09 April 2020

Yang Akan Kulakukan



https://www.pexels.com/photo/close-up-of-tea-light-candle-against-black-background-321444/


Pukul 1 dini hari.

Memutar lagi ingatan di siang itu.
Jika bukan karena pengakuanmu yang tiba-tiba perihal engkau kini sedang mengencani seorang perempuan yang entah siapa namanya, di mana kota tinggalnya, dan bagaimana kepribadiannya, maka ini yang akan kulakukan padamu siang itu.
 
---

Sebelum kamu benar-benar memantik api dan menyalakan rokokmu, aku akan memutar badanku dan dengan lancang duduk di pangkuanmu, menghadap wajahmu, sembari setengah bermanja. Aku tersenyum puas dan bahagia.

Kuletakkan kedua tanganku di pipimu, membelai perlahan penuh kasih sayang. Apakah setiap tangan yang membelaimu akan sama perlahannya denganku? beginikah cara ibumu menyampaikan kasih sayangnya padamu hingga kini? pernahkah ada tangan-tangan gusar yang menyakiti pipi itu?

Rautmu akan menyiratkan tanya, "what are you doing?"
Tapi aku tak mau terlalu memikirkan raut itu, kulanjutkan dengan mendaratkan kecup di keningmu.
Kening yang tak henti membuatku berandai-andai semoga kelak kening itu adalah tempatku tiap pagi mendaratkan cium setelah membuka mata. Di dalam keningmu itu, sering juga aku ingin tahu, apa saja yang selama ini kamu pikirkan? apakah setiap hari setiap saat kamu merasakan bahagia? pernahkah kamu memikirkan kesedihan yang mendalam hingga rasanya bernafas adalah sebuah usaha berat yang butuh dekapan? pernahkah dalam malam-malam terdingin, pikiranmu mengembara di tempat lain dan berharap semoga esok akan jauh lebih hangat dan tenang? pernahkah sejenak saja pikiranmu itu melibatkan namaku? atau paling mudah, seberapa sering kening itu bekernyit?

Tak berhenti di kening tentu saja. Kecupku berikutnya menuju hidungmu. 
Hidung yang tiap kali kuingat, tiap kali itu juga aku gagal mendeskripsikan kesanku. Hidung milikmu itu salinan dari Bapak atau Ibumu? Menurutmu hidung itu mancung atau yaaa tepat saja ukurannya? ah, tapi aku yakin betul hidungmu tak pesek seperti milikku. Bagiku, hidungmu itu membuat wajahmu semakin lengkap disebut lelaki Jawa. Kurang lebih begitu.

Setelahnya, kutarik sejenak wajahku, memandangmu dengan sedikit lebih berjarak. 

Ya Tuhan, aku menyayangi ciptaanMu yang satu ini. 

Syukur membuat bibirku mendarat di pipi kanan lalu pipi kirimu. 
Pipi yang katamu adalah tolak ukur naik tidaknya berat badanmu. Sejujurnya, aku tidak sependapat, karena saat sedang bertubuh berat seperti sekarang, pipimu tetap tampak ramping-ramping saja. Tidak tirus ya, tapi ramping yang pas. 
Sedikit mengungkapkan isi hati saja, aku lebih suka berat badanmu yang sekarang. Kamu tampak tebal, padat, menggiurkan. Dada dan perutmu, ah ya lenganmu juga, rasa-rasanya akan jauh lebih memuaskan untuk kupeluk dibandingkan dengan beratmu yang hhmm berotot (?).
Jika pertemuan pertama kita dulu badanmu berotot dan lebih kurus daripada sekarang, aku tak akan melirik dan terpikat padamu. Aku yakin. 
Tapi jika katamu kamu merasa lebih baik ketika kamu berotot dan lebih ramping dari saat ini, silakan, Sayang, silakan lakukan apapun untuk mewujudkannya. Karena kamu yang merasa lebih baik, bangga, dan lebih bahagia pada dirimu sendiri tentu akan memancarkan bahagia yang jauh lebih besar lagi dan aku menggilai pancaran bahagia apapun itu terutama jika datangnya darimu.

Persinggahan kecupku berikutnya adalah bibirmu. 
Aku sengaja mendaratkan kecup lebih lama di sana. Aku suka sekali rasa bibirmu. Manis dan lembut. Aku tak pernah menduga akan menikmati ciuman darimu. Ciuman yang membuatku bertanya-tanya. Bagaimana bisa bibirnya terasa sangat manis dan lembut begini? Apakah bibirku bisa semanis bibirnya? Apakah ciumannya akan selalu terasa begitu? Apakah ciumannya selalu memunculkan candu? Atau dia punya jenis ciuman yang lain?
Ciuman itu, Sayang, membuatku tak ingin lagi merasakan ciuman dari selain bibirmu. Aku ingin bibirmu, aku ingin ciuman itu menjadi rasa terakhir yang kunikmati sebelum entah kapan kelak aku menutup mata untuk  selamanya.

Dari sini rasanya aku ingin menitikkan air mata. 
Air mata bahagia.
Tumpahan rasa bahagia karena ada kamu di setitik fase hidupku. 
Aku sebahagia itu.

Entah hal baik apa yang pernah kulakukan hingga Tuhan dengan murahnya menghadirkan kamu di hadapanku. 

Kecupku berakhir di dadamu. 
Dada paling menyenangkan. Suka sekali mataku menelanjangi dada bidangmu. Mataku serasa dimanjakan dengan pemandangan sederhana namun terasa sangat dalam. Dada yang tampak berkali lipat lebih menggoda manakala kamu mengenakan pakaian bebahan tipis dan berpotongan leher lebar. Aku menyebutnya baju binal. 

Setelah kecupan pada dada indahmu, kusandarkan kepalaku di dada itu. 
Dengan tanpa izinmu, kutempelkan telinga kiriku di sana. Aku ingin mendengarkan irama denyut jantungmu. Mengagumi dan mensyukuri sekali lagi kekuasaan Tuhan.

Diam-diam kuberterima kasih pada kedua orangtuamu karena telah melahirkan lelaki semengagumkan kamu. 

Irama jantungmu tenang, hampir melenakan telinga dan membungkam riuh isi kepalaku. 
Jantung itu, Sayang, semoga akan selalu berdenyut hingga puluhan tahun yang akan datang.
Denyut yang terdengar selalu sehat, bugar, dan senantiasa baik-baik saja. 
Jantung yang selama ia berdenyut, selama itu juga denyutnya menjadi pusaran bahagia banyak orang.
Jantung yang selama ia berdenyut, selama itu juga kamu akan merasakan hujan kebaikan dan keberkahan Sang Pencipta.
Jantung yang selama ia berdenyut, selama itu juga kamu akan memainkan dan menciptakan nada-nada indah untuk dunia. 
Jantung yang selama ia berdenyut, selama itu juga senyum dan syukurku akan selalu terkembang.

Teruntuk kamu, Sayang.
Kumohon jaga denyut itu dan teruslah berbahagia. 

---

Cium,
Dari Aku yang tak ingin berhenti mendoakanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thank you for coming reader |read my older posts please | nhaz montana