15 Oktober 2014

Ketika Harus Memilih. (1)


14 Oktober 2014, 14.34 WIB, Restoran cepat saji di sebuah mall.

bersyukur akhirnya aku menemukan meja untuk makan siang setelah berkeliling hingga lelah di mall ini. meja untuk 2 orang sedang penuh, dan meja untuk 4 orang inilah yang akhirnya disediakan untuk kami. pelayan muda yang cantik dan ramah baru saja mencatat pesanan kami dan selang 20 menit kemudian semua pesanan sudah tersaji dengan lezat dan segar di hadapan kami. kami sedang makan sambil sesekali berbincang dan bercanda sebelum seseorang menyapa kami yang kemudian membuat organku seolah berhenti bekerja hingga aku menjatuhkan garpu ke piring dan menyisakan bunyi nyaring penyita perhatian orang-orang di sekitar.

"selamat siang, Rosa." Ia menyapaku dengan senyum khas memikatnya itu. "Ros, hei..." sapanya sekali lagi sembari menyentuh pelan bahuku untuk membuyarkan keterkejutanku.

"eh sorry. iya iya, siang Ian. apa kabar?" akhirnya aku menanggapi sapaannya

"baik, alhamdulillah baik. kamu sehat kan ya?"

"yep. seperti yang kamu lihat."

"boleh aku gabung? aku lagi nyari tempat makan juga tadi dan nggak sengaja lihat kalian di sini."

"silahkan."

"dan hallo, siapa ini?" Adrian menyadari bahwa aku tak sedang sendirian di sini.

"ini Lily." jawabku sesingkat mungkin. "Lily sayang, ayo salim dulu." sambil mengusap lembut pipi Lily, aku memintanya untuk menyapa Adrian.

setelah Lily mencium telapak tangan Adrian, ia kembali berkonsentrasi pada pizza di depannya. ia anak yang pemalu dan tak pernah banyak bicara kecuali dengan orang yang sangat dekat denganya.

"wah asik nih saya bakal makan siang bareng dua perempuan cantik. hehehe oh ya bentar saya pesan makan dulu ya." setelah memanggil pelayan dan memesan beberapa menu tambahan, Adrian kembali fokus padaku.

"ini anak siapa Ros? keponakan ya?"

ya Tuhan, entah dengan cara apapun kumohon kuatkanlah hati dan kesabaranku dalam menghadari Adrian sekali lagi. kuatkanlah...

"dia anakku. cantik ya?" jawabku sambil tersenyum dan tetap sebisa mungkin tampak tenang

"oh kamu sudah menikah lagi? kok nggak kasih tahu aku sih?"

"seriously, Ian? you asked me that question? don't you see yourself in her? dia anakku, Ian dan seharusnya dia juga anak kita. K I T A, Ian. she's your daughter..... but no. she's mine. just mine." jawabku dengan emosi yang mulai bergejolak. "gila ya, kamu sama sekali nggak lihat kalian mirip? aneh banget. padahal setiap orang yang mengenal kita pasti menyimpulkan betapa Lily mirip denganmu, tapi woow kamu justru tak menyadarinya. bahkan mengira ia adalah anakku dengan lelaki lain."

aku melihat Adrian membeku tanpa berkedip dengan memakukan pandangan pada Lily. melihatnya mengunyah pizza hingga pipinya membulat karena kepenuhan. aku melihat mata Adrian perlahan basah oleh air mata. entah karena terharu, bersedih, atau mungkin matanya panas karena terlalu lama menahan agar tak berkedip.

"kenapa kamu nggak bilang, Ros? apa maksudnya?"

"kenapa aku harus bilang, Ian? apa gunanya?"

"ada gunanya, Rosa. ada. kalau aja kamu bilang ada Lily, mugkin aku ak...."

"kamu apa? meninggalkan perempuan sekali lagi dan kembali padaku? aku nggak bilang karena aku nggak ingin merasa membutuhkanmu, Ian. aku sudah cukup bahagia dengan diam dan menganggapmu tiada." akhirnya aku benar-benar tak kuasa menahan air mataku.

"Bu, Ibu kenapa nangis? pulang yuk Bu, Lily udah kenyang kok." Lily menyadari kesedihanku dan menggenggam tanganku lalu memaksaku untuk pulang.

setelah meninggalkan beberapa lembar uang, aku dan Lily berpamitan dan meninggalkan Adrian yang masih duduk membeku begitu saja. aku merasa dunia yang pernah perlahan-lahan kutata dan rapikan seketika dihancurkan dengan begitu mudahnya oleh kehadiran Adrian yang tiba-tiba. 

sekian lama aku berusaha melupakannya, dan kini ketika ia datang lagi di hadapanku, aku menyadari bahwa cintaku padanya sama sekali tak berubah. sebesar apapun kebencian yang hatiku rasakan, ternyata masih  jauh lebih kuat cintaku. setelah ia menghancurkan duniaku hingga tak berwujud, kenapa aku masih saja begitu mencintainya? masih saja aku berharap iapun merasakan cinta yang sama padaku. ya Tuhan bantu aku untuk tetap tegar menghadapinya, kuatkan aku untuk sekali lagi berusaha mengabaikannya.



"Om tadi siapa, Bu?" tanya Lily mengejutkanku.



ya Tuhan sakit sekali rasanya aku tak mampu membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Lily. pertanyaan yang jawabannya tercekat pahit di dasar hatiku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana