yang lain? ntar nyasar tahu rasa deh!"

"Nggak mungkin lah aku nyasar, Ra. Kamu ditanya kok nggak jawab sih? Ngapain duduk di sini sendirian? cari wangsit?"

"Ngaco! Aku abis dari villa trus bosen aja di sana, masih pada ribet nyiapin jagung bakar tuh, dari tadi ga nyala-nyala apinya.”

“Ooohhh...” Mahapura menganguk-angguk sambil menatapku dengan penuh selidik.

“Kenapa ih?”

“Nggak apa. Temen-teman pada nggak nyadar kayaknya kalau kita ngilang dari kerumunan. Hahahaha. Hmmm aku boleh duduk di sebelahmu?”

“Yaelah pake izin. Duduk aja sih.” Jawabku sambil sedikit bergeser.

“Cemara, kamu kan sudah punya tunangan, ntar kalau aku maen nylonong duduk di samping kamu, kamunya ngadu lagi ke Orion.” Mahapura menanggapi ucapanku sembari duduk di sebalahku.

“Apaan sih. Mana pernah aku ngadu-ngadu. Zaman pacaran sama kamu dulu pun, emang pernah aku ngadu-ngadu? Yeeee... lagian kan Orion Cuma tunangan, bukan suami. Jadi, mau aku duduk sama kamu kek, sama siapa kek, dia juga ga punya.........” belum tuntas aku menyelesaikan kalimatku, Mahapura sudah membungkamku dengan ciumannya yang mengejutkan.

Ciuman Mahapura masih sehangat dulu, masih begitu kurindukan. Ia meletakkan kedua telapak tangannya di pipiku dan menciumku dengan tenang.

“Kamu masih bawel aja ya, Ra.”

“Maha, aku... aku... kenapa kamu nyium gini sih? Aku kan jadi....”

“Cemara, aku kangen kamu.”

“Kita nggak bisa gini, Maha. Nggak bisa. Nggak nggak nggak.”

“Kamu nggak kangen aku?” tanyanya dengan tatapan sendu yang memilukan.

“Aku kangen tapi ....”

“Jalan-jalan ke atas yuk!”

“Pasti seru jalan-jalan ke atas, tapi aku nggak bisa...”

“Ayolah!” Mahapura memegang tanganku, memintaku berdiri dan menggenggam telapak tangan kiriku. Ia mendekatkan tubuhnya dan memelukku erat. Aku bisa merasakan bagian tubuhnya begitu dekat, sangat dekat, hangat dan begitu hidup.

“Maha, kita nggak bisa melakukannya di sini, nggak sekarang.”

“Kenapa? Aku menginginkanmu, Ara. Sangat menginginkanmu.”

Mahapura memelukku sekali lagi dengan sangat erat dan aku bisa merasakan ketergegasannya. Secara akal, aku sungguh ingin melepaskan diri darinya, melawan demi rasa tanggung jawabku pada Orion, tunanganku. Tetapi ada sesuatu di dalam diriku yang terasa aneh, aku seolah terpanggil untuk mengiyakan ajakan Mahapura. Aku menginginkannya, membutuhkannya. Tubuh Mahapura terus mendesak dan aku pun mulai enggan melawan. Mahapura melihat sekeliling dan menggandengku menuju hutan pinus di depan kami.

“Ke sini, Ra.”

Ia menuntunku memasuki hutan lebih dalam dan berbelok ke kanan, menyusuri jalan setapak yang diselubungi oleh pohon pinus dan beberapa tanaman lain yang tak kukenal jenisnya. Aku terus melangkah mengikuti hingga Ia berbalik dan memandangku, ada sorot tegang namun tenang, tegas dan penuh cinta dari matanya. Sorot yang amat kurindukan.

Kami memasuki sebuah ruang sempit dengan batang-batang pohon mati dan dedaunan di atas tanah. Ada beberapa buah pinus kering dan dengan cepat Mahapura menyingkirkannya lalu melepas jaket dan menggelarnya di tanah, akupun ikut melepas jaketku dan menatanya hingga layak dijadikan alas merebah. Kami duduk dan ia kembali menciumku dengan lapar, aku pun membalas dengan sama laparnya, aku begitu mendambakan keberadaan Mahapura di tubuhku. 

Ia melucuti satu persatu pakaianku dan terus mencium hingga tanpa sadar aku sudah berbaring di sana, beralaskan jaket dan beratapkan pepohonan, merasa seperti seekor rusa betina yang tersesat, sementara Mahapura masih duduk di dekatku dengan pakaiannya yang lengkap. Memandangi sekujur tubuhku dengan binar mata yang tak bisa dijelaskan. Ia memastikan aku terbaring sempurna dan mulai perlahan-lahan melepaskan ikat pinggangnya. Aku tak ingin membantunya. Aku selalu menikmati saat-saat melihatnya melepas satu-persatu yang menempel di tubuhnya. Aku hanya terbaring diam dan memandanginya. 

Bagian tubuh Mahapura sudah terbuka di hadapanku. Perlahan-lahan ia menyentuhku, membelai dan memainkan puncak payudaraku. Menyusuri dada, perut dan pinggulku dengan bibirnya lalu menghentikan petualangan bibirnya di antara pahaku. Ia masih membuatku merasa nyaman dengan pemanasan-pemanasan kecil hingga kemudian aku merasakan ketelanjangannya saat ia mulai memasuki tubuhku. Untuk beberapa saat, ia tak melakukan apapun. Tak ada entakan-entakan pinggul. Ia membiarkan miliknya diam di dalamku, hanya bergetar mendamba. Lalu tanpa sadar, ia sudah melakukannya dengan irama yang menyenangkan. Ketika ia mencapai orgasme yang sangat kurindukan, ada bagian diriku yang kembali bernyawa, ada yang terjaga dalam tubuhku, rasa haus akan pemuasan seperti jilatan-jilatan api yang kian terang dan membuatku menyadari akan kebutuhan lahiriah yang teramat nikmat. Sensasi yang baru saja Mahapura ciptakan serupa alarm bagi tubuhku untuk berani meminta, merengek menginginkan pemuasan yang sama besarnya dengan yang baru saja ia dapatkan. Ia mengikuti kemauanku, membiarkan aku hanyut dalam rintihan dan teriakan kecil yang liar, hingga akhirnya akupun mencapai titik puas yang kuharapkan.

Mahapura perlahan menarik dirinya keluar dariku, membuatku merasakan ada lubang menganga di tubuhku. Aku sudah terlanjur terjaga, ia sudah terlanjur menghidupkan gairahku. Aku bergelayut memohon agar ia tak melepaskan dirinya dariku. Mahapura menurutiku, sekali lagi. Aku bisa merasakan bagian tubuhnya bergejolak di dalamku, bergerak dan berayun sekali lagi dengan irama yang memukau. Aku merasakan pinggulnya terentak-entak di atas pinggulku, aku memeluknya dan menggilai wangi yang dikeluarkan oleh tubuhnya. Mahapura masih bergerak teratur dengan irama yang semakin cepat dan semakin cepat lalu berakhir dengan tekanan yang mendalam. Kami mencapai titik itu bersamaan, lalu saling berpelukan dengan sangat erat, membiarkan miliknya terdiam di dalam tubuhku. Ada keheningan yang sakral di sana. Lalu...

*DHUUAAAAR*

*DHUAAR*

*DHUAAAR*




Rentetan kembang api mulai memenuhi langit, aku melihatnya melalui sela-sela dedauan dari pohon di atas kami. Kembang api dengan kecantikannnya yang megah menandakan kami baru saja memasuki tahun 2015. Mahapura tak mengubah posisinya, ia tetap terdiam, hanya lehernya yang sedikit mendongkak turut menikmati keindahan kembang api.  
             
Aku mengecup lehernya dengan lembut lalu Ia memandangku dengan penuh kasih sayang.

“Selamat tahun baru, Cemara. Malam ini tak akan pernah kulupakan. Satu tahun bersamamu.”

“Selamat tahun baru, Mahapura. Terima kasih untuk satu tahun yang baru saja kita lewati.”

“Aku masih mencintaimu. Sangat mencintaimu.”

“Aku pun, Maha. Andai Tuhan kita tak berbeda, minggu depan aku pasti masih di pelukanmu. Bukan berdiri di altar dengan Orion.”

***

Kami membuka tahun 2015 dengan saling memeluk dan menghapus air mata. Saling mendoakan dalam hening. Saling mengadu pada Tuhan masing-masing semoga roda nasib kiranya dapat diputar, agar seutuhnya memihak pada kami.








 #NulisKamisan S3 #4, foto oleh @Caecenary

thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana