Pada satu sore yang meneduhkan,
Surabaya sedang cantik-cantiknya; tak terlalu terik panasnya pun tak sampai
kuyup disapu hujan. Aku terjebak dalam sebuah pertemuan bersama
beberapa perempuan lajang hingga tiba-tiba salah seorang mengajukan pertanyaan “Kenapa
sih kalian kok belum pada nikah? It’s like seriously I’m curious about your
reason or maybe stories behind that decision?”
Jawaban Dinda:
“Buat apa menikah? Kalau hanya
untuk jadi penjaga rumah, lelaki kemudian ke sana-sini menebar sperma, pulang
ke rumah hanya untuk mandi, tidur beberapa jam, dan berganti pakaian. Pergi
bekerja tidak lagi untuk alasan keluarga. Aku kesusahan mengatasi bekas
melahirkan kedua anakku sendirian, pusing memikirkan tingkah riuh anakku
sendirian, pusing dan bingung sendiri saat anak-anakku sakit, Aku menikah
supaya aku memiliki partner dalam menjalani hidup, bukan dijadikan pembantu di
rumah yang digaji sebulan sekali dengan label NAFKAH. Ah sudahlah. Well anyway,
aku hanya akan menikah lagi jika aku menemukan rumahku, yang bersamanya hidup
jadi tak mengerikan lagi. Sesederhana itu sih.”
Aku tersenyum, di saat reaksi
mereka beragam.
**
Jawaban Hana:
“Aku akan menikah jika sudah
menemukan lelaki yang baik, kaya raya dan ngga pelit sama aku. Yaaa you guys
know it well, lelaki zaman sekarang mana ada sih yang nggak mikirin selangkangan.
Nafsunya ngga habis-habis, mending ya kalau dieksekusinya sama pasangan sahnya,
lah ini sekarang mah disebar ke mana-mana, sama kayak kata Dinda tadi,
spermanya disebar ke sana-sini, kan sialan ya, lah kitanya perempuan yang
terlanjur terjebak di pernikahan, mau terima ya telen aja tuh kelakuan, ga mau
terima ya cerai aja. Kan gitu ya? Nah, kalau aku sih, udahlah lelaki sekarang
pada begono semua, ya udah lah ya males mikirinnya asalkan dia masih pulang dan
kekayaannya masih bisa aku nikmatin, ya udah lah ya, daripada udahnya ga setia,
KERE pula. Kan capek bener kita ngadepinnya. Gitu deh.”
Aku tersenyum, di saat reaksi
mereka beragam.
**
Jawaban Lita:
“Aku belum menikah karena ya
nunggu ADA yang ngajak nikah, huahahahahahaaa. Ya udah mulai capek juga sih ya,
9 tahun pacaran sama Doni tapi nggak ke mana-mana, mentok dikenalin ke
keluarganya aja, trus udah, ngga ada omongan apa-apa lagi soal komitmen ke
depan. Ditanya bentar tentang nikah, dijawabnya ntar deh, ntar ya Sayang,
nabung dulu Sayang. Begitu aja terus sampe Maroon 5 nyanyiin jingle biskuit
UBM. Auk ah runyam mikirinnya.”
Aku tersenyum, di saat reaksi
mereka beragam.
**
Jawaban Debby:
“Hhmm apa ya, ya antara belum ada
yang ngajak nikah dan emang lagi enak sama kerjaan aja. Pun aku kayaknya belum
siap dengan fase hidup yang itu, menikah, punya anak, membesarkan anak,
ngedidik anak, mikirin makanan suami ntar apa, makanan anak ntar gimana,
sekolahnya anak gimana, kalau anak sakit gimana, kalau kerjaan suami lagi susah
gimana, belum lagi ribut-ributnya, ribut sama suami, ribut sama anak, ribut
sama urusan keluarga besar suami, macem-macem deh. Aku kayaknya belum mau nikah
karena yaaa I wanna enjoying myself for being SINGLE. Bebas dan bisa ke mana
aja tanpa mikirin ini itu.”
Aku tersenyum, di saat reaksi
mereka beragam.
**
Jawaban Seruni:
“Sedari awal, aku ingin menikah karena ingin memiliki keturunan. Tapi, yaaah sebelum menikah aku berulang kali berhubungan intim dengan beberapa pria dan hasilnya selalu sama, tak ada yang membuatku hamil, ah tanpa pengaman tentu saja. Ke sininya aku jadi merasa bahwa jangan-jangan aku memang mandul, aku terlalu takut untuk memeriksakan ke dokter, jadi yaa sudahlah kuanggap demikian. Kalau sudah begitu ya buat apa aku menikah? konyol sih tapi ya sudahlah aku baru akan menikah kalau sudah HAMIL saja. hahahaha.”
Aku tersenyum, di saat reaksi
mereka beragam.
**
**
Jawaban Farra:
“Ya karena di negara kita tidak
melegalkan pernikahan SESAMA jenis kan? Gimana gue mau nikah coba?”
Aku tersenyum, di saat reaksi
mereka beragam.
**
Mata mereka kemudian mengarah
padaku,
“Kamu, Nhaz, kenapa belum nikah?”
.
.
.
.
.
.
.
.
“Karena lelaki yang kucintai
tidak pernah mencintaiku.”
“Ya terus?”
“Nothing else, that’s all. He never
loved me. Enough. Done.”
Aku tersenyum kemudian menangis
tertahan, mereka terdiam.
**
Aku
tak pernah bermasalah dengan ditanya kapan menikah, kenapa nggak nikah,
dan lain-lain. Aku hanya merasa bermasalah dengan air mata ketika
ingatanku menyeruakkan namanya. Aku benci air mataku karena sekalipun
sudah bertahun-tahun, kenapa mereka masih saja mudah tumpah untuk alasan
yang itu-itu saja.
Pada
akhirnya, kita tidak akan bisa melarang orang lain untuk mengajukan
pertanyaan apapun yang mengingatkan kita kepada masa lalu, tidak bisa
melarang orangtua kita untuk menanyakan "kenapa nduk kok ngga nikah
nikah, nunggu apa?", tak bisa melarang tetangga untuk berkomentar "ndang
nikah mba, keburu habis ntar pilihan jodohnya.", tak bisa juga melarang
adik kita bertanya "kamu kapan nikah? kalau kamu ngga nikah, ntar
keburu aku duluan loh", tidak bisa, kita tidak bisa membungkam mulut
orang lain.
Satu-satunya
yang bisa kita lakukan hanyalah berdamai dengan semuanya, dengan masa
lalu, dengan kenangan, dengan kepahitan, dengan patahan-patahan akibat
menanam cinta terlalu dalam, dengan kekecewaan akibat diingkarinya
kepercayaan yang kita berikan, dengan kesalahan hidup yang terlanjur
dilakukan, dengan cemoohan para perempuan berkeluarga yang merasa lajang
adalah petaka, dengan masyarakat yang seringkali mudah menghakimi, dan
berdamai dengan kenyataan bahwa dia yang kita cintai tidak pernah
sedetikpun mencintai kita. Berdamai dan segera beranjak.