22 Agustus 2019

Kejadian Vina Mematahkan Hati



Sudah beberapa hari ini rame banget tentang video sex threesome atau gangbang dari pelaku di Garut. Awalnya ngga peduli sih ya karena ya enggan aja nyari tahu tentang video sex viral apalagi yang melibatkan lebih dari dua orang. Saya kemudian jadi penasaran begitu hasil investigasi memberi keterangan bahwa pelaku perempuan, Vina adalah seorang istri yang dipaksa suami melakukan hal tersebut di saat kejadian. WAAAH WAAH WAAAHHH. 

Saya kemudian mencari tahu videonya, ada lebih dari satu video ternyata dan sudah habis saya liat semua sekalipun banyak diskip atau dicepetin. Kalau yang pada rame membicarakan adalah masyarakat banyak yang ngga percaya bahwa Vina dipaksa karena di video juga dia kelihatan menikmati aja, ngga kayak terpaksa. Jujur ya pas dengerin orang ngomong gitu rasanya pengen marah. Mengetahui dipaksa atau tidak, ngga semudah itu disimpulkan dari wajah apalagi urusan sex. 

ya saya emang bukan pakarnya, tapi ini cuma mengutarakan perasaan aja sih. 

Berlanjut di hari ini saya melihat sebuah video yang berisi wawancara dengan Vina dan mantan suaminya AK yang saat pembuatan video masih berstatus sebagai pasangan. Vina melakukannya karena dipaksa suami dengan alasan ini dan itu. Demikian juga ternyata hubungan mereka sebenarnya tidak disetujui oleh orangtua Vina dan selama pernikahan Vina diperlakukan tidak baik. 


 Menyimak video wawancara tadi, saya merasa patah hati karena
  1. Betapa masih banyak perempuan di luar sana yang belum dan tidak berdaya atas lelaki, atas lelaki yang dipercaya sebagai suami.
  2. Dampak social media bisa menggiring ke arah sedemikian buruknya, demikian juga dengan efek video porno. 
  3. Minimnya pengetahuan tentang sex dan pengetahuan mengenai rumah tangga di lapisan masyarakat tertentu.
Hal ini yang kemudian seringkali saya sampaikan ke mahasiswa-mahasiswi di kelas saya. Menikah tidak pernah semudah itu, tidak pernah semudah lelaki melamar, kamu mengiyakan, akad nikah, selesai. Tidak semudah itu.

Menikah mengenai kesiapan dan kemantapan. 
Siap dengan segala ilmunya,
siap dengan jutaan risikonya, 
siap dengan berbagai kemungkinan prahara, 
dan siap dengan beratnya tanggung jawab. 

Berdiri dulu dengan tegap di atas kaki sendiri sebelum memilih berjalan beriringan dangan pasangan hidup. Selesaikan kuliah sebaik mungkin, bekali diri dengan ilmu sebanyak mungkin, berdayakan diri semaksimal mungkin. 

Sebelum menikah, cari informasi sebanyak mungkin tentang sex, perilaku menyimpang seksual, penyakit seksual, hak dan tanggung jawab suami dan istri, kontak psikolog, kontak pertolongan pertama kekerasan rumah tangga, dan informasi lain terkait rumah tangga serta keluarga. 

Semoga kita semua selalu dilindungi ALLAH, dijauhkan dari segala keburukan. aamiin.


--






sumber foto: v-twinforum.com

20 Agustus 2019

Lima Hari Setelah Tanggal Usai




Seharusnya tidak boleh lagi menghubunginya.
Saya harus setia pada ikrar saya sendiri.
Tapi PMS selalu menghadirkan kisahnya sendiri.

Sudah setahun belakangan, siklus haid selalu berantakan.
Berantakan hingga aplikasi di handphone bahkan sudah tidak bisa diandalkan. 
Tapi saya selalu bisa mengira-ngira kapan tanggal saya datang. 
Saya merasakannya melalui dia. 

Dia tiba-tiba begitu terasa nyata di dalam mimpi. 
Dia tiba-tiba muncul dalam imajinasi terliar.
Dia dan segala detail fisiknya kembali mencuat di bayangan,
Dia yang selalu bisa membangkitkan gejolak panas di bawah sini.

--

5 hari setelah tanggal saya usai.
"let's have dinner!"
"tomorrow yah!"
"ok, call you later."

--

Setelah makan malam, kami akan berkeliling kota bahkan ke luar kota untuk saling mengulur waktu. Sejatinya, kami sama-sama tidak ingin perpisahan datang terlalu cepat. Tidak ingin malam menjadi larut terlalu cepat. Malam ini ia yang memegang kendali. Ia mengarahkan mobilnya memasuki sebuah bangunan yang berjarak 2 km dari rumah saya. Sebuah apartemen. 

Kami melepas rindu.
Mari tidak perlu kita bahas aktivitas apa saja yang masuk dalam definisi "MELEPAS RINDU"

Kami bersandar di ranjang sambil berpura-pura fokus pada tayangan televisi.
Ia beranjak mengambil dua botol soda dan menyerahkan satu pada saya. 
Saya tahu ini saatnya kami berbincang tentang apapun yang tak masuk akal.
"Kalau kamu memiliki uang yang berlimpah, apa keinginan terpendammu yang pertama kali pengen kamu wujudkan?"

"Menyewa sopir pribadi."

"Serius? kamu ngga punya impian yang lebih mahal gitu?"

"kamu bilang pertama kali yang ingin saya wujudkan ya kan? sopir pribadi. saya capek nyetir sendiri ke mana-mana."

"usia menggerus staminamu ya?"

"yang baru saja kita lakukan tidak mendefinisikan usia saya yang menggerus stamina ya!"

"bukannya kamu seneng nyetir sendiri ya? kayaknya dulu kamu pernah bilang gitu deh."

"well, people change, Dear. Dulu memang iya, tapi semenjak saya ngga pernah nangis lagi, rasanya nyetir sendiri jadi kurang menyenangkan. Di antara semua hal berbau kesendirian, nyetir sendiri kayaknya yang paling ngebosenin. Kalau kamu? apa yang akan kamu wujudkan?"

"menculikmu dan memulai semuanya di tempat yang jauh dari semua orang yang kita kenal."

"ah. karena ini adalah obrolan kita yang ngga masuk akal, that's ok."

"saya serius. kalau saya punya banyak uang, saya bakalan bawa kamu dan anak saya pergi dari Surabaya. Kita mulai semuanya bertiga dari nol."


Saya menyibakkan selimut, 
Mandi dan bergegas memesan taksi. 

09 Agustus 2019

Take It or Leave It




Dalam sebuah hubungan, harus ada kesepakatan antara pihak yang terlibat. Hubungan apapun. Hubungan kerja, hubungan bisnis, hubungan pertemanan, hubungan antar kekasih, hingga hubungan suami istri.

Termudah dalam urusan asmara adalah kesepakatan dalam menyebut jenis hubungannya.
Apakah sebatas teman?
Teman apa? Teman biasa? Teman tapi mesra? Teman nonton? Atau teman tidur?
Apakah berpacaran?
Apakah pacaran dijalani aja? Pacaran untuk serius? Atau bagaimana?
Apakah hubungan tanpa status?

--

Saya tidak percaya pada pertemanan antar lawan jenis bisa bertahan selamanya dengan istilah “sebatas teman”. Hubungan jenis itu pasti akan usai karena salah satu mengemukakan rasa dan pihak lainnya tidak bisa membalas atau usai karena keduanya saling sayang dan kemudian hubungan pertemanan berlanjut ke hubungan asmara.

Kemarin sore ia mengajak saya bertemu di café biasa. Pesanan saya tentu saja cheese fries dan ice matcha latte. Dia datang, pintu café terbuka olehnya diiringi gemerincing lonceng di atas pintu pertanda ada yang masuk atau keluar café. Saya menoleh ke arahnya, melambaikan tangan memanggilnya.

Ia menghampiri saya dengan langkahnya yang khas, wanginya yang selalu memabukkan, dan senyumnya yang menyebalkan; senyum simpul namun meluluhkan. Kami berbincang ini dan itu seperti biasa, ia memesan es kopi dan nasi salted egg, menyantapnya dengan lahap. Perbincangan kemudian menuju ke inti ajakannya bertemu kali ini.

“kamu menjauhiku ya?”

“iya.”

“kenapa? Saya punya salah?”

“ngga kok.”

“ya terus kenapa menjauh?”

“karena saya ngga bisa jadi teman kamu lagi.”

“kenapa harus ngga bisa temenan lagi sih?”

“ya saya maunya jadi kekasih kamu. Seperti yang dua minggu lalu saya bilang ke kamu, saya suka kamu, saya sayang kamu, saya mau kamu jadi kekasih saya. Tapi kamu ngga bisa dan lebih ingin berteman saja dengan saya. Saya tidak bisa dan tidak mau lagi berteman denganmu. Saya harus menjaga hati saya.”

Dia menghentikan kegiatannya. Menyimak saya dengan serius. Saya melihat rona marah pada wajahnya tapi saya tidak peduli. Sesekali dia harus menyimak dan menanggapi saya dengan serius.

“kamu sekeras itu ya?”

“bukan keras, saya hanya memilih yang jelas-jelas saja. Tidak ada kesepakatan dalam menjalani hubungan antara kita kan? Jadi ya sudah saja.”

Obrolan kami berlanjut ke arah ia yang masih merasa tidak biasa ketika perempuan mengutarakan perasaan. Ia menyayangkan hubungan kami yang harus usai namun ia masih belum siap menjalin hubungan asmara dengan saya atau yang lainnya.

“jika ingin berteman, saya yakin temanmu masih banyak selain saya. Jadi tanpa saya juga pasti tak ada masalah. Take it or leave it, Za.”

--

02 Agustus 2019

Di Titik Ini


Juni 2012

Sedari kecil, banyak pertanyaan bahkan kekhawatiran yang sembarangan muncul dalam kepala tanpa diminta. Pada usia 20 tahunan, pertanyaan muncul dalam bentuk keingintahuan akan masa depan, kehidupan setelah mati, kenapa neraka harus dijadikan ancaman, kenapa kata durhaka harus ada, kenapa kita harus sukses, apa jadinya jika perempuan hidup sendiri ditemani kucing jalanan di sebuah sudut gang, sekuat apa persiapan seorang anak sebelum ditinggal meninggal orangtua, seberapa kaya harusnya kita untuk merasa puas dan bahagia, hingga pada satu titik satu kesempatan, saya menghembuskan nafas dengan sangat berat. Ia menyadarinya, hanya Ia yang selalu menyadari hal kecil dari saya.

“are you ok?”

“aku capek.”

“capek nemenin aku nyari kerja dan interview?”

“oh ngga, bukan itu.”

“trus?”

“capek sama isi kepala. Banyak nanya ga ada jawabannya jadinya nambah kekhawatiran.”

Dia mengusap kepala saya dengan lembut, usapan kepala pangkal sayang.

“coba sini kasih tahu saya, apa yang sekarang nih, sekarang banget lagi kamu pertanyakan?”

“am I good enough for you? or if we won’t be together, am I good enough for any man?”

“apa yang membuatmu merasa tidak cukup baik?”

“hhmm, usiaku udah 23, thesis ngga selesai-selesai, kerjaan juga masih blm ada progress. Keterampilan juga hhmm ngga ada kayaknya.”

“Nhaz, kamu masih 23 tahun bukan udah 23 tahun.”

“ya tapi liat deh kamu, kamu aja udah bisa di posisi kepala cabang di usia segitu, pengalaman professional kamu udah banyak di usia itu. Lah aku?”

“Lah ini tapi saya sekarang jobless, kamu bekerja, kamu berpendapatan, saya di usia 31 tahun tidak bekerja, tidak memiliki pendapatan, tidak ada keluarga, tidak punya apa-apa dan siapa-siapa selain kamu. Kamu yang bagi saya sudah mencukupi segalanya, eh malah kamu yang merasa bukan apa-apa. Lagian, jalan kamu masih panjang. Saya yakin, di usia seperti saya sekarang, kamu akan jadi orang yang jauh lebih hebat dari saya, jauuhh lebih hebat dan bermanfaat.”

Saya lega.
Dia lega. 

Kami melanjutkan perjalanan dengan hening sambil sesekali bergenggaman tangan di dalam mobil. Barangkali itu yang saya cari, Ia yang bisa meredam dan menenangkan ketika tiba-tiba isi kepala saya riuh, ia yang bisa meyakinkan ketika saya mulai hilang arah dalam keraguan. Karena dia, saya yakin saya mampu dan bisa menjadi lebih dan lebih baik lagi, menjadi mampu berdiri di titik ini.


--


thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana