Ah sayang, denting ini kembali lagi membuatku takut. Takut mulai
mendengar dan akhirnya harus melupakan. Belum cukup pandai aku mengabaikan
ingatan akan suara-suara tawa bahagia mereka. Mereka yang setelah lelah
berbentur kegiatan sehari-hari akhirnya menggelar canda bersama teman, sahabat,
keluarga, atau mungkin rekan kerja.
Cafe ini seharusnya menyuguhkan canda, riuh tawa, dan aura
bahagia. Seharusnya.
Tapi bagaimana bisa aku meresapi semua itu, jika cincin
darimu masih berada di jari manisku, cincin yang kamu sematkan. Cincin yang
seolah tiap bagiannya telah berhasil mengunci indera perasaku akan bahagia,
hanya mampu membuka lara dan pedih.
Sebegininyakah permainan Tuhan atas aku dan
cintaku padamu?
Entah kali ke berapa aku mengunjungi tempat ini, dan untuk
kesekian kali itu pula aku gagal memahami maksud mereka yang bertingkah
bahagia, berdamai dengan beban hidup. Aku gagal berbahagia. Aku gagal melupakanmu, juga melupakan
kita.
23 September 2010; Comedy Kopi, 19:09
“Maukah kamu menjadi tawa bahagia dalam hidupku?
Menghabiskan usia di pangkuan cintaku?
Meletakkan ragu atas masa depanmu?
Membiarkanku menjadi imam terbaikmu?”
pinta Arga seolah ia lupa bahwa aku masih memiliki jantung
yang butuh dipompa dengan normal. Arga memintaku menjadi istrinya, tanpa
bertunangan, bahkan berpacaran. Ia berhasil membuat jantungku seolah kehilangan
detak, menghentikan tawaku dalam sepersekian detik. Membuyarkan raguku.
Arga menyodorkan cincin perak dengan permata dan kotak pembungkus berwarna sama, kuning, warna kesukaanku.
“Ga.. aku tahu ini Comedy Kopi, tempatnya komedi pada
ngumpul disini, kandangnya orang ketawa haha hihi, tapi becandanya jangan
lucu-lucu gini ah, jadi bingung kan mau ketawanya gimana.”
Aku masih kebingungan, bingung dengan candaan Arga yang
mulai mencabut kewarasanku. Bingung, bagaimana bisa Arga melontarkan lamarannya
di sebuah cafe yang, demi Tuhan, seolah tak ada satupun orang yang serius
disini. Ini Comedy Kopi, tempat semua otak-otak meregangkan penat, melempar
candaan satu lalu ditimpali dengan candaan lainnya dan diakhiri dengan tawa terbahak-bahak. Ini tempat yang sungguh jauh dari romantis. Hanya ada
canda tawa dan guyonan tengah kota disini.
“Luna, aku serius. Aku ingin berhenti di pelukanmu. Aku ingin
kamulah yang menjadi pelabuhan hatiku yang terakhir. Maukah kamu menjadi
istriku?”
....................
27 Juli 2013; Comedy Kopi, 22:12
Lamunanku dibuyarkan oleh riuh tepuk tangan pengunjung cafe
ini. Mereka tertawa, bahagia, setelah hampir seluruh pelayan cafe ini bergoyang
bersama didepan meja kasir diringi dengan lagu dangdut paling anyar. Seolah menjadi ritual “anti penat”, seluruh
karyawan berbahagia dan menularkannya pada para pengunjung. Kecuali aku.
Hanya tepuk tangan ringan dan senyum tipis yang terbentuk
dari bibirku.
Hanya lekuk kepayahan yang samar tergambar di wajahku.
Kepayahan melupakan Arga dan kenangan indahnya.
Kepayahan melupakan Arga yang sudah tenang disisiNya.
Kepayahan berusaha bahagia ditengah mereka yang juga nampak
bahagia.
Kepayahan melanjutkan hidup dengan seimbangnya kehidupan,
ada duka ada suka.
Kepayahan menelan kenyataan bahwa di tempat sebising inipun,
aku masih saja hampir mati dikoyak sepi.
Surabaya,