25 Oktober 2018

Coriander Sayang


Waah wah waaahh, mau sedikit cerita aja kalau akhir-akhir ini lagi demen makan daun ketumbar atau coriander leaves. Kayak lagi sayang-sayangnya gitu loh.

Beberapa hari yang lalu sempet nuiat banget bikin mie kuah trus dikasih kaldu ayam homemade, bawang bombay, daun bawang, cabe rawit, dan coriander tentu saja. Beginiiii~~


Pas besokannya pengen lagi, kok mualeess ya bikin kaldu ayamnya, jadinya bikin mie instan rasa ayam bawang, tinggal ditambahin aja deh potongan coriander. 


Entah akan sampai kapan ini ngunyahin coriander yang kalau di Surabaya baru berhasil kutemukan di ranch market. Di supermarket lain agakan susah. 
Dan ternyata buanyaaak banget looh manfaatnya, selain emang biji ketumbarnya aja direbus juga bisa nurunin kolesterol dan asam urat, ternyata daunnya juga tak kalah bermanfaatnya.


Asooiy banget kan manfaatnya..

yuk makan coriander yuuk, wangi wangi seger sedep gitu deh.. 

---



Jogja dan Rawon


"Sudah jam segini, aku balik ke hotel dulu ya."

Saya pada Mulia yang nampaknya masih ingin di sana, nampaknya.

Kami sudah di cafe Asmara sejak pukul hhmm delapan malam mungkin, menyaksikan penampilan musik rock dari band kecintaan kami. Band lokal sih, tapi oke banget. Mulia yang mengenalkan tempat dan band ini pada saya. Berakhir pada saya yang selalu menyusun waktu khusus setiap kali ke Jogja untuk mengunjungi tempat ini. Yang saya pesan juga sama aja terus, cappuccino dingin kalau nggak air mineral dingin. Sudah. 

"Yauda yuk balik aja."

"Eh kalau kamunya masih mau di sini, ngga apa loh."

"Kamu nginep di mana sih?"

"Tjokro."

"Sama temen-temen?"

"Sendirian."

"Ngapain?"

"Kalau pas sendirian maksudnya?"

"Bukan, maksudnya ngapain sendirian di hotel, di Jogja pula."

"Pengen aja."

"Masih pengen sendirian sekarang? Ngga takut di hotel sendirian?"

"Kalau kamunya pengen ikut nemenin di hotel, tinggal bilang aja, Mul. Ngga perlu nanya ketakutanku yang jelas-jelas sudah nggak ada sejak aku berangkat dari Surabaya."

Dia tertawa kecil.

"Boleh?"

"Banget. Yuk!"

---

Dengan lelaki lain, di kamar hotel, dini hari, biasanya kami sudah saling menanggalkan pakaian dan melakukan ini itu yang berakhir saling memuaskan. 

Namun dengan Mulia tidak. 

Saya tidak sanggup, dia juga mungkin tidak mau. 
Tapi kamu saling merebahkan tubuh, dia di samping saya di atas ranjang. 
Kami menatap langit-langit kamar hotel yang harum dan bersih ini dengan jutaan tanya di masing-masing kepala. 

"Mul."

"Hm."

"Kamu bilang nggak ke pacarmu kalau kamu lagi di sini sama aku?"

"Kenapa harus bilang?"

"Kenapa ngga bilang?"

"Karena ngga perlu bilang."

"Dia ngga nanyain kamu di mana?"

"Ngga. Palingan dia ngira aku di kosan."

"Kamu sering ngga laporan ke dia kalau mau ke mana-mana?"

"Lah kenapa? kayak satpam aja laporan segala."

"Mul."

"Hm."

"Kamu lagi mikirin apa?"

"Kamu."

"Aku? kenapa emang?"

"Kamu kenapa ngga ndang (segera) punya pacar?"

"Karena yang aku mau ngga pernah mau sama aku, Mul."

Mulia menolehkan kepalanya, menghadap saya. Saya juga melakukan hal yang sama. Kami saling berpandangan.

"Siapa emang?"

"Ada."

"Kenapa dia ngga mau sama kamu?"

"Karena aku jelek katanya, aku gemuk, tidak menarik."

"Lanang gendheng (lelaki gila)."

Saya tertawa kecil, geli mendengar nada medhok khas Jogja dari Mulia.

"Emang gitu kok, aku juga nyadar Mul."

"Ora ah, dia aja yang bajingan."

"Kamu deh kalau gitu. Kamu mau ngga sama aku hayoh?"

Dia terdiam beberapa detik. 
Saya menunggu jawabannya.

Dia menggerakkan tubuhnya mendekat pada saya, menyentuh tangan saya, membelai halus, sekalipun telapak tangannya tak halus dan sedikit basah. Karena berkeringat dingin sepertinya.

"Aku boleh jujur?"

Saya mengangguk.

"Sebenernya, sejak awal ketemu ya aku ini udah naksir ke kamu. Kadang kalau dirasa-rasa kok kayaknya cinta. Banget sampe sakit rasanya."

Saya kaget tapi tetap mencoba tenang.

"Kok ngga pernah bilang?"

"Buat apa? wong kamu kayaknya ngga minat sama aku?"

"Sok tahu kamu. Sedari awal, yang nyamperin ngajak kenalan dulu siapa? kan aku. Aku yang lebih dulu naksir kamu, Mul. Naksir yang rasanya juga sakit. Nggak tahu kenapa."

"Serius?"

"Serius."

Berikutnya kami saling merengkuh, saya meringkuk di pelukannya. Di tubuh kurusnya. Mengenang sebaik-baiknya tentang wangi sederhana tubuhnya. Sepertinya dia tidak pernah memakai parfum seperti lelaki kebanyakan yang saya sukai. 

Menyukai Mulia rasanya sederhana.
Saya menyukainya karena wajahnya yang lucu.
Karena kelakarnya yang selalu menghadirkan tawa.
Karena pakaiannya yang selalu begitu-begitu saja. 
Karena sandal jepit kegemaran yang selalu dipakainya ke mana saja.
Saya menyukai dia sejak pertama kami berjumpa, 
Rasa yang saya kira tak akan ada habisnya,
Rasa yang akan abadi.

Saya melepaskan kaosnya,
Ia melakukan hal yang sama pada saya,
Saya menanggalkan seluruh kain yang menempel di tubuhnya,
Ia melakukan hal yang sama pada saya.

Tidak, kami tidak bersetubuh,
Di balik selimut, kami saling berpelukan, 
Sesekali saya mengecup bibirnya.

Kami terus begitu hingga terlelap,
Masih saling menghangatkan hingga pagi.

---

"Aku  seneng banget kamu temenin."

Dia nyengir.

"Cari sarapan yok!"

"Mul, ini jam 11, sarapan?"

"Yawes pokoke makan."

"Gudeg?"

"Wegah."

"Ya udah ngikut deh."

"Rawon Cak Sukar mantep iki."

"Yuk!"


 



---

*7 bulan kemudian*

Saya menghubungi Mulia melalui telepon.

"Besok aku ke Jogja."
 
"Siap. Tak jemput aja ya di stasiun."

Berikutnya kami sudah di tempat makan kecintaan, rawon Cak Sukar.

"Kamu sering banget ke sini, Mul?'

"Sering nemen."

"Istrimu kan pinter masak. Suruh masak rawon di rumah aja napa?"

"Di antara semua masakan Indonesia, dia cuma ngga bisa masak rawon. Lagian tempat ini nggak cuma masalah rawonnya sekarang, tapi kita. Setiap aku kangen kamu, aku nostalgianya ke sini. Inget wajah ngantukmu dulu pas makan di sini. Aku seneng liat wajahmu kalau ngantuk."

---

Kembali lagi melakukan hal yang sama,
Saya dan Mulia tak mengenakan apapun, 
Kami telanjang, namun tak bersetubuh.
Kami memutuskan ingin tetap melakukan ini. 
Terus melakukan entah hingga kapan.

"Mul."

"Hm."

"Kamu ngga apa kita terus begini?"

"Ngga apa."

"Sampai kapan kita begini?"

"Ga tahu. Mungkin barangkali sampe rawon kehabisan kluwek di dunia, atau  sampai rawon tak lagi hitam."

---






#NulisKamisan #S4 #S04E03


Saya lega, di Jogja, ngga lagi tentang Malioboro dan menghabiskan akhir pekan, namun tentang Asmara Cafe, rawon, dan dia.

10 Oktober 2018

Galau


Sepertinya saya perlu sesekali mencari tahu tentang jenis kelainan psikologi yang membuat waktu di sekitar saya seolah terhenti ketika saya diharuskan untuk memilih. 

Memilih apapun. 

Kali ini, seperti saat-saat sebelumnya, saya diharuskan memilih. 

Kenapa memilih tidak pernah bisa menjadi perkara yang mudah bagi saya?
KENAPA?

Kemarin, saya diam beberapa menit ketika dihadapkan pada dua pilihan kain yang diajukan Ci Melinda di JMP, pemilih toko kain langganan saya yang sudah turun temurun sejak eyang uti saya. 

"Ci, ini bukan acara besar, saya cuma pakai buat acara tunangan sepupu saya kok. Nggak usah mewah gini lah pakai ada bling bling segala warna gold."

"Loh, lah wong kamu ndak isa milih dewe gitu loh. Nyoh kan tak kasik pilihan, gold muewah iki atau sing gold agak kalem iki?"

"Ya maksudnya jangan gold, Ci Mel. Yang warna salem aja lah, tar dikira aku yang mau tunangan kalau pakai warna emas nyolok gitu."

"Sek tungguen."

Ci Melinda kemudian berteriak meminta salah satu pegawainya mengambil beberapa kain warna nude yang sepertinya menjadi tujuan pilihan saya berikutnya. Setelah satu jam 25 menit, akhirnya saya berhasil keluar dari toko Ci Melinda dengan tenang menggenggam kantong berisi kain nude dengan bordir kecil yang cantik. 

Hari ini?
Saya lagi-lagi dihadapkan pada dua pilihan. 

Dua-duanya sama-sama baik, menggoda, dan manis.

Lelaki satu, dia pintar, seorang area manager sebuah perusahaan telekomunikasi ternama di Indonesia yang kebetulan sedang ditempatkan untuk bertugas di Surabaya. Kami bertemu sengaja tidak sengaja di sebuah restoran. Begini, saat itu sedang acara ulang tahun pernikahan sahabat saya, YO'I tiap tahun dia ngerayain wedding anniversary dengan mengundang segala yang saat itu pengen dia undang. Tamu langganan sih saya sebagai sahabat sejak SD, sahabatnya kuliah yang tentu saja sudah semuanya saya kenal karena cuma tiga orang plus suami mereka masing-masing jadi berenam, kemudian empat orang rekan kerja setianya, dan dua sepupu lelakinya yang sedari kecil selalu nempel bak pengawal pribadi. Sisanya ya teman-teman yang datang dan pergi dalam hidupnya yang diundang. Tahun ini adalah tahun kelima. Ketika momen pesan-memesan makanan dan minuman tiba, saya memesan es kelapa muda, karena di IBC, es kelapa mudanya memang uuuhh andalan. Namun entah kenapa malam itu sepertinya ada yang salah, es kelapa muda yang biasanya muncul paling dulu kini muncul terakhir. Ketika pramusaji datang menawarkan es kelapa muda yang ia bawa harus diletakkan di meja mana, saya otomatis angkat tangan, 

"SAYA MBAAAKK! SINI SINI!"

Mbaknya terlihat kebingungan, kemudian saya menelusur arah lain dan ternyata ada satu tangan lagi yang terangkat, dan hanya tangan kami berdua. Saya sepintas melihat siapa dia? eh tampan, eh berkacamata, eh rapi. Kemudian saya memutuskan menurunkan tangan saya dan pramusaji tersebut kemudian memberikan es kelapa muda tadi ke lelaki di barisan ujung sana. 

Sudah hampir di ujung acara, saya memutuskan untuk berpamitan dengan Ridha, sahabat saya. 

"Aku balik duluan ya, besok ada meeting pagi soalnya." 

"Oh yauda,  makasi yaaa, Love."

Kami berpelukan, saya mengecup pipi Ridha, dan lanjut berpamitan dengan Raden, suaminya. 

"Eh, bentar bentar, kamu balik naik apa?"

"Mesen taksi aja sih ntar. Kenapa?"

"Tar dulu. ROOOOYYYYYYY, RROOOYYY."

Ridha teriaknya ngga aturan astaga. Dia berteriak memanggil sepupunya, Roy. 

"Apaan?"

"Kamu katanya mau balik ke arah Ngagel anterin temenmu dulu, bareng lah nih anterin Ridha skalian, kan kosannya sekitar sana juga."

"Oh ya ga apa. Bentar ya, aku nunggu temenku dulu. Masih ke toilet dia."

"Oh ok. Sorry ya Roy ngerepotin."

"Halah, santai."

Sembari menunggu saya sibuk mengecek pesan masuk ke ponsel saya, sampai kemudian Roy menepuk pundak saya. 

"Yuk!"

Saya menoleh dan melihat lelaki kelapa muda berjalan bersama Roy. Begitu di dalam mobil, Roy memperkenalkan temannya, Beni. Kami berjabatan tangan. Setelah beberapa menit, Beni kemudian menyodorkan ponselnya pada saya, meminta saya memberikan nomor hp padanya. 

Esok harinya, Beni mengirim pesan

"Kamu pulang kerja jam berapa? aku jemput ya. Kasih tahu aku alamat kantormu."

Saya? tentu saja mau. 

HAHAHAHAHAA..

---

Lelaki dua, dia memanjakan saya dengan luar biasa. Apapun yang saya bilang saya inginkan bisa dengan mudah ia berikan. Namanya Tirto. Saya mengenalnya kurang lebih sudah tujuh bulan. Dia selalu memberikan kehangatan yang saya butuhkan. Saya enggan meninggalkan dia, dia juga demikian. Sekali saya pernah mengajukan pertanyaan mengenai hubungan kita apakah akan menuju jenjang serius atau bagaimana? dia menjawab dengan kekosongan. Jenis kekosongan yang sangat saya benci. Di kemudian hari, kita akan bertemu lagi, saling bertemu, memanjakan, berkirim pesan, dan bertingkah seperti tidak terjadi apa-apa.

Dia adalah yang paling cepat kalau berurusan dengan memastikan keadaan saya. Beberapa kali pesan dia saya abaikan karena saya sedang tidak enak badan, satu jam kemudian, Bi Tarsih, pembantu kosan menggedor pintu kamar saya dan mengantarkan semangkok bubur hangat, kiriman dari Tirto. Bukannya ngga ada kerjaan, tapi memang sebagai pengusaha, pekerjaan dia memang fleksibel, mudah menyesuaikan waktu yang ia miliki.

Berulang kali saya memikirkan, apa nama kehangatan cinta macam ini kalau arahnya bukan menikah?
Bersenang-senang juga terasa salah. 
Kami tidak hanya bersenang-senang, kami saling berbagi keresahan, berbagai kebahagiaan. 
Namun entah apa, ada yang menganga di hati, ada yang tak lengkap. 

Kami bukan pasangan gelap yang harus menyembunyikan identitas satu sama lain, saya mengenal orangtuanya, dia mengenal orangtua saya. 
Tidak, kami juga tidak berpacaran. 
Kami ya begini saja berjalan, saling sayang.

Rasanya dia hanya belum sudi saja menikah, atau mungkin menikahi saya. 

Saya resah, namun banyak memasrahkan saja akhirnya.

---

Hari Jumat ini harusnya berjalan seperti biasa. 

Namun tiba-tiba Beni menjemput saya di kantor dan memaksa mengajak saya makan siang, di sebuah restoran makanan Indonesia. Ia kemudian menggenggam tangan saya, 

"Tari, kita tunangan yuk. Rasanya kok aku mau ada kamu terus ya di hidupku."

"Hah?"

Saya masih diam, melongo. 
Beni kerasukan apaan deh?
Tapi ngga, dia ngga mungkin kerasukan. 

Ini ada apa lagi?
Beni yang per hari ini sudah sebulan saya kenal, yang dinginnya ga karuan, yang datang dan perginya selalu memberikan percikan menyenangkan dalam hati. Yang cuek cuek begonya bikin saya ngga bisa berhenti mikirin dia dan membayangkan, ini gimana ya kalau seandainya saya nikah ama dia? ngakak mulu pasti hidup kita. Tapi dianya banyak cueknya. Cuek tahu tahu ngajak tunangan. Gimana coba?

"Ben, aku boleh mikir dulu ngga?"

"Tentu, aku kasih waktu dua menit."

"Woi ya ngga dua menit juga. Dua hari lah ya."

"Mikirin apa sih emang?"

"Ke Kyai dulu, minta petunjuk. Kamu kerasukan apa ngga."

"Hahaha orite. Minggu aku tunggu ya, Tar."

---

Jumat yang sama pukul tujuh malam, Tirto tiba-tiba datang ke kosan. Seperti biasa kami duduk di ruang tamu, melihat acara TV sekenanya. Tirto mengalungkan lengannya di pundak saya, memeluk lebih erat daripada biasanya. 

"Sayang, usia kita semakin lama kan semakin bertambah."

"Iya, terus?"

"Semisal bulan depan kita tunangan gimana?"

ALLAHUAKBAR.
OOHH TENTU SAYA BERTERIAK HANYA DALAM HATI.

"Kamu minum jamu apa tadi sebelum ke sini?"

"Hah? minum kopi aja kok, kenapa emang?"

Saya pegang dahinya, aman sih harusnya. 

"Gimana, Sayang?"

"Gimana apanya?"

"Ya itu tadi, kita tunangan ya bulan depan?"

"Aku pikir-pikir dulu."

"Loh kenapa? bukannya kemar...."

"Sayang, aku mikir dulu ya, Minggu aku kasih keputusan. Ok?"

"Ok."

---

"WOOIII TAAR! buruan!"

Saya pikir-pikir Ridha sekeluarga ini suaranya melengkingnya mengganggu sekali ya. 

"Buruan apanya?"

"Itu milihnya, mau yang dingin atau yang hangat?"

"Yang dingin aja kayaknya lebih menyegarkan ya, Beni aja deh. Eh tapi hidup kan nggak bisa bersandar ama yang dingin terus ya, kalau sama Tirto kan dia hangat banget sama aku, ngerti banget. Tapi Beni tuh bisa ngasih percikan gitu loh, bikin hidup terus berasa seru. Hhhmm tapi Tirto nenangin banget. Jadi gimana ya, Dha?"

"Tar, itu teh manisnya maksudku, mau yang dingin atau yang hangat."

"Oh teh manis. bentar bentar lagi mikir nih, mau teh manis dingin atau teh manis hangat. Duh akunya galau mau teh manis apa."





---






#NulisKamisan #S4 #S04E02







--- 

Sesampainya di kosan setelah bertemu Ridha, ponsel saya berbunyi, Ridha mengirimkan pesan.

"Beb, kayaknya kamu minta waktu lagi deh ke mereka berdua. Milih es teh dan soto pisah atau ngga aja kamu lama banget, apalagi milih jodoh seumur hidup? Minta tambahan waktu buat mikir, ngga bisa cuma dua hari. Sekalian kamu pakai waktunya buat istikharah, minta pentunjuk yang terbaik dari ALLAH. Sekalipun dua-duanya sama-sama baik ibadahnya, kalau urusan mana yang terbaik kan hanya ALLAH yang tahu. Ok? love you 💗" 





thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana