hello Morning, You!
rasa-rasanya kamu pasti akan kembali bermain ke halaman ini,
karenanya kutulis ini untukmu, karena kuyakin pasti kelak akan kamu baca.
sayang, kukira usiamu sudah cukup pantas untuk memahami bahwa
"tak akan ada asap jika tak ada api."
dia yang meninggalkamu, masih saja kamu tanyakan kenapa itu bisa terjadi?
hhmmm..
dan betapa beraninya kamu menyebut saya perebut ketika saya justru menjaga apa yang kamu sia-siakan?
kamu yang menyia-nyiakannya, Sayang.. : )
senang akhirnya melihatmu "berubah"
menjadi lebih baik, dan terlihat lebih pantas untuknya.
apakah setelah semua kejadian dalam hidupmu?
atau karena memang Tuhan telah menerangi jalanmu?
maaf, untuk apapun yang sudah membuatmu merasa bahwa akulah sang perusak.
maaf, untuk anggapan burukmu yang tanpa konfirmasi.
maaf, untuk sakit hati yang tanpa sengaja tertorehkan.
terima kasih, karena darimu saya banyak belajar tentang bagaimana menghargai
bagaimana menjaga hal dan orang berharga dalam hidup
bagaimana caranya menjadi perempuan yang lelaki inginkan
bagiamana seharusnya perempuan bersikap
bagaimana seharusnya istri dan ibu lakukan pada suami dan keluarganya
bagaimana sepantasnya tutur kata dan perilaku yang layak dalam rumah tangga
dan bagaimana cara melepas dengan ikhlas.
salam hangat,
NM.
30 September 2013
29 September 2013
kehidupan.
“jagung rebus serutnya 2 pakai
susu ama keju ya, Bu.” Pinta Rama pada Ibu penjual jagung dan beberapa jajanan
ringan di ujung jalan.
Udara di Tretes bisa dikatakan
cukup dingin, tapi Rama merasakan kehangatan yang tak biasa sekarang. Memakai jaket
tebal berwarna abu gelap dan celana pendek biasanya membuat Rama kedinginan di
tempat ini. Ini sudah kali ke sekian ia mendatangi Tretes dengan tujuan yang
seringkali berbeda-beda.
Tretes selalu bisa menyuguhkan
rasa dingin dan hangat dalam satu waktu. Banyak pemuda-pemudi dan keluarga
kecil dari berbagai kota mendatangi tempat ini. Pemuda yang bergandeng mesra
dengan pasangannya, entah masih teman, calon kekasih, atau bahkan mantan kekasih. Begitupun pemudi yang
menggelayut manja tapi tetap tak melebihi aturan. Banyak juga gerombolan anak
muda yang mungkin menghabiskan waktu akhir pekan dengan reuni atau sekedar berkumpul
saling melepas rindu karena lama tak berjumpa. Ibu-ibu tua yang masih tak
menyerah menjajakan sayur atau buah dalam bakul yang digendong di punggung
sambil berjalan sedikit terhuyung. Satu dua pembeli saja sudah mampu
menciptakan ribuan kalimat syukur dari mulut ibu-ibu penjual itu. Berpacu melawan
waktu mereka tetap berusaha mengais rejeki sekalipun hanya mengambil untung
seribu hingga dua ribu rupiah. Buah dan sayur yang mereka jual sudah pasti
memiliki tanggal busuknya masing-masing, mungkin karena itu mereka bersusah
payah hingga larut malam untuk menjualnya.
“Pak Rama mau minum apa?” tanya
Dinda mengagetkan lamunan ringan Rama.
“Dinda pesan apa? Biar saya yang
pesankan ke warung sebrang. Kamu disini aja nunggu jagungnya dateng.”
“Susu putih tanpa gula deh. Maaf ya
pak, Dinda merepotkan.”
“hah? Susu? Serius? Saya nggak
lagi ngajak jalan-jalan anak dalam masa pertumbuhan kan? Ntar saya diomelin
orangtua kamu nih jangan-jangan begitu tahu anaknya diculik jam segini padahal
belum minum susu.”
Dinda hanya menanggapi dengan
senyuman renyah yang selalu bisa membuat hati Rama berdesir luluh.
Dinda mengamati Rama yang
perlahan menjauh menuju warung di seberang jalan untuk memesan minuman yang
mereka inginkan sambil sesekali mengusap-usap telapak tangannya demi mengharap
sedikit kehangatan.
Dinda berusia 10 tahun lebih muda
daripada Rama, dan sama sekali tak terpikirkan akan menjalani hubungan tanpa
kejelasan dengan atasannya di kantor, Rama. Setelah kepergian Bagus 2 tahun
lalu, Dinda sama sekali tak ingin ditemani lelaki manapun, apalagi lelaki
dengan status duda beranak satu yang jauh dari tipe ideal Dinda. tapi ternyata takdir berkata lain, Dinda harus kembali dijatuhi cinta dari Rama yang perokok,
genit, terlalu menarik, pintar tapi sedikit ceroboh. Dinda tak terlalu menyukai lelaki
pintar, karena mereka juga cenderung licik.
“Pak, saya boleh nanya sesuatu
nggak?” tanya Dinda setelah Rama duduk kembali di sebelahnya.
“apaan?”
“kenapa kita nggak menikah aja?”
Rama masih terbelalak dan kaget
mendengar pertanyaan Dinda barusan. Untung saja ia tidak dalam keadaan
menenggak kopi panasnya saat Dinda melontarkan pertanyaan dengan jawaban yang
menimbulkan berbagai rasa bersalah.
“Din, kamu kesambet apa barusan
pas saya tinggal pesan minum? Untung juga jantung saya lagi oke-oke aja jadi
gak sampe lompat keluar saking kagetnya.”
“jadi..?” tanya Dinda sambil
tertawa kecil.
“iya, kita pasti menikah kok Din.
Tapi kamu sabar ya, karena nggak mungkin sekarang. Masa mau nikah di warung
gini?”
“saya pasti sabar, saya pasti
nunggu kalau pak Rama minta saya menunggu dan bersabar, sejak malam itu, saya yakin pak Rama pasti tahu gimana cintanya saya sama bapak, gimana saya nggak akan ragu untuk mengusahakan kebersamaan kita sekalipun harus kucing-kucingan sama banyak orang. tapi yang disini nggak bisa kelamaan
nunggu Pak, dia punya bom waktunya sendiri.” Dinda menjawab sembari mengelus pelan
perutnya.
“Din..... ini becanda? Itu bukan
anak saya kan?”
pertanyaan Rama membuat malam ini menjadi malam terakhir baginya bertemu dengan Dinda.
6 bulan kemudian...
Sebuah surat tergeletak di atas
meja kerja Rama, dengan amplop warna putih gading tanpa keterangan dan
alamat pengirimnya. Rama hampir saja memutuskan untuk membuang surat tersebut
sebelum hati kecilnya memaksa untuk membukanya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Selamat Pagi Pak Rama,
Lelaki yang sangat saya cintai.
Maaf atas kelancangan saya mengirimkan
surat tak tahu malu ini kepada anda, maaf.
Bagiamana kabar anda? Bagaimana kabar
Miko kesayangan anda?
Semoga Tuhan selalu mengabulkan
doa saya agar terus memberikan kalian kesehatan dan kebahagiaan.
Terima kasih atas hadiah terindah
yang telah anda berikan pada saya,
sekalipun tak mendapat pengakuan dari anda, saya
tetap berterima kasih dan sangat bahagia, karena saya percaya keputusan anda pasti memiliki alasan yang kuat, pasti.
Saya sama sekali tidak bermaksud
membuka kisah lama yang sudah pasti anda lupakan dan buang jauh-jauh.
Saya hanya ingin meminta sedikit
hak saya dan si kecil dalam perut yang kedatangannya di dunia ini tinggal
menunggu hitungan minggu.
hak untuk didengar, hak untuk berbagi cerita.
Coba anda tebak, apa jenis
kelamin si kecil ini?
YAAA, lelaki pak.
Ia lelaki.
Bayi lelaki dengan kaki yang kuat,
tawa yang riang, hati yang sangat lembut.
Bayi kita, seharusnya...
Saya akan menamakannya Adnan,
artinya surga.
Saya berharap ia akan menjadi
surga bagi saya,
melengkapi surga kecil yang sempat
anda berikan pada saya,
Bolehkan saya menamakannya Adnan,
Pak?
ah ya, si kecil ini selalu menendang
tiap jam makan malam, benar-benar saat dimana anda selalu menghubungi saya di
kala itu.
menanyakan apa yang sedang saya lakukan, bahagiakah saya berada
disamping anda, menyampaikan rindu, dan berbagai obrolan ringan yang hingga
sekarang masih melekat erat di ingatan saya.
saya merindukan masa itu, amat
sangat.
si kecil ini juga seringkali
bergerak seolah ingin ikut bernyanyi saat saya memutarkan lagu kesukaan anda,
lagu Audioslave.
maafkan saya karena tanpa sengaja memutar lagu itu dan
bukannya lagu Jazz seperti yang dokter kandungan sarankan.
ah sesekali membantah pasti tak
apa : )
Dokter juga bilang bahwa saya
harus sering-sering mengajak si kecil berbicara, obrolan ringan yang mampu
mendekatkan si kecil dengan saya.
karenanya, setelah makan malam, saya selalu
duduk di teras rumah, sambil melihat bintang yang kadang malu kadang berani
menampakkan diri, berbincang dengan si kecil sambil melakukan kebiasaan
sederhana yang dulu juga sempat kita lakukan, memandangi hamparan bintang di
langit.
Pak Rama tahu kan kalau saya suka minum susu? karena itu saya juga tak kesulitan saat harus minum susu khusus untuk ibu hamil, hhmm rasanya memang sedikit berbeda dengan susu yang seringkali saya minum sebelumnya. tapi tak apa, demi si kecil agar tumbuh lebih baik di dalam perut, apapun pasti saya lakukan.
saya tinggal di sebuah rumah yang
sangat sederhana di luar kota Surabaya, masih mengontrak tiap 6 bulan.
tapi pak
Rama jangan khawatir karena secepat mungkin saya akan menyediakan tempat
tinggal yang layak untuk si kecil kita.
saya sudah menyiapkan kamar
mungil dengan dinding berhiaskan pepohonan serta
beberapa pakaian serta perlengkapan bayi, semuanya berwarna hijau,
Warna kesukaan
anda.
Warna yang pasti bisa membantu menenangkan si kecil ketika ia sedang
merengek, menangis, atau bahkan rewel tanpa alasan kelak.
Saya juga sudah banyak sekali
membaca buku, majalah, dan berbagai artikel tentang kehamilan dan bayi, jadi
anda tidak perlu khawatir saya tidak bisa menjaga si kecil dengan baik.
Pak Rama bantu saya lewat doa ya,
semoga saya bisa menerapkan semua yang sudah saya pelajari dengan baik.
Bantu saya lewat doa semoga kelak
jika harinya tiba, si kecil bisa lahir dengan selamat tanpa halangan yang
berarti.
Bantu saya lewat doa semoga saya
bisa menjadi ibu sekaligus ayah yang baik untuk si kecil.
Bantu saya lewat doa semoga tanpa
anda sekalipun, si kecil tetap tumbuh dengan sehat dan membanggakan.
Bantu saya lewat doa semoga saya
tetap mampu menjaga cinta dan harapan saya untuk anda.
Bantu saya lewat doa semoga anda
tetap tersenyum dan mendukung sekalipun hanya dalam hati saya.
Saya membutuhkan doa anda..
sekian cerita dari saya,
Terima kasih atas waktunya, dan
sekali lagi maafkan kelancangan saya.
Yang mencintaimu teramat dalam,
Dinda Putri.
PS: Saya melampirkan foto USG si
kecil, supaya anda dapat sedikit saja merasakan adanya kehidupan yang
menakjubkan di dalam perut saya, kehidupan yang anda beri. :)
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Airmata menetes di atas surat
tersebut, airmata penyesalan.
Labels:
bee,
heart,
love,
love letter,
sad,
shortstory,
story
10 September 2013
tanpa logika.
Mungkin mereka benar,
“Tak akan ada logika yang berfungsi dengan baik saat kita sedang jatuh
cinta.”
Akupun membuktikannya.
Berbalut busana kerja tanpa sepatu
dan rambut sebahu yang tergerai tak beraturan, aku memutuskan untuk memarkirkan
mobilku disini, tempat biasa.
Malam yang sama, tetap gelap,
tetap senyap, tetap sendiri.
Secangkir kopi yang mulai
kehilangan uap panasnya masih setia menemaniku.
Lagu-lagu dari radio dengan genre
beragam yang terputar secara acak juga masih setia menemaniku.
04 September 2013, Pukul 23:34 WIB, Rabu yang kelabu.
Aku menunggu ia keluar dari
rumahnya,
seperti malam-malam sebelumnya.
Berharap ia akan keluar dari pintu
belakang rumahnya,
berdiri dan mondar-mandir di taman
belakang, taman kecil yang hanya berisi rerumputan rapi dengan satu tanaman setinggi
pinggul yang sepertinya berjenis tanaman hias,
lalu duduk di kursi kayu sambil
menghisap rokok dari kemasan berwarna putih entah merk apa.
Terlalu malam untuk lelaki
kantoran sepertinya,
terlalu malam untuk masih memakai
setelan kerja kemeja agak kusut dengan lengan tergulung sesiku dan celana bahan.
Terdiam seolah otaknya tak boleh
istirahat sejenak.
Selalu saja begitu saat aku melihatnya.
Tapi sepertinya tidak untuk malam ini.
Tubuhku sedang menggigil dipeluk
rindu akan sosoknya,
Ia yang namanya saja aku tak tahu.
Ia yang penampilannya selalu
membuatku terpaku.
Ia yang sorot matanya terlalu
teduh.
Ia yang membuat saraf penasaranku
terus terpacu.
Ia yang berhasil menyalakan lagi
gejolak di hatiku.
Lelaki ini, bertubuh tinggi, cukup
sepadan dengan tinggiku sekalipun aku sedang mengenakan high-heels.
Tak terlalu kurus, tak juga gemuk,
kukatakan saja pas untuk dipeluk.
Berkacamata, bingkainya berwarna
gelap dengan dengan bentuk kaca simple ukuran kecil, sesuai untuk membantu mata indahnya bekerja.
Lengannya kokoh, pasti nyaman
untuk kepalaku bersandar.
Berjanggut tipis dan rapi, tanpa
kumis.
Hidungnya mancung, mempertegas
ketampanan sederhananya, khas lelaki Jawa.
Kurang lebih 3 bulan yang lalu,
Aku mengetahui dan memutuskan
untuk memperhatikannya, sungguh tanpa rencana.
Kebiasaanku saat penat, berkeliling
dari satu perumahan ke perumahan lainnya yang akhirnya membawaku berhenti di
perumahan ini.
Cluster kelas menengah
keatas berdesain rumah minimalis dominan warna abu muda dan putih.
Itu adalah hari sepulangku lembur
di kantor, lelah tapi butuh hiburan dan masih enggan merebahkan diri di atas
kasur, hobby inilah yang akhirnya kulakukan,
berkeliling, mengamatai kegiatan
yang jarang terekam banyak orang melalui jelajah perumahan. Kusebut saja
begitu.
Setelah mengelilingi sebagian
besar bagian perumahan ini, saatnya aku melewati blok terakhir
sebelum gerbang keluar perumahan,
aku melihatnya berdiri gontai di taman belakang rumahnya, dan
kuputuskan untuk memberhentikan mobilku di sudut jalan, memperhatikan
gerak-geriknya.
Baru kali ini aku memperhatikan seseorang dan bertahan hingga
beberapa bulan tanpa sedikitpun berniat menyapa dan berkenalan dengannya.
Ini bukan
diriku.
Aku tak pernah sebodoh ini.
Pukul 23:56 WIB, masih Rabu yang sepertinya benar-benar kelabu.
Hampir pukul 12 dini hari, dan aku menyerah menunggunya malam ini,
sebelum...
*tok tok tok tok*
Seseorang menggedor kaca jendela
mobilku dan seketika kubuka,
Tuhan sepertinya sengaja membuat
jantungku berolahraga lebih keras, karena
Lelaki itu menatapku.
Tersenyum.
“hhmm.. ya?” tanyaku dengan
tingkah tak terkontrol, gugup, canggung, malu, dan pastinya merasa bodoh.
“nama saya Uki.” Ia menjulurkan
tangannya melewati jendela mobilku seolah ingin berjabatan. dan ya,
cukup membuat hatiku melonjak bahagia.
Oh Tuhan, rencana gila apalagi
ini?
karena sepertinya,
aku jatuh cinta,
tanpa logika.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
By:
Langganan:
Postingan (Atom)