Jika tanpa hitungan
yang masuk akal, aku baru saja menghabiskan satu tahun bersamamu, Kekasih
hatiku.
***
Masih jam setengah 11
malam dan aku sudah merasa kebosanan saat menyiapkan acara BBQ party
dengan teman-teman sekelas. Awalnya kukira merayakan malam tahun baru dengan
teman sekelas dari kampus akan sangat menyenangkan, tapi entahlah otakku begitu
penuh memikirkan banyak hal hingga keriuhan teman-teman terasa tak tertangkap
saraf otakku. Aku memutuskan untuk menjauh dari kerumunan dan berjalan ke arah
gerbang villa dan melangkah perlahan ke arah hutan di samping villa, semacam
bumi perkemahan.
Melihat sebuah batang
pohon teronggok di mulut hutan, aku memilih duduk dan berulang kali memaksa
hawa sejuk pegunungan memasuki paru-paruku. Sembari memejam dan sesekali lekat
memandang tanah di sekitar sepatuku. Aku tersentak dari lamunan dan menjerit
singkat ketika seorang lelaki berdiri tepat di depanku. Dia berdiri di sana,
diam dengan tatapan misteriusnya. Mahapura mengenakan jaket warna army
kesayangannya dengan kedua telapak tangan dimasukkan ke saku kanan kiri
jaketnya, bersepatu converse serupa dengan milkku.
“Hai, Ra.” Sapanya
dingin
“Hai. Ngagetin ih.
Kamu nongol dari mana? Kok nggak kedengeran bunyinya sih?”
“Dari atas tadi abis
jalan-jalan. Kamu sendiri ngapain duduk bengong? Ntar diculik loh!”
“Hahahaha kayak
nakutin anak TK aja sih, diculik. Kamu juga tuh, ngapain jalan sendirian ke
hutan ga ngajak yang lain? ntar nyasar tahu rasa deh!"
"Nggak mungkin
lah aku nyasar, Ra. Kamu ditanya kok nggak jawab sih? Ngapain duduk di sini
sendirian? cari wangsit?"
"Ngaco! Aku abis
dari villa trus bosen aja di sana, masih pada ribet nyiapin jagung bakar tuh,
dari tadi ga nyala-nyala apinya.”
“Ooohhh...” Mahapura
menganguk-angguk sambil menatapku dengan penuh selidik.
“Kenapa ih?”
“Nggak apa.
Temen-teman pada nggak nyadar kayaknya kalau kita ngilang dari kerumunan.
Hahahaha. Hmmm aku boleh duduk di sebelahmu?”
“Yaelah pake izin.
Duduk aja sih.” Jawabku sambil sedikit bergeser.
“Cemara, kamu kan
sudah punya tunangan, ntar kalau aku maen nylonong duduk di samping kamu,
kamunya ngadu lagi ke Orion.” Mahapura menanggapi ucapanku sembari duduk di
sebalahku.
“Apaan sih. Mana
pernah aku ngadu-ngadu. Zaman pacaran sama kamu dulu pun, emang pernah aku
ngadu-ngadu? Yeeee... lagian kan Orion Cuma tunangan, bukan suami. Jadi, mau
aku duduk sama kamu kek, sama siapa kek, dia juga ga punya.........” belum
tuntas aku menyelesaikan kalimatku, Mahapura sudah membungkamku dengan
ciumannya yang mengejutkan.
Ciuman Mahapura masih
sehangat dulu, masih begitu kurindukan. Ia meletakkan kedua telapak tangannya
di pipiku dan menciumku dengan tenang.
“Kamu masih bawel aja
ya, Ra.”
“Maha, aku... aku...
kenapa kamu nyium gini sih? Aku kan jadi....”
“Cemara, aku kangen
kamu.”
“Kita nggak bisa gini,
Maha. Nggak bisa. Nggak nggak nggak.”
“Kamu nggak kangen
aku?” tanyanya dengan tatapan sendu yang memilukan.
“Aku kangen tapi ....”
“Jalan-jalan ke atas
yuk!”
“Pasti seru
jalan-jalan ke atas, tapi aku nggak bisa...”
“Ayolah!” Mahapura
memegang tanganku, memintaku berdiri dan menggenggam telapak tangan kiriku. Ia
mendekatkan tubuhnya dan memelukku erat. Aku bisa merasakan bagian tubuhnya
begitu dekat, sangat dekat, hangat dan begitu hidup.
“Maha, kita nggak bisa
melakukannya di sini, nggak sekarang.”
“Kenapa? Aku
menginginkanmu, Ara. Sangat menginginkanmu.”
Mahapura memelukku
sekali lagi dengan sangat erat dan aku bisa merasakan ketergegasannya. Secara
akal, aku sungguh ingin melepaskan diri darinya, melawan demi rasa tanggung
jawabku pada Orion, tunanganku. Tetapi ada sesuatu di dalam diriku yang terasa
aneh, aku seolah terpanggil untuk mengiyakan ajakan Mahapura. Aku
menginginkannya, membutuhkannya. Tubuh Mahapura terus mendesak dan aku pun mulai enggan
melawan. Mahapura melihat sekeliling dan menggandengku menuju hutan pinus di
depan kami.
“Ke sini, Ra.”
Ia menuntunku memasuki
hutan lebih dalam dan berbelok ke kanan, menyusuri jalan setapak yang
diselubungi oleh pohon pinus dan beberapa tanaman lain yang tak kukenal
jenisnya. Aku terus melangkah mengikuti hingga Ia berbalik dan memandangku, ada
sorot tegang namun tenang, tegas dan penuh cinta dari matanya. Sorot yang amat
kurindukan.
Kami memasuki sebuah
ruang sempit dengan batang-batang pohon mati dan dedaunan di atas tanah. Ada
beberapa buah pinus kering dan dengan cepat Mahapura menyingkirkannya lalu
melepas jaket dan menggelarnya di tanah, akupun ikut melepas jaketku dan
menatanya hingga layak dijadikan alas merebah. Kami duduk dan ia kembali
menciumku dengan lapar, aku pun membalas dengan sama laparnya, aku begitu
mendambakan keberadaan Mahapura di tubuhku.
Ia melucuti satu
persatu pakaianku dan terus mencium hingga tanpa sadar aku sudah berbaring di
sana, beralaskan jaket dan beratapkan pepohonan, merasa seperti seekor rusa
betina yang tersesat, sementara Mahapura masih duduk di dekatku dengan
pakaiannya yang lengkap. Memandangi sekujur tubuhku dengan binar mata yang tak
bisa dijelaskan. Ia memastikan aku terbaring sempurna dan mulai perlahan-lahan
melepaskan ikat pinggangnya. Aku tak ingin membantunya. Aku selalu menikmati
saat-saat melihatnya melepas satu-persatu yang menempel di tubuhnya. Aku hanya
terbaring diam dan memandanginya.
Bagian tubuh Mahapura
sudah terbuka di hadapanku. Perlahan-lahan ia menyentuhku, membelai dan
memainkan puncak payudaraku. Menyusuri dada, perut dan pinggulku dengan bibirnya lalu
menghentikan petualangan bibirnya di antara pahaku. Ia masih membuatku merasa
nyaman dengan pemanasan-pemanasan kecil hingga kemudian aku merasakan
ketelanjangannya saat ia mulai memasuki tubuhku. Untuk beberapa saat, ia tak
melakukan apapun. Tak ada entakan-entakan pinggul. Ia membiarkan miliknya diam
di dalamku, hanya bergetar mendamba. Lalu tanpa sadar, ia sudah melakukannya
dengan irama yang menyenangkan. Ketika ia mencapai orgasme yang sangat kurindukan,
ada bagian diriku yang kembali bernyawa, ada yang terjaga dalam tubuhku, rasa
haus akan pemuasan seperti jilatan-jilatan api yang kian terang dan membuatku
menyadari akan kebutuhan lahiriah yang teramat nikmat. Sensasi yang baru saja
Mahapura ciptakan serupa alarm bagi tubuhku untuk berani meminta, merengek
menginginkan pemuasan yang sama besarnya dengan yang baru saja ia dapatkan. Ia
mengikuti kemauanku, membiarkan aku hanyut dalam rintihan dan teriakan kecil
yang liar, hingga akhirnya akupun mencapai titik puas yang kuharapkan.
Mahapura perlahan
menarik dirinya keluar dariku, membuatku merasakan ada lubang menganga di
tubuhku. Aku sudah terlanjur terjaga, ia sudah terlanjur menghidupkan gairahku.
Aku bergelayut memohon agar ia tak melepaskan dirinya dariku. Mahapura
menurutiku, sekali lagi. Aku bisa merasakan bagian tubuhnya bergejolak di
dalamku, bergerak dan berayun sekali lagi dengan irama yang memukau. Aku
merasakan pinggulnya terentak-entak di atas pinggulku, aku memeluknya dan
menggilai wangi yang dikeluarkan oleh tubuhnya. Mahapura masih bergerak teratur
dengan irama yang semakin cepat dan semakin cepat lalu berakhir dengan tekanan
yang mendalam. Kami mencapai titik itu bersamaan, lalu saling berpelukan
dengan sangat erat, membiarkan miliknya terdiam di dalam tubuhku. Ada
keheningan yang sakral di sana. Lalu...
*DHUUAAAAR*
*DHUAAR*
*DHUAAAR*
Rentetan kembang api
mulai memenuhi langit, aku melihatnya melalui sela-sela dedauan dari pohon di
atas kami. Kembang api dengan kecantikannnya yang megah menandakan kami baru
saja memasuki tahun 2015. Mahapura tak mengubah posisinya, ia tetap terdiam,
hanya lehernya yang sedikit mendongkak turut menikmati keindahan kembang api.
Aku mengecup lehernya
dengan lembut lalu Ia memandangku dengan penuh kasih sayang.
“Selamat tahun baru,
Cemara. Malam ini tak akan pernah kulupakan. Satu tahun bersamamu.”
“Selamat tahun baru,
Mahapura. Terima kasih untuk satu tahun yang baru saja kita lewati.”
“Aku masih mencintaimu.
Sangat mencintaimu.”
“Aku pun, Maha. Andai
Tuhan kita tak berbeda, minggu depan aku pasti masih di pelukanmu. Bukan
berdiri di altar dengan Orion.”
***
Kami membuka tahun
2015 dengan saling memeluk dan menghapus air mata. Saling mendoakan dalam
hening. Saling mengadu pada Tuhan masing-masing semoga roda nasib kiranya dapat
diputar, agar seutuhnya memihak pada kami.