12 Januari 2023

Doesn't For Everyone

 


Pernah banget nih merasakan, kok sepertinya setelah berpisah dengan saya, ini pria-pria masa lalu langsung menemukan jodohnya dan menikah. Saya merasa apa saya semacam batu loncatan kali ya. Hahahaaaa 

Pernah juga jadi berpikir apa yang salah dengan saya? Bagian mana yang saya salah lakukan atau kurang saya lakukan? Kalau ada yang salah atau kurang, kenapa pergi? Kenapa tidak disampaikan dan dibenahi berdua? Kenapa mencari yang lain? Kenapa selingkuh?

Lalu saya teringat sebuah perumpamaan.

Misalkan ukuran kakimu 38. Lalu kamu menerima hadiah sebuah sepatu yang sangat cantik, hiasannya indah, warnanya sesuai dengan kulitmu, semua tampak tepat sampai kemudian kamu menyadari bahwa sepetu tersebut berukuran 37. Ok kamu paksa pakai dan tidak lama kemudian kakimu sakit sampai lecet. Akhirnya kamu putuskan untuk menukarnya ke toko sepatu tersebut. Ketika di toko, perempuan masuk dan mencoba sepatu yang kamu kembalikan. Perempuan tersebut tampak sempurna dengan sepatu ukuran 37 tersebut. Dia sangat Bahagia saat meninggalkan toko karena menemukan sepatu sempurna untuknya. Masa kamu mau marah? Ya nggak dong ya. Atau bahkan misalkan perempuan itu balik ke toko dan ngasih sepatu itu lagi ke kamu, ngga akan kamu terima kan, karena kamu inget gimana sepatu itu bikin kamu lecet dan kesakitan. Sama sekali ngga bisa dipake. Di saat yang sama ingat juga bahwa masih banyak toko sepatu lain yang menjual sepatu dengan desain dan warna yang sama bagus atau bahkan lebih bagus dengan ukuran 38 tersedia untukmu. Jadi kenapa buang waktu meratapi sepatu yang memang bukan untukmu?

Atau makanan deh, sambel. Ya sambel ini emang enak banget buat banyak orang, ya tapi kalau perut dan badan kamu ngga bisa makan sambel karena bikin mual, asam lambung naik, sakit perut, atau bahkan jerawatan, yaudah ngapain dimakan? Kan masih ada makanan lain yang lebih sempurna untuk kebutuhan dan kondisi badanmu. Gitu.. 

Because at the end, we’re not for everyone. Just do your best, don’t focus on how the wrong man fits someone else, but you have to stay focus on how the right man is supposed to fit you.

--



Still about J



 


“Are you at home?”

“Oh hay, iya aku di rumah.”

“Get ready ya, aku sudah di perjalanan, 5 menit lagi sampai.”

“What kind of dress that I should wear?”

“You choose the place, Dear. So suit yourself.”

“Ok.”


__

Mau diulang berapa kali juga, akhirnya yang memenangi tetap Ia yang jauh lebih dominan daripada saya. Saya tidak suka disuruh-suruh dan diperintah, tapi entahlah ya, caranya mendominasi membuat saya meragukan definisi dominasi. Dari KBBI, definisinya serupa dengan penangkapan saya selama ini, tapi rasanya tetap berbeda dengan diperintah. 

Ah, mungkin begini. Diperintah atau disuruh-suruh, terasa memuakkan karena sifatnya paksaan dan ada risiko yang harus ditanggung jika kita membantah. Dominasi meskipun tetap mengandung perintah, namun ada kebebasan dan keleluasaan untuk menolak dan tiada risiko yang mengiringi penolakan. 

Atau gimana?

Well anyway, J akan datang di saat yang tidak pernah saya duga. Bisa di tengah hari, bisa tiba-tiba di sela-sela meeting dengan rekan bisnisnya, atau bahkan seperti sekarang, tepat sepulang saya bekerja. 

--

Di sebuah tempat makan yang saya pilih. Tempat makan yang jauh dari pilihan-pilihannya selama ini. 

“So, how’s your business?”

“Jakarta is fine. Kemarin teman ada yang ajakin bisnis kecil-kecilan, sepatu kulit khusus pria dewasa dan es batu.”

“Hah? Perasaan terakhir kamu cerita bisnis lobster deh. Ini kok udah ke sepatu ama es batu aja,”

“Lobster udah jalan 2 bulan. Oh ya maaf belum cerita updateannya.” Dia tertawa, lesung pipitnya membuat saya harus menahan senyum karena DUUH ganteng banget sih. 

“Jadi, yang lobster kemarin kan rencananya ke area Bali aja, tapi ini ngga nyangka bisa sampe ke NTT, NTB dan ini partner bisnisku bilang mungkin di minggu depan akan ada tawaran ke pulau lain.” Dia melanjutkan ceritanya.

“NICEEEEE. Trus ini kenapa tiba-tiba es batu?”

“Iya, itu tawaran dari temen SMAku dulu, yaudalah yaa join aja modalnya kecil kok. Tapi untungnya gede bangeeeettt.”

Pembicaraan kami terus berlanjut. Mendengar cerita-ceritanya ini selalu bisa memotivasi saya untuk terus maju, terus meningkatkan nilai diri, dan terus belajar. Mungkin memang benar apa yang sering diteriakkan di media sosial bahwa kamu adalah bagaimana orang-orang di sekitarmu, kamu adalah apa yang kamu konsumsi termasuk konsumsi untuk telinga dan otak. Setiap kali dia bercerita tentang bisnisnya, saya terasa diajak masuk seolah saya adalah bagian dari bisnisnya. Ia tahu saya tidak semahir pengalamannya dalam berbisnis, namun Ia yang tetap meminta pendapat saya tentang ini dan itu membuat saya merasa dihargai dan dianggap ada. Seringnya juga ia menerapkan pendapat yang saya berikan. 

“Lain kali kabarin ya kalau mau social media blackout!”

“iya.”

“Kalau kamu tiba-tiba ngga ngepost apapun, rasanya kayak kamu tinggal diam-diam.”

“Ya kan bisa chat aja atau telfon.”

“Iya sih, but still, i wanna see your updates on social media.”

“Will do, Sir.”

Bertemu dengan J meskipun tidak bisa terlalu sering, namun selalu menyenangkan, menenangkan, dan menyegarkan. 

“Your house or somewhere else after this?”

“My house.”

“Red or white?” 

“White please.”

“Ok, let’s go home, Love.”

“Tomorrow morning again?”

“Oh nggak, kali ini aku akan bersamamu 2 hari.”

“Kalau dua hari ngga akan cukup 2 botol.”

“Halah gampang.”




--


thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana