10 September 2013

tanpa logika.


Mungkin mereka benar,
“Tak akan ada logika yang berfungsi dengan baik saat kita sedang jatuh cinta.”

Akupun membuktikannya.

Berbalut busana kerja tanpa sepatu dan rambut sebahu yang tergerai tak beraturan, aku memutuskan untuk memarkirkan mobilku disini, tempat biasa.
Malam yang sama, tetap gelap, tetap senyap, tetap sendiri.
Secangkir kopi yang mulai kehilangan uap panasnya masih setia menemaniku.
Lagu-lagu dari radio dengan genre beragam yang terputar secara acak juga masih setia menemaniku.



04 September 2013, Pukul 23:34 WIB, Rabu yang kelabu.

Aku menunggu ia keluar dari rumahnya,
seperti malam-malam sebelumnya.

Berharap ia akan keluar dari pintu belakang rumahnya,
berdiri dan mondar-mandir di taman belakang, taman kecil yang hanya berisi rerumputan rapi dengan satu tanaman setinggi pinggul yang sepertinya berjenis tanaman hias,
lalu duduk di kursi kayu sambil menghisap rokok dari kemasan berwarna putih entah merk apa.

Terlalu malam untuk lelaki kantoran sepertinya,
terlalu malam untuk masih memakai setelan kerja kemeja agak kusut dengan lengan tergulung sesiku dan celana bahan.
Terdiam seolah otaknya tak boleh istirahat sejenak.
Selalu saja begitu saat aku melihatnya.
Tapi sepertinya tidak untuk malam ini.
Tubuhku sedang menggigil dipeluk rindu akan sosoknya,
Ia yang namanya saja aku tak tahu.
Ia yang penampilannya selalu membuatku terpaku.
Ia yang sorot matanya terlalu teduh.
Ia yang membuat saraf penasaranku terus terpacu.
Ia yang berhasil menyalakan lagi gejolak di hatiku.

Lelaki ini, bertubuh tinggi, cukup sepadan dengan tinggiku sekalipun aku sedang mengenakan high-heels.
Tak terlalu kurus, tak juga gemuk, kukatakan saja pas untuk dipeluk.
Berkacamata, bingkainya berwarna gelap dengan dengan bentuk kaca simple ukuran kecil, sesuai untuk membantu mata indahnya bekerja.
Lengannya kokoh, pasti nyaman untuk kepalaku bersandar.
Berjanggut tipis dan rapi, tanpa kumis.
Hidungnya mancung, mempertegas ketampanan sederhananya, khas lelaki Jawa.


Kurang lebih 3 bulan yang lalu, 
Aku mengetahui dan memutuskan untuk memperhatikannya, sungguh tanpa rencana.
Kebiasaanku saat penat, berkeliling dari satu perumahan ke perumahan lainnya yang akhirnya membawaku berhenti di perumahan ini. 
Cluster kelas menengah keatas berdesain rumah minimalis dominan warna abu muda dan putih.

Itu adalah hari sepulangku lembur di kantor, lelah tapi butuh hiburan dan masih enggan merebahkan diri di atas kasur, hobby inilah yang akhirnya kulakukan, 
berkeliling, mengamatai kegiatan yang jarang terekam banyak orang melalui jelajah perumahan. Kusebut saja begitu.

Setelah mengelilingi sebagian besar bagian perumahan ini, saatnya aku melewati blok terakhir sebelum gerbang keluar perumahan, 
aku melihatnya berdiri gontai di taman belakang rumahnya, dan
kuputuskan untuk memberhentikan mobilku di sudut jalan, memperhatikan gerak-geriknya.
Baru kali ini aku memperhatikan seseorang dan bertahan hingga beberapa bulan tanpa sedikitpun berniat menyapa dan berkenalan dengannya. 
Ini bukan diriku. 
Aku tak pernah sebodoh ini.


Pukul 23:56 WIB, masih Rabu yang sepertinya benar-benar kelabu.
Hampir pukul 12 dini hari, dan aku menyerah menunggunya malam ini, sebelum...

*tok tok tok tok*

Seseorang menggedor kaca jendela mobilku dan seketika kubuka,
Tuhan sepertinya sengaja membuat jantungku berolahraga lebih keras, karena

Ia berdiri di sampingku.

Lelaki itu menatapku.

Tersenyum.


“hhmm.. ya?” tanyaku dengan tingkah tak terkontrol, gugup, canggung, malu, dan pastinya merasa bodoh.

“nama saya Uki.” Ia menjulurkan tangannya melewati jendela mobilku seolah ingin berjabatan. dan ya, cukup membuat hatiku melonjak bahagia.

Oh Tuhan, rencana gila apalagi ini?

karena sepertinya, 
aku jatuh cinta,
tanpa logika.






----------------------------------------------------------------------------------------------------------------





By:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana