Mungkin mereka benar,
“Tak akan ada logika yang berfungsi dengan baik saat kita sedang jatuh
cinta.”
Akupun membuktikannya.
Berbalut busana kerja tanpa sepatu
dan rambut sebahu yang tergerai tak beraturan, aku memutuskan untuk memarkirkan
mobilku disini, tempat biasa.
Malam yang sama, tetap gelap,
tetap senyap, tetap sendiri.
Secangkir kopi yang mulai
kehilangan uap panasnya masih setia menemaniku.
Lagu-lagu dari radio dengan genre
beragam yang terputar secara acak juga masih setia menemaniku.
04 September 2013, Pukul 23:34 WIB, Rabu yang kelabu.
Aku menunggu ia keluar dari
rumahnya,
seperti malam-malam sebelumnya.
Berharap ia akan keluar dari pintu
belakang rumahnya,
berdiri dan mondar-mandir di taman
belakang, taman kecil yang hanya berisi rerumputan rapi dengan satu tanaman setinggi
pinggul yang sepertinya berjenis tanaman hias,
lalu duduk di kursi kayu sambil
menghisap rokok dari kemasan berwarna putih entah merk apa.
Terlalu malam untuk lelaki
kantoran sepertinya,
terlalu malam untuk masih memakai
setelan kerja kemeja agak kusut dengan lengan tergulung sesiku dan celana bahan.
Terdiam seolah otaknya tak boleh
istirahat sejenak.
Selalu saja begitu saat aku melihatnya.
Tapi sepertinya tidak untuk malam ini.
Tubuhku sedang menggigil dipeluk
rindu akan sosoknya,
Ia yang namanya saja aku tak tahu.
Ia yang penampilannya selalu
membuatku terpaku.
Ia yang sorot matanya terlalu
teduh.
Ia yang membuat saraf penasaranku
terus terpacu.
Ia yang berhasil menyalakan lagi
gejolak di hatiku.
Lelaki ini, bertubuh tinggi, cukup
sepadan dengan tinggiku sekalipun aku sedang mengenakan high-heels.
Tak terlalu kurus, tak juga gemuk,
kukatakan saja pas untuk dipeluk.
Berkacamata, bingkainya berwarna
gelap dengan dengan bentuk kaca simple ukuran kecil, sesuai untuk membantu mata indahnya bekerja.
Lengannya kokoh, pasti nyaman
untuk kepalaku bersandar.
Berjanggut tipis dan rapi, tanpa
kumis.
Hidungnya mancung, mempertegas
ketampanan sederhananya, khas lelaki Jawa.
Kurang lebih 3 bulan yang lalu,
Aku mengetahui dan memutuskan
untuk memperhatikannya, sungguh tanpa rencana.
Kebiasaanku saat penat, berkeliling
dari satu perumahan ke perumahan lainnya yang akhirnya membawaku berhenti di
perumahan ini.
Cluster kelas menengah
keatas berdesain rumah minimalis dominan warna abu muda dan putih.
Itu adalah hari sepulangku lembur
di kantor, lelah tapi butuh hiburan dan masih enggan merebahkan diri di atas
kasur, hobby inilah yang akhirnya kulakukan,
berkeliling, mengamatai kegiatan
yang jarang terekam banyak orang melalui jelajah perumahan. Kusebut saja
begitu.
Setelah mengelilingi sebagian
besar bagian perumahan ini, saatnya aku melewati blok terakhir
sebelum gerbang keluar perumahan,
aku melihatnya berdiri gontai di taman belakang rumahnya, dan
kuputuskan untuk memberhentikan mobilku di sudut jalan, memperhatikan
gerak-geriknya.
Baru kali ini aku memperhatikan seseorang dan bertahan hingga
beberapa bulan tanpa sedikitpun berniat menyapa dan berkenalan dengannya.
Ini bukan
diriku.
Aku tak pernah sebodoh ini.
Pukul 23:56 WIB, masih Rabu yang sepertinya benar-benar kelabu.
Hampir pukul 12 dini hari, dan aku menyerah menunggunya malam ini,
sebelum...
*tok tok tok tok*
Seseorang menggedor kaca jendela
mobilku dan seketika kubuka,
Tuhan sepertinya sengaja membuat
jantungku berolahraga lebih keras, karena
Lelaki itu menatapku.
Tersenyum.
“hhmm.. ya?” tanyaku dengan
tingkah tak terkontrol, gugup, canggung, malu, dan pastinya merasa bodoh.
“nama saya Uki.” Ia menjulurkan
tangannya melewati jendela mobilku seolah ingin berjabatan. dan ya,
cukup membuat hatiku melonjak bahagia.
Oh Tuhan, rencana gila apalagi
ini?
karena sepertinya,
aku jatuh cinta,
tanpa logika.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
By:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar