31 Januari 2015

Sekali lagi


Aku: "Bagaimana ulang tahunmu kemarin?" 

Dia: "Bagaimana apanya?"

Aku: "Yaaa bagaimana kamu menghabiskan hari ulang tahunmu? Adakah perayaan?"

Dia: "Not really. Aku menghabiskannya dengan mengumumkan keputusanku resign dari perusahaan, jadi ya menjadikan hari itu sebagai perpisahan dan semacamnya dengan orang-orang kantor. Lalu pulang. Just like that."

Aku: "Ooohh. Tidakkah kamu menghabiskannya dengan seseorang yang spesial? Seperti malam ulang tahunku." 

Dia: "Ah ya. Tentu saja aku menghabiskannya dengan seseorang yang spesial." 

Aku: "Boleh kutahu siapa?" 

Dia: "Ya ada lah. Seperti malam ulang tahunmu waktu itu. Kamu memang menghabiskan malam denganku, tapi pasti kamu pun sudah menghabiskan waktu dengan kekasihmu kan? Dengan seseorang spesialmu."

Once again, Ace. You broke my heart. 
Dan masih seperti sebelumnya, aku tak pernah benar-benar bisa marah padamu, selalu hanya maaf dan pemakluman yang tercurah. 

Aku: "Iya, akhirnya kutahu, aku sehina itu di matamu. Aku memang menghabiskan malam ulang tahunku denganmu, berbagi kepuasan denganmu, bercinta dan mendamba tubuhmu, wangimu, pelukmu, sentuhanmu, semua yang ada di dirimu. Aku menikmatimu dan kamu anggap aku masih memiliki kekasih? Serendah itukah aku di pemikiranmu? Perempuan yang memiliki kekasih namun sanggup bersetubuh dengan lelaki yang selain kekasihnya? Sejalang itukah aku di asumsimu?" 

ah andaikan kalimat itu sanggup kulontarkan. Sayangnya deret tanya itu hanya lantang hingga ke otak, tak sampai merambat ke mulutku dan terucap tepat di hadapannya. 

Aku: "Ah iya, itu rahasiamu tentang siapa seseorang spesial itu. Maaf aku lancang bertanya."

Dia: "Tak apa."

Aku: "Malam ulang tahunku waktu itu, aku tak memiliki kekasih." 

Klarifikasi singkat penutup perbincangan yang kulengkapi dengan senyum simpul. Senyum yang paling tepat untuk membentengi hati yang sedang koyak diinjak kecewa. 


Setelah ini, kekecewaan dan perih apa lagi yang akan kuterima akibat cintaku yang terlanjur dalam padamu? 

Jika saat itu tiba, semoga aku masih selihai ini menyamarkan luka menjadi senyum. 


***


29 Januari 2015

Menunggu Janji.





Sudah memasuki minggu keempat aku menunggu pemenuhan janjinya. Teman-teman seprofesi denganku sudah makin kaya sekarang. Dan aku? masih saja mengutuki diri sendiri karena membawa-bawa perasaan. 

***

"Berapa kali kubilang, pekerjaanmu itu tak butuh perasaan, Norma!"
lengkingan Tante Riya masih menyayat-nyayat hingga ke gendang telingaku. Omelannya tak pernah seemosi ini, bahkan saat aku menyembunyikan beberapa uangnya, ia tak pernah semarah ini. 

"Siapa lah yang bisa menentukan kemana hati menunjukkan arah langkahnya, Tante?"

"Halaaaah pret. Sejak pertama kali kamu kerja, kan emang aturannya udah begono, kalau kerja ya siapkan selangkangan aja, ndak usah bawa HATI."

"Ya niatnya juga gitu kan, tapi ......"

"Yauwes sak senengmu lah, pokoknya jam 2 malem nggak balik, kamu tak tinggal sendirian di daerah sini. Nggak usah melu ke tempat baru "
Sambil mengatur nafas, dengan payung hitam yang kugenggam, aku sudah siap keluar dari bangunan yang nyaris seperti rumah hantu ini. Keluar menunggu pujanggaku tercinta. Huh andai saja dia bukan tante kandung dan satu-satunya saudara yang kupunya, pasti sudah sejak lama aku meninggalkan tempat ini dan tak akan kembali. 

"Iya iya, jangan marah terus, Te. Ntar lipstiknya jadi jelek loh. Nanti Pak Amin nggak gemes lagi sama Tante."

"Woooh luambemu. Ndang pergi!"

***

Sudah jam 11 malam kurang 3 menit, kakiku sudah nyaris kaku karena menunggunya. Sialan, harusnya benar kugadaikan saja hatiku supaya tak selelah ini ketika harus mencintai seorang lelaki. Eh tapi cinta? Apa benar ini cinta? Cinta kok berawal dari kenikmatan vagina? Ah entahlah, intinya aku sudah kesengsem, hatiku sudah tak mau lagi yang lain, cuma mau Mas Ranu.

Andai saja beberapa bulan lalu Mas Ranu tidak nyasar sampai ke daerah wisma Tante Riya, pasti tak akan seperti ini gini kejadiannya. 
Andai saja Tante Riya tidak kegatelan menggoda Mas Ranu yang tengah berteduh di teras wisma, pasti tak akan sebodoh ini aku dibuatnya.
Andai saja Tante Riya tidak pakai acara menawarkanku untuk menemani Mas Ranu semalam kala hujan waktu itu, pasti aku tak akan selemah ini.
Andai saja aku tidak mengiyakan ajakan Mas Ranu untuk bercinta di malam itu, pasti tak akan begini hatiku.
Andai saja aku menuruti peringatan Tante Riya untuk jangan bawa perasaan, pasti tak akan sesakit ini hatiku karena harus menunggu Mas Ranu yang tak kunjung kembali. 

Iya, digantungkan itu menyakitkan. Lebih sakit daripada saat pertama kali melakukan hubungan badan. 

***


"Nama lengkap kamu siapa?"
Itu kalimat pertama yang dia ucapkan setelah kita melakukan hubungan badan untuk kedua kalinya.

"Norma aja, nggak ada panjangnya. kalau mas?"

"Ranu."
Jawabnya sambil membenarkan posisi selimut supaya lebih rapat menutupi tubuh kita yang sedang telanjang.

"Aturannya kalau sudah gituan nggak pake ngobrol, Mas. Kalau ngobrol nanti bisa nambah bayar loh!"

"Tenang aja, nanti biar aku yang bilang sama Mami di luar, sekalian pas aku bayar."

"Itu tanteku, Mas. Bukan Mami. Kalau di sini dia dipanggil Tante Riya"

"Tante beneran? Kok tante beneran tega ngejual keponakannya sendiri?"

"Iya tante kandung. Hehehe bukan tega, lah wong ini karepku, Mas. Aku yang minta jadi pelacur, bukan dipaksa Tante."

"Kenapa kamu mau jadi pelacur? Emang nggak mau cari kerja lain?"

"Pernah sih dulu abis lulus SMK, aku jadi sekretaris di perusahaan swasta. Niatnya sih mau menjauhi bisnisnya tante biar hidup lebih enakan gitu loh Mas. Eh tapi kerja di kantor itu juga keras ya. Bosku lebih suka aku ngangkang di kasurnya ketimbang duduk manis ngerjain tugas kantornya." 
Aku bercerita sambil sesekali membenarkan posisi kepalaku yang menyandar di lengan kanannya, iya sambil curi-curi mengagumi dada dan otot-otot maskulin miliknya. Dada bidang dengan bulu tipis, membuatku makin ingin menaikinya lagi dan lagi. 

"Terus? Kamu keluar dari kerjaan itu?"

"Ya iya mas. Awalnya sih kukira itu cinta ya, tapi setelah dipikir-pikir lagi, nggak lah ya, itu bukan cinta. Itu cuma urusan nafsu, Mas. Aku juga yang salah, mau-mau aja diajak gituan. Tapi yaudalah kan udah terlanjur juga. Hehehe."

"Kapok ya kerja di kantoran?"

"Kapok sih nggak sebenernya, Mas. Cuma setelah pernah melakukan sex sama bosku itu, entah kenapa aku ngerasa semakin butuh dengan sex, kerja di kantor itu akhirnya jadi nggak menarik lagi. Itu awalnya aku ngerengek ke tante minta jadi pelacur aja di wismanya ini."
Aku merasakan sesekali dia melirik ke arahku dan membelai lembut rambut hitamku. Entah kenapa saat itulah aku merasakan hatiku begitu gaduh, bergemuruh tak keruan. Kulitku pun terasa dingin dan seketika aku merasa aku ingin memiliki Mas Ranu. Aku ingin hanya jadi miliknya, tidak untuk dibagi dengan yang lain. 

"Norma, kalau minggu depan kita ketemu lagi, bisa nggak?"

"Hhmm kalau minggu depan masih bisa sih, Mas. Nanti Mas Ranu tinggal datang ke sini aja."

"Memangnya kamu nggak bosan 'main' di sini terus? Gini loh, nanti kita ketemuan di depan toko kelontong dekat perempatan itu. Minggu depan aku kan bawa mobil jadi susah masuk ke wisma Tantemu ini. Nanti urusan bayar, aku pasti bayar berapapun asal bisa sama kamu. Kamu mau?"

"mau."

***


Ah percakapan itu lagi yang berputar ulang di kepalaku. selalu saat menunggunya seperti ini. Aku sudah mulai kelelahan malam ini, aku juga tetap harus pulang ke wisma karena harus bersiap. Pagi sekali aku dan Tante Riya harus meninggalkan daerah ini. Pak Amin dan Tante Riya berhasil menemukan tempat yang lebih baik di tengah kota Surabaya, tempat dengan pelanggan yang jauh lebih banyak dan lebih berduit. Teman-temanku yang lain sudah lebih dulu pindah atas pengaturan Pak Amin di tempat baru. Aku sudah berhasil mengulur waktu hingga satu bulan di tempat ini, demi menanti janji Mas Ranu, tapi ia tak kunjung datang. Bahkan payung hitamku mungkin sudah jenuh karena kupaksa menemaniku berdiri di pinggir jalan seperti ini. 



mungkin benar kata Tante Riya, 
"laki-laki itu cuma alat kelaminnya saja yang bisa dipegang, bukan UCAPANNYA, bukan JANJINYA."


***




23 Januari 2015

Q & A about me. [1-25]

1. Who was the last person you held hands with?
Sumpah lupa :| 

2. Are you outgoing or shy?
Outgoing :p

3. Who are you looking forward to seeing?
My groom. #HalahNgayal 

4. Are you easy to get along with?
Yes, i am. 

5. If you were drunk would the person you like take care of you?
Drunk of love kan ya? Hhmmm kayaknya mah iya. 

6. What kind of people are you attracted to?
Yang baik, tanggung jawab, setia, berotak, berhati, sehat jasmani dan rohani. 
#dikeplak 

7. Do you think you’ll be in a relationship two months from now?
NNOOOOO~ :)) 

8. Who from the opposite gender is on your mind?
Mas-mas di Milk Me deket jembatan mer. :p

9. Does talking about sex make you uncomfortable?
Dah aku mah cuma gak nyaman kalau diajak ngomongin mantan. #CieGitu

10. Who was the last person you had a deep conversation with?
My Soulmate, Rizka :3 

11. What does the most recent text that you sent say?
Nanyain harga buku ke Periplus TP :||

12. What are your 5 favorite songs right now?
- Leessang — the girl who can't break up, the boy who can't leave
- Drunken Tiger — Monster
- Lykke Li — Gunshot
- Akon — So Blue 
- Dia Frampton — Walk Away

13. Do you like it when people play with your hair?
Tergantung orangnya dong ya 

14. Do you believe in luck and miracles?
I dooooo~ 

15. What good thing happened this summer?
Broke up with my ex :))

16. Would you kiss the last person you kissed again?
Hhmm mau gak mau sih yaaa *blagu*

17. Do you think there is life on other planets?
Ada. Kehidupan para makhluk kekar, kulit kecoklatan tapi perkasa, dan mereka pemuja wanita. 
#MulaiLelah

18. Do you still talk to your first crush?
Udah lupa siapa :||

19. Do you like bubble baths?
Not really 

20. Do you like your neighbors?
I do 

21. What are you bad habits?
Lazy and sleepy-head :)))

22. Where would you like to travel?
Kemanapun asalkan di kamar hotel. 

23. Do you have trust issues?
Trust to men? Yeah i have :p

24. Favorite part of your daily routine?
Wake up 

25. What part of your body are you most uncomfortable with?
Armpit :( 

02 Januari 2015

earphone.


Selalu bawa earphone kemanapun dan dimanapun...



Iya, untuk menutup telinga dari mulut orang-orang yang tak cukup 'mengenalmu' tapi sudah berani melontar racauan tak bermanfaat dan merusak ketenangan jiwa. 



thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana