“jangan sembarang
membiarkan wanitamu pulang seorang diri, karena kamu tak akan pernah tahu siapa
dan apa yang akan ia temui selama perjalanan.”
Alvin telah -entah sengaja atau tidak- membiarkan Niara pulang seorang diri hanya karena Alvin tak mampu menjaga emosi setelah pertikaian kecil di antara mereka.
Pertikaian yang menyebabkan pikiran Niara digelayuti kalimat tersebut saat taksi yang ia tumpangi menuju rumah sedang melaju di jalan Darmo sebelum ia meminta sopir menepi dan menurunkannya di sebuah belokan sebelum menuju jalan Polisi Istimewa.
Seorang lelaki yang mau tidak mau berhasil menyita perhatiannya sedang berjalan sendiri dengan langkah gontai dan menunduk tampak sibuk dengan gadgetnya.
Lelaki yang sempat membuatnya bimbang saat menerima pernyataan cinta Alvin.
Lelaki yang seingat Niara tak pernah sekurus ini
dan tak pernah terlihat begitu kesepian seperti ini.
“Selamat malam, Mas Kiki.” Tegur Niara setelah mengikuti beberapa langkah di belakang Kiki.
Ya, setelah sekian lama menghilang dan tak sudi bertukar kabar, disinilah mereka dipertemukan oleh takdir yang selalu penuh kejutan.
“hai..” jawab Kiki, menoleh dan terlihat sedikit terkejut.
Senyum tipis antara gurat bahagia, canggung, amarah, dan tanda tanya berkecamuk di kepala keduanya.
Beradu memenangkan mana rasa yang paling dominan menyinggahi hati mereka.
Setelah berjalan tak jauh dari tempat mereka bertemu, restoran cepat saji yang selalu buka 24 jam akhirnya menjadi tempat pilihan mereka.
Tak terlalu mahal, tak terlalu bising, tapi yang utama, tak akan ada banyak orang yang mengenali mereka, atau bahkan tak seorangpun.
“maaf.” Ucap Niara dengan volume suara rendah, hampir tak sampai di telinga Kiki.
“ya? Maaf? Untuk?”
“untuk semua kekacauan yang kutimbulkan dalam hidupmu. Sama sekali bukan itu maksudku.”
“sudahlah, toh ucapan maafmu sudah jelas saya baca melalui tulisan-tulisan di blogmu jika saya yang tak terlalu ke-GR-an, dan Tuhan juga sudah membuat saya hampir melupakanmu. Hampir.”
Sambil mengaduk es milo, Niara melanjutkan obrolan sekenanya,
“Vika , anak-anak, Ayah, Ibu dan keluarga apa kabarnya, Mas?”
“Alhamdulillah sehat semua.”
“Mas, kayaknya Vika baca blogku, ia menerjemahkan semuanya dengan caranya. dengan segala asumsi dan sekat fiksi yang ia rangkum sendiri. Aku........”
"Sudahlah Ra, nggak usah dipikirin. Biarin aja.” Jawabnya sambil perlahan menggenggam tangan Niara.
Melepas malam yang tak seperti biasa.
Luka-luka lama kembali terkuak perlahan, baik di batin Niara
maupun Kiki.
Keduanya sedang saling menguatkan, mempelajari lagi arti kebersamaan yang sempat terpisahkan ego.
Keduanya sedang saling menguatkan, mempelajari lagi arti kebersamaan yang sempat terpisahkan ego.
Meluruhkan satu dua kegelisahan dan rasa bersalah.
Kiki dengan rasa bersalahnya pada Vika,
Dan Niara kini dengan rasa bersalahnya pada Alvin.
2 hari kemudian..
Ketika sedang memandang cuaca Surabaya yang semakin hari semakin panas melalui jendela ruang kerjanya, sebuah pemberitahuan email masuk baru saja membuyarkan lamunan Niara, membaca sejenak dan memutuskan untuk membalasnya secepat dan seyakin mungkin.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Selamat siang Mas Kiki.
Email ini sangat mengejutkanku. sungguh. : )
Selamat siang Mas Kiki.
Email ini sangat mengejutkanku. sungguh. : )
Iya, akupun mencintaimu, setulus apapun yang mampu semesta
jabarkan, bahkan mungkin melebihi cintamu padaku.
Tapi aku juga mencintai Alvin, sekalipun hanya dengan keping
hati yang tersisa.
Sungguh sempat terfikir untuk mengiyakan ajakanmu
meninggalkan semua yang ada di sini.
Meninggalkan keluargaku, kekasihku, dan pekerjaan yang semuanya sungguh sangat kucintai.
Meninggalkan keluargaku, kekasihku, dan pekerjaan yang semuanya sungguh sangat kucintai.
Sampai pada akhirnya aku menyadari bahwa ini bukan soal
bagaimana kita mengikuti garis takdir atau menyatukan cinta yang sekalipun
sempat terpisah namun akhirnya kembali bertemu.
Bukan perkara bagaimana kamu mampu mencintai ataupun
menjagaku,
Bukan juga tentang langkah pembuktian cinta,
sama sekali bukan karena semua itu.
Kepergianmu yang sempat membuyarkan impian dan menghancurkan
hatiku ternyata mengajarkan satu hal,
bahwa yang kubutuhkan bukan sepenuhnya CINTA.
bahwa yang kubutuhkan bukan sepenuhnya CINTA.
Aku membutuhkan sosok yang juga membutuhkanku,
Sosok yang akhirnya juga
kubutuhkan, yang tanpanya aku hampir tak lagi bisa melangkah dalam hidup.
Sosok yang sekalipun dengan
beberapa kekurangan, mampu melengkapiku.
Sosok yang dalam keadaan
terendahku, ia mampu meninggikanku.
Sosok yang perlahan tapi tetap
sabar, sudi menerimaku dan mengajarkan bahwa cinta mampu tumbuh lagi di hatiku.
Sosok yang dengan seluruh
tenaganya berlapang kasih membantuku mengubur kenangan pilu tentang masa lalu.
Sosok lelaki yang tak akan pernah
meninggalkanku.
Sosok Alvin.
Bukan kamu.
Denganmu mungkin aku bergelimang cinta, karena aku mencintaimu.
Tapi jauh melebihi hausku akan
cinta, aku sangat membutuhkan Alvin.
Dan akupun mulai percaya bahwa
cintaku pada Alvin bisa tumbuh seiring berjalannya waktu.
Sedangkan butuhku akan dirimu,
kini sudah habis tergerus ego dan aroganmu.
Seorang teman pernah memberiku
pesan berharga tentang memilih pendamping hidup,
“jangan nikahi seseorang hanya
karena cinta, tapi menikahlah dengan orang yang kamu butuhkan, yang kamu tak
akan bisa hidup tanpanya.”
Dan karenanya, kurasa ini adalah
saat yang tepat untukku secara sadar memutuskan menyudahi segala yang pernah
kumulai denganmu.
Menyudahi kesalahan yang sudah
banyak memberiku pelajaran.
Menyudahi yang sepatutnya
kuakhiri dari beberapa bulan yang lalu.
Maafkan semua yang telah kulakukan, yang menyakitimu.
Maafkan semua yang telah kulakukan, yang menyakitimu.
Terima kasih atas kebaikan, bahagia, dan cinta yang telah kamu berikan.
Sekarang saatnya seluruh cinta dan perhatianmu tercurahkan untuk Vika dan anak-anakmu yang sudah pasti membanggakan. Semoga kalian selalu sehat dan penuh limpahan berkah.
Salam hangat,
Niara
*email sent*
Sebelum beranjak dari kursi untuk makan siang, Niara membuka pesan singkat yang ternyata dari Alvin,
----
hai sayang, selamat makan siang ya!
anw, tolong ingatkan aku kalau aku mulai egois ngebiarin kamu pulang sendirian seperti kemaren lusa. aku nggak pengen kamu kenapa-napa, aku pengen selalu bisa jaga kamu.
I love You.
---
lengkung bahagiapun terbentuk dari bibir Niara,
lega dan penuh rasa tenang.
Sebelum beranjak dari kursi untuk makan siang, Niara membuka pesan singkat yang ternyata dari Alvin,
----
hai sayang, selamat makan siang ya!
anw, tolong ingatkan aku kalau aku mulai egois ngebiarin kamu pulang sendirian seperti kemaren lusa. aku nggak pengen kamu kenapa-napa, aku pengen selalu bisa jaga kamu.
I love You.
---
lengkung bahagiapun terbentuk dari bibir Niara,
lega dan penuh rasa tenang.