22 Mei 2015

Si Mungilku.


Ini adalah hari terakhir aku bisa menghabiskan waktu di kota ini, kota sejuta taman, Surabaya. Besok pagi-pagi sekali aku sudah harus duduk menunggu dalam bosan di ruang tunggu bandara Juanda, sekali lagi berpindah tempat. Dan kuniatkan dalam hati, hari ini harus menjadi hari yang akan kuingat selamanya di kota ini, entah apapun alasannya. Jurnal hari ini tak  boleh menjadi tulisan sia-sia yang akan kutumpuk dengan lembaran cerita lainnya dari hari-hari sebelumnya.

Aku mencintai Surabaya, pada sengat panas dan riuh lantang para penghuni kota. Aku mencintai sudut per sudut kota metropolitan yang satu ini. Kota tempat ibuku dilahirkan, ya paling tidak begitulah yang kudengar terakhir kali dari mulut ayahku. Aku mencintai semua taman di kota ini, seperti taman yang sedang kusinggahi untuk kujadikan inspirasi menulis sekarang.

Beberapa pasang mata menatapku penuh tanya atau barangkali curiga. Mungkin di kepala meraka menerka-nerka apa yang sekiranya sedang lelaki usia 30 tahunan sepertiku ini kerjakan dengan duduk sendiri, laptop di pangkuan sambil sesekali memendarkan penglihatan ke sekitar taman. Aku pun balik mengamati mereka satu persatu, apa kira-kira isi kepala mereka selain menerka diriku? aku terus bertanya-tanya dalam kekosongan sampai sebuah punggung mungil memerangkap imajinasi dan mataku.



Punggung itu adalah punggung terbaik yang pernah kulihat. Punggung dengan rambut lebat dan panjang tergerai, berwarna hitam kelam, sangat indah. Aku berpindah, mendekati sang pemililk sambut tersebut, supaya lebih jelas aku menikmati pemandangan itu. Agar lebih detail aku menggoreskan pensilku di atas kertas untuk mencipta sketsa tentang Si Mungil sang pemilik punggung indah itu. Aku akan menyebutnya Si Mungil, ya begitu saja.

Si Mungil membawa sebuah boneka beruang, boneka yang sesekali diajaknya berbicara. Aahhh akhirnya Si Mungil menoleh, mengedarkan pandang pada apapun yang ada di belakangnya, hanya menyelidik sekilas. 

Aku jatuh cinta pada Si Mungil.

Pada mata bulat berkelopak menawan. Kubayangkan, pasti kulit kelopak matanya sangat lembut dan halus, sangat indah ketika Si Mungil sedang memejam, membuatku ingin mendaratkan bibirku di sana. Di kelopak mata lugu itu. 

Pada alis hitam lebat yang sesuai dengan rambutnya, alis yang hampir menyatu namun tetap nampak elok. Alis yang membuat darah di tubuhku seolah berhenti mengalir. Alis eksostis itu.

Pada bulu mata lebat dan terlalu mengagumkan, menjadi menyemarak kelopak matanya yang sudah tercipta begitu memikat. 

Pada pipi bulat kemerahan yang sangat menggemaskan, aku sangat tergiur dengan pipi Si Mungil, membuatku seolah lupa sedang berpijak di mana sekarang, pipi yang kubayangkan suatu saat nanti pasti akan menjadi lahan terfavorit bagiku untuk mendaratkan kecupan yang lain. Kecupan yang tak kunjung terhenti, lagi dan lagi.

Pada hidung dan bibir mungilnya, sungguh jika aku memiliki Tuhan, aku pasti memilih tersungkur di hadapan Tuhan dan memohon agar Si Mungil ini menjadi milikku selamanya. Supaya puas aku menikmati bibir Si Mungil.

Bibir Si Mungil adalah bibir terseksi yang pernah kupandang, bibir yang harus bisa kumiliki selama-lamanya. 

Aku akan menanti SI MUNGIL tumbuh sedikit lebih matang.

Di usia yang kurang lebih 4 atau 5 tahun sekarang, kubayangkan ketika Si Mungil akhirnya berusia 10 tahun lebih dewasa, ia akan menjadi gadis mungil paling menggairahkan bagiku. 

Setiap detail dan lekuk tubuhnya pasti mampu membawaku ke nirwana. 
Setiap harum dan wewangian yang menguar dari Si Mungil, pasti akan menjadi satu-satunya bau yang dipuja oleh indra penciumanku. 
Payudaranya yang ranum pasti mampu membangkitkan nafsu terbinal di dalam diriku. 
Pada kewanitaannya yang kelak menjadi matang dan menggoda, Si Mungil pasti akan menjadi satu-satunya gadis yang memuaskan laparnya kejantananku.

Baiklah.

Di manapun aku pergi, ke manapun aku akan berpindah-pindah kelak, 10 tahun lagi, aku harus kembali untuk mengambil Si Mungil agar ia menjadi bidadari di hidupku untuk selama-lamanya.

10 tahun lagi aku harus menginjakan kaki di Surabaya dan menemui Si Mungilku. 


*** 


 



#NulisKamisan S3 #9

13 Mei 2015

Surat cinta untuk yang kucinta


Ini perkara sepele. Sangat sepele. 
Kamu dan kecintaanmu pada rokok yang mengalahkan cintamu pada dirimu sendiri. 

Oke begini, 
Saya tak masalah dengan asap rokok atau berada di sekitar perokok, selama paru-paru saya tidak mendadak berontak pastinya. 
Dalam satu kondisi tertentu, saya bisa sangat menggilai bau asap rokok yang menempel pada pakaian lelaki, lelaki yang menarik tentunya, bukan sembarang lelaki. Yang kemudian mampu membuat "hormon" saya meningkat. 

Nah, anggaplah itu saya biarkan karena saya tak begitu peduli pada mereka.

Ketika saya sudah membawa hati dan segala kerumitannya, saya tidak suka lelaki perokok. 

Tapi jika sial-sialnya adalah hati harus mencintai lelaki perokok, pilihannya cuma 2, 
ingatkan agar ia berhenti, atau 
ikhlas saja terima ia yang sudah lebih dulu mencintai rokoknya sebelum dirimu. 

Saya pribadi lebih memilih memintanya berhenti. 
Bukan lagi mengurangi, tapi berhenti. Kenapa? 
  1. Karena Bapak saya berjuang untuk menghindari rokok DEMI putrinya, agar putrinya aman dari efek negatif rokok. Orangtua saya saja sudah membesarkan saya dengan kepedulian sebegitunya, masa iya saya nanti malah merelakan diri menghabiskan sisa hidup dengan dihantui efek negatif rokok dari pasangan hidup saya? Kan bodoh. 
  2. Saya cinta diri saya. Secinta-cintanya saya sama pasangan, sebisa mungkin saya harus lebih mencintai diri saya sendiri, jadi tahu kan kelanjutan maksud saya di poin ini? 
  3. Karena saya cinta pasangan saya dan tak ingin dia menderita penyakit akibat rokok. Karena saya peduli padanya, saya tak ingin dia terus menerus meracuni tubuhnya sendiri. 
  4. Karena saya MEMIKIRKAN KETURUNAN SAYA KELAK. Iya, penyakit memang datangnya dari Tuhan, pun panjang umurnya manusia. Tapi ya nggak ngeracun diri sendiri juga kan ya? Nggak mendekin usia dengan ngeracun diri sendiri juga kan ya? 

Nah, kalau saya sudah mengingatkan tapi pasangan masih ngeyel dengan alasan "saya lebih dulu kenal rokok daripada kamu" atau "berhenti ngerokok itu susah", Ya barangkali memang kepergian saya bakalan jauh lebih mudah buat pasangan saya. :) 

Ikhlas nerima dia, orang yang saya cinta menjadi perokok aktif? 
TIDAK AKAN. 

---

Untukmu, Sayangku. 
Jika tidak bisa mencintai diri sendiri, paling tidak ingatlah aku yang mencintaimu, ingatlah aku yang berhak untuk menghirup udara tanpa asap rokokmu, ingatlah aku yang suatu saat bisa pergi akibat ulahmu. Atau barangkali memang aku tak sebegitu berharganya bagimu, tak apa, terserah saja lakukan apapun sesukamu, akupun berhak untuk memutuskan pergi sesukaku. Karena aku sadar, mencintai diri sendiri saja kamu tak sanggup, apalagi mencintaiku?

Jadi, terserah kamu, Sayang. 
Terserah. 






07 Mei 2015

TV


“Kamu nggak mau ke sana? Kumpul sama yang lain di cafe?”

“Nggak. Kamu ke sana aja nggak apa, aku di sini aja.”
Devon memandangi Arnin sejenak, lalu memilih duduk di samping Arnin, menumpukan kaki kirinya ke kaki kanan dan lanjut minum Ice Cappucino yang baru saja dibelinya.

“Kenapa? Kamu nggak laper?”

“Laper sih, tapi males aja muterin dinding aneh itu kalau mau ke cafe. Lagian Ice Chocolate dari kamu ini aja udah cukup kok buat ganjel perutku sementara. Hehehe makasi ya!”

“Aneh? Dinding aneh mana?”

“Tuh!” Jawab Arnin sambil menunjuk ke arah sebuah dinding yang menghalangi cafe. Dinding dengan banyak sekali pajangan.



“Eh aneh kenapa emang? Itu apaan sih yang dipajang? TV ya?”

“Iya. Aneh.”

“Hhmm buatku kok sepintas malah kayak seni ya? Artistik banget gitu.”

“Apanya yang seni? Mematikan ambience malah.”

“Oh ya? Kenapa emang?”

“Jadi suram aja kesannya tempat mewah ini. Ballroom yang semegah ini tapi ada satu dinding yang dipenuhi dengan pajangan TV-TV tua dan mati.”

“Ok. Tapi itu bukannya kreatif ya? Memanfaatkan benda yang sudah nampak tak berguna 
sebagai hiasan dinding.” Devon mencoba mencerna apa yang diucapkan Arnin sambil terus menyedot minumannya.

“Aku justru merasa merana liat TV-TV itu. Kesannya jadi kayak penggambaran kaumku aja.”

“He? Gimana maksudnya? Kaummu? Kaum perempuan? Atau kamu apa?”

“Iya, kaum perempuan. Dulu, mereka, TV-TV itu saat masih baru dan bagus, dipuja sebegitunya oleh pemiliknya, tapi begitu mereka sudah rusak atau mati atau sebutlah tak berguna, mereka ditinggalkan begitu saja, dijadikan pajangan malah. Perempuan juga begitu kan, Devon? Saat mereka masih segar, cantik dan bisa memberikan segalanya, mereka dipuja sedemikian rupa oleh pemiliknya, para lelaki. Begitu perempuan sudah tua, sudah tak berguna lagi, atau bahkan ketika sudah ada perempuan lain yang lebih baru dengan bentuk tubuh yang lebih slim, pemiliknya akan berpaling, dan perempuan lama itu terbuang. Sama persis kayak TV itu tuh.”

“Wuah pemikiran kamu ngaco juga ya. Hahahahaa. Jujur aku sebagai pria hampir mengiyakan pendapat kamu. Tapi kan nggak semua pria kayak gitu, Arnin.”

“Halah iya karena kamu belum pernah menuju titik itu mungkin, jadi bisa bilang gitu. Tapi aku sering lihat kejadian begitu. Perempuan-perempuan yang sudah tua dan tak terpakai itu palingan ujungnya hanya dijadikan pajangan bagi pria atau pasangannya misalkan mereka berhasil bertahan sampai tua bersama.”

“Iya aku memang belum pernah tua tapi Papa dan Mamaku bisa kujadikan contoh yang akurat, dan aku pastikan Papaku tak akan pernah membuang Mamaku sampai kapanpun, jadi nasib beliau tak akan sama dengan TV di dinding itu seperti katamu.”

“Kamu yakin?”

“Yakin. Mamaku pernah sakit kanker yang sampai membuatnya terlihat begitu kurus, kuyu, dan sangat jelek tak menarik. Tapi Papaku tetap di samping Mama, sedikitpun tak pernah pergi, selama di rumah sakit, Papa selalu setia menemani Mama di samping ranjang Mama. Lalu kemudian Mama berhasil bebas dari kanker, mereka justru terlihat jauh lebih romantis dan manis sekali daripada sebelumnya, seperti tak ingin kehilangan satu sama lain. Sudah beberapa kali rekan bisnis Papa yang perempuan menggoda Papa agar Papa berpaling dari Mama, tapi tidak terjadi apapun, Papa bahkan rela mengakhiri perjanjian bisnis bernilai milyaran hanya karena tak sudi berurusan lagi dengan perempuan-perempuan penggoda macam itu. So yeah, Arnin, tak semua lelaki akan membuang perempuannya.”

“WAW. Lucky you, Devon.” Devon menjawab dengan anggukan kecil dan senyum tipis.

lalu beberapa detik beberapa detik berikutnya, hanya ada hening di antara mereka.

“Arnin, kamu abis patah hati ya? Atau sering?” 
Pertanyaan spontan dari Devon berhasil membuat Arnin menoleh dan menatap lurus ke mata Devon. Tatapan mata yang menyiratkan keterkejutan, kemarahan tapi juga adanya secercah harapan. Tatapan mata ”how dare you to ask me that questions!” dan bagusnya lagi, Devon menangkap maksud tatapan mata Arnin.

“Caramu menerjemahkan arti pajangan di dinding itu sepertinya penuh kegetiran, terlalu sinis pada dunia. Runtuhkan sedikit dinding kokoh di hatimu, Arnin. Cobalah lebih sering menatap orang lain tepat di matanya seperti yang sedang kamu lakukan sekarang padaku, tapi kumohon bukan tatapan ingin membunuh itu.”

Baru kali ini Arnin merasa lega, entah untuk alasan apa. Pada kelancangan yang Devon -pria yang baru dikenalnya 5 hari lalu karena mereka berdua bergabung dalam perjalanan wisata bersama mengelilingi Indonesia- Arnin seharusnya merasa marah karena Devon berhasil menelanjangi pemikiran dan hatinya. Tapi di lain sisi, Arnin merasa baru kali ini ada lelaki yang berani bicara seblak-blakan itu dan dengan tepat menebak sisi tergelap Arnin. Begitu memahaminya. 

“Iya, Tuan Devon. Akan kucoba.” Jawab Arnin dengan senyum simpulnya yang penuh kelegaan. Seorang lelaki asing yang baik baru saja membantu Arnin mengatasi kemelut gelap di dirinya. Berhasil membuat Arnin begitu percaya dan aman.

“Balik ke bis yuk!” Ajak Devon sambil mengusap asal rambut pendek Arnin lalu menggandeng tangan Arnin mengajaknya berdiri dan menuju bis wisata mereka. 


***








#NulisKamisan S3 #8 

05 Mei 2015

Meraba Kita


7 tahun terpisah dan kini kamu datang lagi, 
sesayang itukah kamu padaku? 
Atau barangkali serindu itukah kamu pada diriku? 

7 nampak seperti angka sakral bagi hubungan kita. 
7 Juli 1977 adalah angka kelahiranmu
dan 7 Juli 1987 adalah angkaku. 
Kenapa banyak sekali angka 7 yang mungkin kebetulan, pertemuan kita terjadi pada kopi darat ke-7 komunitas bersepeda. Ya kan? 7 lagi. 

7 jam yang lalu, kamu melamarku, membuat jari manis tangan kiriku begitu cantik dengan cincin sederhana pemberian kedua orangtuamu. 

Ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan, Sayangku. Terlalu mustahil. 

Kamu kembali. 

Apa yang terjadi 7 menit lagi? 

Sejahil itu otakku melontar tanya.
Apakah 7 menit ke depan kamu akan meninggalkanku lagi seperti perih 7 tahun lalu? 
Atau mungkin kamu akan tiba-tiba datang ke rumahku lagi dan mengajakku sholat maghrib di masjid depan rumahku? 
Atau mungkin mantan istrimu akan muncul di dering ponselku dan menggugat kesetiaanmu padaku? 


Ah ya sudah lah. 
Otakku mulai menuju bilik negatif. 
Cukupkan di sini saja aku meraba kita dan biarkan Tuhan yang menuntun masa depan kita. 

Dariku yang menanti tanggal 7 Juli 2017 sebagai hari pernikahan kita. 




Salam, 

Tatiana Andalusia. 





#SisaSelasa #4

thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana