Surabaya, 19 Desember 2013
Surat ini tak akan kubuat menjadi beberapa bagian. Hanya satu ini.
Surat pertama dan terakhir. Satu-satunya surat.
Surat yang akan menandakan bahwa kamu sempat ada dalam takdirku.
Surat pelepasan, surat sebelum aku benar-benar melangkah dalam IKHLAS.
Sekarang atau bahkan suatu saat nanti jika kita bertemu lagi, Sayang.
kupastikan aku sudah dalam keadaan jauh dari terpuruk.
Aku sudah pasti akan baik-baik saja. Amat baik. Aamiin.
Dan kuminta, jangan pernah tanyakan padaku “Apa kabarmu Kirana?”
Kumohon, JANGAN.
Pertanyaanmu akan menjadi serupa palu godam, ah palu Thor yang akan
menghancurkan kerajaan “BAIK-BAIK SAJA” milikku.
Malam ini, bulan yang sering kali kita jadikan bahan obrolan, nampaknya
sedang malu menunjukkan wujudnya.
Atau mungkin bulan sengaja tak nampak karena ia ingin membantuku
mengikhlaskanmu?
Hhmm.. konspirasi alam.
Surat ini adalah media terakhir di mana aku akan menyebut dan memanggilmu
dengan sebutan “Sayang”, bukan lagi Rico Hadrian.
Masih jelas sekali ingatanku tentangmu yang sore itu membawa setangkai
mawar merah dan sebuah coklat yang merknya masih sangat populer sampai sekarang,
kamu menghampiriku di kantin seusai pelajaran sekolah.
“Kiranaaaaaa”
teriakmu teramat lantang yang sontak membuatku menoleh
“ya? Napa Co?”
“Aku suka kamu. Aku pengen kamu jadi pacarku. Mau ya Ki?”
pintamu sambil
mengatur nafas setelah berlari entah sejauh apa dan memberikan mawar serta
coklat padaku. Benar-benar pertanyaan tanpa basa-basi.
Aku yang di kala itu hanyalah seorang gadis kelas satu SMA yang sedang
ingin-inginnya merasakan berpacaran, sudah pasti menjawab “IYA.”
Kemudian kususul dengan senyuman termanisku.
Senyuman optimis bahwa cintamu
pasti tulus, pasti tak main-main.
Dan kamu sambut dengan pelukan gugup tapi hangat, yang kini kurasakan
sebagai yang terhangat.
Hah.
Tahun 2003, bulan Februari, tanggal 12.
Kenangan itu masih lekat Sayang..
masih sangat lekat.
Kita yang masih sama-sama kelas satu SMA, memulai sebuah kisah kecil
tentang cinta.
Cinta anak remaja.
Cinta yang menyenangkan sekali.
Aku mengingatmu lengkap dengan kemeja putih seragam sekolah yang
dikeluarkan, tak terlalu rapi di tubuhmu yang kurus kecil dengan tinggi yang
lumayan itu.
Aah aku merindukan sosokmu yang itu,
Sosok yang hanya menginginkanku seorang untuk menjadi pengisi hati.
Sosok yang cintanya masih berkekuatan membuatku optimis bahwa kita akan
selalu bersama.
Sosok kecil yang serampangan tapi memiliki senyum lepas memabukkan.
Sosok yang tak pernah berambut panjang, cukup 2 cm karena gerah sebagai
anak basket.
Sosok yang selalu bangga saat menggandengku dan memperkenalkanku ke tiap
teman-temanmu.
Sosok yang muak dengan pelajaran IPA dan hanya mendamba IPS IPS dan IPS.
Ilmu Pengetahuan Sosial.
Sosok yang selalu menyukai semangkuk bakso dengan saus tomat 2 sendok
makan lebih banyak ketimbang takaran kecap manisnya.
Sosok yang tiap kali bermain basket, tak pernah lupa melirik dan
mengerlingkan mata ke arahku yang duduk di bangku penonton.
Sosok yang selalu berucap terima kasih saat satu kecup kecilku mendarat
di pipi tirusmu.
Sosok yang seringkali jail melemparku dengan handuk kumal penuh keringat
setelah latihan basket.
Sosok yang meyakinkanku bahwa Manajemen adalah jurusan paling tepat untuk
dipilih dalam kolom pilihan lembar formulis SPMB.
Sosok yang berbahagia saat akhirnya kita berdua diterima di jurusan yang
sama dan di universitas negeri yang sama pula.
Sosok yang selalu semangat menemaniku menyelesaikan tugas-tugas kuliahku.
Sosok yang kupercaya layak untuk kulampirkan di lembar persembahan tugas
akhirku.
Sosok yang berbinar saat akhirnya kamu diterima di sebuah perusahaan
besar di Ibukota.
Sosok yang tak lepas berkirim kabar sekalipun jarak sedang menghantui.
Sosok yang tak jenuh menanamkan percaya bahwa setelah mapan, kita akan bersanding
bersama di pelaminan.
Sosok yang selalu ramah dan tak pernah menyakiti orangtua dan keluargaku.
Sosok yang turut berbahagia saat mendengar keputusanku untuk mengenakan
hijab.
Sosok yang tak pernah lelah berdiskusi denganku tentang segala hal dalam
hidup.
Sosok yang sering memain-mainkan jariku saat sedang bergandengan tangan
kemanapun kita pergi.
Sosok yang hanya memain-mainkan jariku, BUKAN HATIKU.
Malam bulan Desember ini adalah malam paling dingin menurutku.
Beberapa negara yang tak pernah dikunjungi salju saja kini mendapatkan
berkah hujan salju.
Kukira malam inilah yang paling dingin, sebelum akhirnya aku memejam dan
merasakan hatiku.
Ternyata, hatiku jauh lebih dingin. Membeku. Hingga terluka dan hancur.
Sakitnya daging ayam yang dikoyak-koyak anjing jalanan, kurasa masih
kalah hancur dengan hatiku saat ini.
Terkoyak oleh keputusan sepihakmu.
Keputusan untuk menyudahi kisah cinta kita setelah 10 tahun 10 bulan
lamanya terjalin tanpa sekalipun putus. Harusnya itu ikatan yang kuat kan,
Sayang?
Mereka bilang,
“Yang nemenin pas
seneng doang pasti kalah ama yang setia nemenin di saat jatuh dan susah.”
Hahahahaha :D
Kurasa mereka harus mulai berbicara denganku dan mendengar kisahku
tentang satu hati yang setelah 10 tahun lebih berjuang bersama sejak susah dan
belum jadi apa-apa, ditinggal begitu
saja dengan alasan cinta pertama yang hilang kini datang lagi.
Ya Tuhan, demi apapun aku menuliskannya sambil tersenyum dan menangis
sekaligus.
Ya.
Akupun ingat jelas 7 hari lalu, kamu dengan mudahnya mengatakan bahwa
hatimu sudah dipenuhi olehnya.
Perempuan cinta pertamamu,
Perempuan yang sudah sejak kalian bersama semasa TK telah menjadi
tambatan hatimu,
Perempuan yang katamu paling cerdas dan baik ,
Perempuan yang saat di bangku SMP pergi meninggalkanmu tanpa pesan apapun,
Perempuan yang kemudian datang kembali setelah kita akhirnya bersama
selama 10 tahun lebih lamanya,
Perempuan yang kamu biarkan masuk ke hatimu dan menghapuskan namaku di sana,
Perempuan yang selalu kamu lindungi bahkan dengan taruhan nyawamu,
Perempuan yang akhirnya menghapuskan ingatanmu akan adanya aku dalam
hidupmu,
Anindita Hasna.
Jangan pernah minta aku untuk memaafkannya, karena ini bukan salahnya.
Ini juga bukan salahmu.
Ini salahku.
Salahku yang saat itu terlalu berharap padamu
Salahku yang membiarkan keseluruhanku bertumpu padamu
Salahku yang bersedia kamu ajak merancang masa depan indah
Salahku yang menganggap bahwa perempuan yang ada di saat susah adalah
perempuan yang akan dipilih untuk jadi pendamping hidup
Salahku yang dengan bodohnya tetap diam selama 10 tahun berhubungan tanpa
meminta status pernikahan
Salahku yang terlalu percaya diri bahwa hanya akulah perempuan tercintamu
Salahku yang terlanjur percaya bahwa perempuan itu hanyalah masa lalumu
Salahku yang tak mampu menjadi perempuan cerdas dan sebaik perempuan
tercintamu itu
Semua ini salahku.
Berakhirnya kita adalah salahku.
Kecewanya aku adalah salahku.
Dingin dan hancurnya hatiku adalah salahku.
Hancurnya harapan orangtua dan keluargaku adalah salahku.
Cincin kecil yang sempat kamu berikan untukku, Sayang,
Cincin yang dibeli dari hasil keringatmu, dari gaji pertamamu,
Kini telah terdiam pilu di sebuah kotak kecil yang kunamai
“pertunangan yang kehilangan jalan”
Semua gambar dan potret kita selama ini, Sayang,
Potret tiap langkah dan momen bahagia kita,
Kini telah rapi kutata dalam sebuah album sendu yang kunamai
“terlupakan”
Dan sekarang,
Yang tersisa hanya ingatan dalam otakku,
Bantulah aku dengan terus mendoakan agar aku segera mampu mendapatkan
kebahagiaanku sendiri.
Bantulah aku agar aku masih punya cukup tenaga untuk menenangkan
orangtuaku yang terlanjur linglung oleh akhir kisah kita.
Bantulah aku dengan tak lagi menyakiti hati perempuan.
Bantulah aku dengan terus membahagiakan perempuan tambatan jiwamu.
Dan aku akan terus mendoakan kesuksesan dan kebahagiaan kalian.
Atas nama cinta,
Kirana Ermina