30 September 2013

anggap saja ini surat cinta.

hello Morning, You!

rasa-rasanya kamu pasti akan kembali bermain ke halaman ini,
karenanya kutulis ini untukmu, karena kuyakin pasti kelak akan kamu baca.

sayang, kukira usiamu sudah cukup pantas untuk memahami bahwa
"tak akan ada asap jika tak ada api."

dia yang meninggalkamu, masih saja kamu tanyakan kenapa itu bisa terjadi?
hhmmm..

dan betapa beraninya kamu menyebut saya perebut ketika saya justru menjaga apa yang kamu sia-siakan?
kamu yang menyia-nyiakannya, Sayang.. : )

senang akhirnya melihatmu "berubah"
menjadi lebih baik, dan terlihat lebih pantas untuknya.
apakah setelah semua kejadian dalam hidupmu?
atau karena memang Tuhan telah menerangi jalanmu?

maaf, untuk apapun yang sudah membuatmu merasa bahwa akulah sang perusak.
maaf, untuk anggapan burukmu yang tanpa konfirmasi.
maaf, untuk sakit hati yang tanpa sengaja tertorehkan.

terima kasih, karena darimu saya banyak belajar tentang bagaimana menghargai
bagaimana menjaga hal dan orang berharga dalam hidup
bagaimana caranya menjadi perempuan yang lelaki inginkan
bagiamana seharusnya perempuan bersikap 
bagaimana seharusnya istri dan ibu lakukan pada suami dan keluarganya
bagaimana sepantasnya tutur kata dan perilaku yang layak dalam rumah tangga
dan bagaimana cara melepas dengan ikhlas.




salam hangat,


NM.

29 September 2013

kehidupan.


“jagung rebus serutnya 2 pakai susu ama keju ya, Bu.” Pinta Rama pada Ibu penjual jagung dan beberapa jajanan ringan di ujung jalan.

Udara di Tretes bisa dikatakan cukup dingin, tapi Rama merasakan kehangatan yang tak biasa sekarang. Memakai jaket tebal berwarna abu gelap dan celana pendek biasanya membuat Rama kedinginan di tempat ini. Ini sudah kali ke sekian ia mendatangi Tretes dengan tujuan yang seringkali berbeda-beda.

Tretes selalu bisa menyuguhkan rasa dingin dan hangat dalam satu waktu. Banyak pemuda-pemudi dan keluarga kecil dari berbagai kota mendatangi tempat ini. Pemuda yang bergandeng mesra dengan pasangannya, entah masih teman, calon kekasih, atau  bahkan mantan kekasih. Begitupun pemudi yang menggelayut manja tapi tetap tak melebihi aturan. Banyak juga gerombolan anak muda yang mungkin menghabiskan waktu akhir pekan dengan reuni atau sekedar berkumpul saling melepas rindu karena lama tak berjumpa. Ibu-ibu tua yang masih tak menyerah menjajakan sayur atau buah dalam bakul yang digendong di punggung sambil berjalan sedikit terhuyung. Satu dua pembeli saja sudah mampu menciptakan ribuan kalimat syukur dari mulut ibu-ibu penjual itu. Berpacu melawan waktu mereka tetap berusaha mengais rejeki sekalipun hanya mengambil untung seribu hingga dua ribu rupiah. Buah dan sayur yang mereka jual sudah pasti memiliki tanggal busuknya masing-masing, mungkin karena itu mereka bersusah payah hingga larut malam untuk menjualnya.

“Pak Rama mau minum apa?” tanya Dinda mengagetkan lamunan ringan Rama.

“Dinda pesan apa? Biar saya yang pesankan ke warung sebrang. Kamu disini aja nunggu jagungnya dateng.”

“Susu putih tanpa gula deh. Maaf ya pak, Dinda merepotkan.”

“hah? Susu? Serius? Saya nggak lagi ngajak jalan-jalan anak dalam masa pertumbuhan kan? Ntar saya diomelin orangtua kamu nih jangan-jangan begitu tahu anaknya diculik jam segini padahal belum minum susu.”

Dinda hanya menanggapi dengan senyuman renyah yang selalu bisa membuat hati Rama berdesir luluh. 

Dinda mengamati Rama yang perlahan menjauh menuju warung di seberang jalan untuk memesan minuman yang mereka inginkan sambil sesekali mengusap-usap telapak tangannya demi mengharap sedikit kehangatan.

Dinda berusia 10 tahun lebih muda daripada Rama, dan sama sekali tak terpikirkan akan menjalani hubungan tanpa kejelasan dengan atasannya di kantor, Rama. Setelah kepergian Bagus 2 tahun lalu, Dinda sama sekali tak ingin ditemani lelaki manapun, apalagi lelaki dengan status duda beranak satu yang jauh dari tipe ideal Dinda. tapi ternyata takdir berkata lain, Dinda harus kembali dijatuhi cinta dari Rama  yang perokok, genit, terlalu menarik, pintar tapi sedikit ceroboh. Dinda tak terlalu menyukai lelaki pintar, karena mereka juga cenderung licik.

“Pak, saya boleh nanya sesuatu nggak?” tanya Dinda setelah Rama duduk kembali di sebelahnya.

“apaan?”

“kenapa kita nggak menikah aja?”

Rama masih terbelalak dan kaget mendengar pertanyaan Dinda barusan. Untung saja ia tidak dalam keadaan menenggak kopi panasnya saat Dinda melontarkan pertanyaan dengan jawaban yang menimbulkan berbagai rasa bersalah.

“Din, kamu kesambet apa barusan pas saya tinggal pesan minum? Untung juga jantung saya lagi oke-oke aja jadi gak sampe lompat keluar saking kagetnya.”

“jadi..?” tanya Dinda sambil tertawa kecil.

“iya, kita pasti menikah kok Din. Tapi kamu sabar ya, karena nggak mungkin sekarang. Masa mau nikah di warung gini?”

“saya pasti sabar, saya pasti nunggu kalau pak Rama minta saya menunggu dan bersabar, sejak malam itu, saya yakin pak Rama pasti tahu gimana cintanya saya sama bapak, gimana saya nggak akan ragu untuk mengusahakan kebersamaan kita sekalipun harus kucing-kucingan sama banyak orang. tapi yang disini nggak bisa kelamaan nunggu Pak, dia punya bom waktunya sendiri.” Dinda menjawab sembari mengelus pelan perutnya.

“Din..... ini becanda? Itu bukan anak saya kan?”

pertanyaan Rama membuat malam ini menjadi malam terakhir baginya bertemu dengan Dinda. 




6 bulan kemudian...

Sebuah surat tergeletak di atas meja kerja Rama, dengan amplop warna putih gading tanpa keterangan dan alamat pengirimnya. Rama hampir saja memutuskan untuk membuang surat tersebut sebelum hati kecilnya memaksa untuk membukanya.


------------------------------------------------------------------------------------------------------
Selamat Pagi Pak Rama,
Lelaki yang sangat saya cintai.



Maaf atas kelancangan saya mengirimkan surat tak tahu malu ini kepada anda, maaf.

Bagiamana kabar anda? Bagaimana kabar Miko kesayangan anda?
Semoga Tuhan selalu mengabulkan doa saya agar terus memberikan kalian kesehatan dan kebahagiaan.

Terima kasih atas hadiah terindah yang telah anda berikan pada saya, 
sekalipun tak mendapat pengakuan dari anda, saya tetap berterima kasih dan sangat bahagia, karena saya percaya keputusan anda pasti memiliki alasan yang kuat, pasti. 

Saya sama sekali tidak bermaksud membuka kisah lama yang sudah pasti anda lupakan dan buang jauh-jauh.
 
Saya hanya ingin meminta sedikit hak saya dan si kecil dalam perut yang kedatangannya di dunia ini tinggal menunggu hitungan minggu.

hak untuk didengar, hak untuk berbagi cerita.

Coba anda tebak, apa jenis kelamin si kecil ini?

YAAA, lelaki pak. 
Ia lelaki.
Bayi lelaki dengan kaki yang kuat, tawa yang riang, hati yang sangat lembut.
Bayi kita, seharusnya...

Saya akan menamakannya Adnan, artinya surga.
Saya berharap ia akan menjadi surga bagi saya,
melengkapi surga kecil yang sempat anda berikan pada saya,
Bolehkan saya menamakannya Adnan, Pak?

ah ya, si kecil ini selalu menendang tiap jam makan malam, benar-benar saat dimana anda selalu menghubungi saya di kala itu. 
menanyakan apa yang sedang saya lakukan, bahagiakah saya berada disamping anda, menyampaikan rindu, dan berbagai obrolan ringan yang hingga sekarang masih melekat erat di ingatan saya. 
saya merindukan masa itu, amat sangat.

si kecil ini juga seringkali bergerak seolah ingin ikut bernyanyi saat saya memutarkan lagu kesukaan anda, lagu Audioslave. 
maafkan saya karena tanpa sengaja memutar lagu itu dan bukannya lagu Jazz seperti yang dokter kandungan sarankan.

ah sesekali membantah pasti tak apa : )

Dokter juga bilang bahwa saya harus sering-sering mengajak si kecil berbicara, obrolan ringan yang mampu mendekatkan si kecil dengan saya. 
karenanya, setelah makan malam, saya selalu duduk di teras rumah, sambil melihat bintang yang kadang malu kadang berani menampakkan diri, berbincang dengan si kecil sambil melakukan kebiasaan sederhana yang dulu juga sempat kita lakukan, memandangi hamparan bintang di langit.

Pak Rama tahu kan kalau saya suka minum susu? karena itu saya juga tak kesulitan saat harus minum susu khusus untuk ibu hamil, hhmm rasanya memang sedikit berbeda dengan susu yang seringkali saya minum sebelumnya. tapi tak apa, demi si kecil agar tumbuh lebih baik di dalam perut, apapun pasti saya lakukan.
 
saya tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana di luar kota Surabaya, masih mengontrak tiap 6 bulan. 
tapi pak Rama jangan khawatir karena secepat mungkin saya akan menyediakan tempat tinggal yang layak untuk si kecil kita.
saya sudah menyiapkan kamar mungil dengan dinding berhiaskan pepohonan serta beberapa pakaian serta perlengkapan bayi, semuanya berwarna hijau,
Warna kesukaan anda. 
Warna yang pasti bisa membantu menenangkan si kecil ketika ia sedang merengek, menangis, atau bahkan rewel tanpa alasan kelak.
 

Saya juga sudah banyak sekali membaca buku, majalah, dan berbagai artikel tentang kehamilan dan bayi, jadi anda tidak perlu khawatir saya tidak bisa menjaga si kecil dengan baik.

Pak Rama bantu saya lewat doa ya, semoga saya bisa menerapkan semua yang sudah saya pelajari dengan baik. 
Bantu saya lewat doa semoga kelak jika harinya tiba, si kecil bisa lahir dengan selamat tanpa halangan yang berarti.
Bantu saya lewat doa semoga saya bisa menjadi ibu sekaligus ayah yang baik untuk si kecil.
Bantu saya lewat doa semoga tanpa anda sekalipun, si kecil tetap tumbuh dengan sehat dan membanggakan.
Bantu saya lewat doa semoga saya tetap mampu menjaga cinta dan harapan saya untuk anda.
Bantu saya lewat doa semoga anda tetap tersenyum dan mendukung sekalipun hanya dalam hati saya.
Saya membutuhkan doa anda..


sekian cerita dari saya,
Terima kasih atas waktunya, dan sekali lagi maafkan kelancangan saya.


Yang mencintaimu teramat dalam,


Dinda Putri.

PS: Saya melampirkan foto USG si kecil, supaya anda dapat sedikit saja merasakan adanya kehidupan yang menakjubkan di dalam perut saya, kehidupan yang anda beri. :)
------------------------------------------------------------------------------------------------------



Airmata menetes di atas surat tersebut, airmata penyesalan. 






10 September 2013

tanpa logika.


Mungkin mereka benar,
“Tak akan ada logika yang berfungsi dengan baik saat kita sedang jatuh cinta.”

Akupun membuktikannya.

Berbalut busana kerja tanpa sepatu dan rambut sebahu yang tergerai tak beraturan, aku memutuskan untuk memarkirkan mobilku disini, tempat biasa.
Malam yang sama, tetap gelap, tetap senyap, tetap sendiri.
Secangkir kopi yang mulai kehilangan uap panasnya masih setia menemaniku.
Lagu-lagu dari radio dengan genre beragam yang terputar secara acak juga masih setia menemaniku.



04 September 2013, Pukul 23:34 WIB, Rabu yang kelabu.

Aku menunggu ia keluar dari rumahnya,
seperti malam-malam sebelumnya.

Berharap ia akan keluar dari pintu belakang rumahnya,
berdiri dan mondar-mandir di taman belakang, taman kecil yang hanya berisi rerumputan rapi dengan satu tanaman setinggi pinggul yang sepertinya berjenis tanaman hias,
lalu duduk di kursi kayu sambil menghisap rokok dari kemasan berwarna putih entah merk apa.

Terlalu malam untuk lelaki kantoran sepertinya,
terlalu malam untuk masih memakai setelan kerja kemeja agak kusut dengan lengan tergulung sesiku dan celana bahan.
Terdiam seolah otaknya tak boleh istirahat sejenak.
Selalu saja begitu saat aku melihatnya.
Tapi sepertinya tidak untuk malam ini.
Tubuhku sedang menggigil dipeluk rindu akan sosoknya,
Ia yang namanya saja aku tak tahu.
Ia yang penampilannya selalu membuatku terpaku.
Ia yang sorot matanya terlalu teduh.
Ia yang membuat saraf penasaranku terus terpacu.
Ia yang berhasil menyalakan lagi gejolak di hatiku.

Lelaki ini, bertubuh tinggi, cukup sepadan dengan tinggiku sekalipun aku sedang mengenakan high-heels.
Tak terlalu kurus, tak juga gemuk, kukatakan saja pas untuk dipeluk.
Berkacamata, bingkainya berwarna gelap dengan dengan bentuk kaca simple ukuran kecil, sesuai untuk membantu mata indahnya bekerja.
Lengannya kokoh, pasti nyaman untuk kepalaku bersandar.
Berjanggut tipis dan rapi, tanpa kumis.
Hidungnya mancung, mempertegas ketampanan sederhananya, khas lelaki Jawa.


Kurang lebih 3 bulan yang lalu, 
Aku mengetahui dan memutuskan untuk memperhatikannya, sungguh tanpa rencana.
Kebiasaanku saat penat, berkeliling dari satu perumahan ke perumahan lainnya yang akhirnya membawaku berhenti di perumahan ini. 
Cluster kelas menengah keatas berdesain rumah minimalis dominan warna abu muda dan putih.

Itu adalah hari sepulangku lembur di kantor, lelah tapi butuh hiburan dan masih enggan merebahkan diri di atas kasur, hobby inilah yang akhirnya kulakukan, 
berkeliling, mengamatai kegiatan yang jarang terekam banyak orang melalui jelajah perumahan. Kusebut saja begitu.

Setelah mengelilingi sebagian besar bagian perumahan ini, saatnya aku melewati blok terakhir sebelum gerbang keluar perumahan, 
aku melihatnya berdiri gontai di taman belakang rumahnya, dan
kuputuskan untuk memberhentikan mobilku di sudut jalan, memperhatikan gerak-geriknya.
Baru kali ini aku memperhatikan seseorang dan bertahan hingga beberapa bulan tanpa sedikitpun berniat menyapa dan berkenalan dengannya. 
Ini bukan diriku. 
Aku tak pernah sebodoh ini.


Pukul 23:56 WIB, masih Rabu yang sepertinya benar-benar kelabu.
Hampir pukul 12 dini hari, dan aku menyerah menunggunya malam ini, sebelum...

*tok tok tok tok*

Seseorang menggedor kaca jendela mobilku dan seketika kubuka,
Tuhan sepertinya sengaja membuat jantungku berolahraga lebih keras, karena

Ia berdiri di sampingku.

Lelaki itu menatapku.

Tersenyum.


“hhmm.. ya?” tanyaku dengan tingkah tak terkontrol, gugup, canggung, malu, dan pastinya merasa bodoh.

“nama saya Uki.” Ia menjulurkan tangannya melewati jendela mobilku seolah ingin berjabatan. dan ya, cukup membuat hatiku melonjak bahagia.

Oh Tuhan, rencana gila apalagi ini?

karena sepertinya, 
aku jatuh cinta,
tanpa logika.






----------------------------------------------------------------------------------------------------------------





By:


thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana