16 Januari 2014

hari ini ..


Surabaya, 27 Desember 2013

Banyak orang yang bilang hari kelahiran adalah hari baru. Kita memulai satu babak baru dalam hidup kita dengan doa dan harapan serta kejutan-kejutan yang baru.


Hari ini, adalah hari kelahiranku. 
Bahagia? Ah sudah pasti. jangan lagi tanyakan itu.

Membuka mata dengan perasaan yang dipenuhi letusan bahagia.

Menghirup nafas dengan udara yang sepertinya 200 kali lipat lebih bersih dan segar dari biasanya.

Meregangkan tubuh lalu bangkit, membuka jendela kamar dan langsung memandang riuh ibu-ibu sedang memilih belanjaan dari penjual sayur keliling yang kebetulan sedang berhenti di depan rumah. 
Ada Ibuku di kerumunan itu, hhmm semoga saja ibu memasak sayur bening dan dadar jagung favoritku hari ini. Masakan favorit di hari spesial. Ah nikmatnya.


Pagi ini aku benar-benar merasa dirasuki malaikat pembawa semangat.

Mandi dan sarapan juga kulakukan dengan semangat yang melebihi para pejuang di tahun 1945.

Ibu benar-benar wanita terhebat. Beliau benar memasak sayur bening dan dadar jagung untukku sarapan. Setelahnya Ibu memberikan kue ulang tahun, memintaku berdoa sebelum aku meniup lilin dengan angka 19. Aku mengecup gemas kedua pipi Ibu dan berpamitan pergi ke kampus.


“aku kuliah dulu ya, Bu. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Hati-hati, Aina.”



Pukul 17.09 WIB

Angga, lelaki pujaanku mengajakku keluar malam ini. Sepertinya ia akan mengajakku malam malam di cafe favorit kita, Ladang Coffee. Sebenarnya cafe itu bukanlah cafe yang terlalu manis. Desain bangunannya juga sangat biasa saja. Yang aku dan Angga sukai dari cafe itu adalah karena di sana kami pertama kali bertemu. Love in the first sight, kamipun saling jatuh hati sejak saat itu hingga hari ini, hhmm tak terasa sudah 5 tahun lebih. Angga sangat menyukai kopi luwak di sana, dan aku sangat menggilai hazelnut latte.

Hari ini, aku meminta bertemu langsung di sana. Lebih praktis daripada ia harus memutar mobilnya dari Gresik menuju rumahku di Jalan Keputih lalu kembali lagi menuju tengah kota ke arah Ladang Coffee. Lagipula hari ini sudah menuju akhir bulan, Angga pasti sibuk dengan pekerjaannya di kantor, jadi lebih baik aku tak menambah lelahnya dengan memintanya menjemputku dahulu.


Rambut pendek yang kubiarkan tergerai dengan satu sematan jepit berwarna hijau di bagian kanan, aku melengkapi riasan wajahku dengan sedikit lipstik warna pink lembut. Dress selutut dengan motif bunga ditambah dengan cardigan warna hijau tosca ini kurasa sempurna untukku bertemu dengannya malam ini. Kupilih sepatu tanpa hak berwarna sama dengan cardiganku. Ah lengkap sudah persiapanku.




Pukul 19.23 WIB, Ladang Coffee Surabaya.
*triiiing*


Bel berbunyi, pertanda pintu cafe sedang terbuka atau tertutup.

Aku memasuki cafe dan langsung menemukan sosok Angga di sudut kiri cafe. Ia sangat tampan malam ini. Rambutnya jauh lebih rapi dari biasanya. Pakaiannya sungguh sangat sempurna, ia mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang tergulung rapi dan celana kain khas pria kantoran yang nampak pas di tubuhnya. Angga sangat tampan, dan wooppss ia sedang tak memakai kaca mata seperti biasanya.

Ia tersenyum manis menyambutku dan mengecup keningku penuh sayang. Memandangiku sejenak.


“Selamat ulang tahun, Ainaku yang cantik.”


Di meja sudah kulihat dua cangkir minuman, 2 piring pasta, dan sebuah kue tart vanilla dangan hiasan beberapa buah segar di atasnya, ada sebuah lilin yang sedang menyala kecil di sana. Angga memintaku duduk dan segera meniup lilinku.


“Makasi ya, Sayang.”


“Sama-sama. Semoga kamu bahagia, hari ini, esok, dan selamanya. Apapun yang terjadi, di manapun kamu, bagaimanapun keadaanmu, semoga kamu, Aina Talita, wanita pujaanku selalu bahagia. Selalu panjang umur, melebihi umurku. Dan menjadi wanita sukses kebanggaanku. Aamiin.”


“aamiin.”


“aku tinggal bentar ya, Sayang.”


“iya. Cepet balik ya..”


Angga tersenyum dan melangkah menuju belakang cafe. Ah apa-apaan ini, baru juga bertemu, Angga sudah meninggalkanku ke toilet.


..... 10 menit


..... 20 menit


..... 30 menit


Angga di mana?

Aku gelisah. Sangat gelisah. Seketika ada bagian di jantungku yang seolah berhenti. Entah atas sebab apa. Aku berulang kali menoleh dan memandangi sekitar. Tapi hanya tatapan tak acuh yang kutangkap dari para pengunjung cafe. Aku berulang kali menghubungi ponsel Angga, tak tersambung. Angga ke mana? Angga ke mana?

Baiklah, aku harus tenang. Harus tenang.

Aku menuju ke belakang cafe dan semua pintu toilet  terbuka. Aku tak menemukan sosok Angga di manapun di sekitar cafe. 
Angga meninggalkanku? Sendiri di cafe ini? TAK MUNGKIN. 
Aku memutuskan untuk kembali ke kursiku dan menunggunya. Ia pasti punya alasan.

Sial. Ponselku mati, kehabisan daya dan aku lupa membawa chargernya. Sial sial sial.


..... 1 jam


..... 1 jam 30 menit



Waktu terus berjalan, dan aku masih sendiri dalam bimbang. Ah aku teringat film Meteor Garden 2. Saat Dao Ming Si dan Shan Cai terpisah, Ming Si berpesan pada Shan Cai setelah akhirnya mereka kembali bertemu, 


“berjanjilah, kamu akan tetap menungguku di tempat terakhir kita bertemu jika kelak aku menghilang. Jangan pergi dan beranjak ke manapun. Tetaplah menungguku. Jangan meninggalkanku.”


Ya. Aku akan berpura-pura memposisikan diri sebagai Shan Cai, supaya Angga tak bingung mencariku. Aku akan di sini menunggunya.


“maaf kak, sudah hampir pukul 2, kami mau tutup. Adakah lagi yang ingin dipesan?” sapaan waitress membuyarkan lamunanku.


“ah, hmmm iya mbak, maaf ya maaf. Saya minta billnya ya. Makasi”


Apa? Sudah 6 jam lebih aku menunggu, dan Angga masih belum kembali. Ya Tuhan, kembalikan Angga. Kembalikan Ia.


“ini kak.”


“loh mbak, kok pesanannya cuma satu hazelnut latte dan satu pasta? Yang lainnya nggak masuk?”


“ah maaf kak, kami cek ulang ya. Mohon tunggu sebentar.”


Beberapa waktu kemudian waitress itu mendatangi mejaku dan menjelaskan bahwa aku hanya memesan satu cangkir hazelnut latte dan sepiring pasta. Tak ada cangkir dan piring lain. Ia juga memberitahukan padaku bahwa daritadi aku hanya seorang diri, tak ada siapapun di hadapanku. Tak ada Angga. Darinya aku juga tahu bahwa beberapa menit setelah aku duduk sejak kedatanganku, aku tersenyum sendiri, berbicara sendiri, dan meniup lilin hiasan meja. Bukan kue ulang tahunku. Bukan kue tart yang disiapkan Angga.


Aku menarik nafas dalam, sangat dalam. 
Lalu menghembuskannya perlahan sambil memejam menahan air mata.


Kubuka mata dan demi Tuhan, pandanganku berubah.


Tak ada kue tart, tak ada piring dan cangkir Angga.


“maaf kak, tapi daritadi yang saya tangkap hanya kakak seorang diri, terdiam seperti gelisah tanpa melakukan apapun di sini. Sejak pukul 7 malam kalau saya tidak salah.”


Aku mengeluarkan sejumlah uang dan meninggalkan cafe. Gontai.


***

Sesampainya di rumah, aku melihat Ibu duduk di kursi teras sambil memakai jaket dan memeluk selimut tipis.

“Assalamualaikum.”


“Waalaikumsalam.” Ibu terbangun dengan mata sembab.


Ibu memelukku erat. Sangat erat. Terlalu erat.

“Ikhlaskan Angga, Nduk. Ikhlaskan. Anggamu sudah bahagia di pangkuanNya. Kecelakaannya jam 7 semalam di tol Romokalisari menuju ke Surabaya.”


Air mataku tumpah. Menolak terima. Menolak berfikir. Menolak mendengar. Menolak tersadar. 

Hanya ada GELAP.



thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana